Indonesia Punya Meta-human Nirmala, Kenapa Asisten AI Tampil Sebagai Perempuan?

Selasa, 24 Juni 2025 07:29 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

AI
Ilustrasi meta human sebagai salah satu implementasi teknologi kecerdasan buatan. (ist/freepik)

JAKARTA, WongKito.co - Ketika Indonesia resmi memperkenalkan Nirmala, meta-human otonom pertama di Tanah Air, banyak mata terpaku pada kecanggihannya. Namun, tak sedikit juga yang langsung bertanya-tanya: "Kenapa Nirmala tampil sebagai perempuan?" Apakah ini keputusan estetik belaka? Atau ada alasan lain yang lebih dalam?

Ternyata, pilihan untuk menghadirkan wajah perempuan pada sosok AI bukan perkara sepele. Ini adalah hasil dari berbagai pertimbangan teknologis, sosial, hingga budaya yang berkelindan membentuk satu keputusan strategis. 

Nirmala, dalam segala keanggunannya, sedang memanggil kita untuk melihat ke dalam sistem yang membentuknya.

Suara Perempuan Dinilai Lebih Ramah: Strategi Empati Teknologi

Sejak awal kemunculan asisten virtual seperti Siri, Alexa, dan Google Assistant, kita seperti terbiasa mendengar suara perempuan menyapa kita: "Apa yang bisa saya bantu?" atau "Saya sedang mencari informasi itu untuk Anda."

Hal ini bukan kebetulan. Penelitian dari Stanford University pada tahun 1997 menyebutkan bahwa manusia—baik laki-laki maupun perempuan—cenderung merasa lebih nyaman dengan suara perempuan. 

Suara bernada tinggi dan lembut diasosiasikan dengan kehangatan, empati, dan dukungan emosional. Maka tidak heran jika perusahaan teknologi memilih “suara perempuan” agar asisten virtual terasa lebih akrab dan approachable

Fenomena ini kemudian dipahami sebagai strategi membangun koneksi emosional antara pengguna dan teknologi. Semakin manusiawi AI-nya, semakin mudah diterima oleh masyarakat luas. Nirmala sebagai meta-human perempuan jelas mengikuti pola ini.

Ada yang sudah pernah menonton film Her? Dalam film tersebut, sang tokoh utama menjalin kedekatan emosional yang kuat dengan kecerdasan buatan yang menjadi asistennya, bahkan ia sampai jatuh cinta dengan kecerdasan buatan tersebut. 

Stereotip Gender yang Mengakar

Di balik kesan ramah tersebut, ada pertanyaan etis yang muncul: apakah menjadikan AI perempuan justru memperkuat stereotip sosial yang sudah ada?

Laporan UNESCO bertajuk “I’d Blush If I Could” menyentil hal ini. Dalam laporan itu, UNESCO menyatakan bahwa asisten suara perempuan sering diposisikan sebagai entitas yang patuh, penurut, bahkan eager to please.

Kalimat “I’d blush if I could” diambil dari respons Siri saat menerima komentar bernada seksual—seolah-olah menunjukkan rasa malu dan tunduk. Respon yang jika dilakukan manusia, bisa dianggap sebagai pelecehan.

Masyarakat cenderung memperlakukan asisten AI perempuan dengan sopan, tapi tetap menempatkannya dalam posisi subordinat. Sebuah bentuk modern dari representasi lama: perempuan sebagai pelayan, bukan pemimpin.

Data dan Tim Pengembang yang Maskulin

Mengapa ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah bias data dan bias tim. Banyak teknologi pengenal suara dilatih dari data rekaman perempuan, yang sudah terkumpul sejak era operator telepon tahun 1800-an. Artinya, secara teknis, suara perempuan memang lebih mudah diakses dan digunakan.

Di sisi lain, tim-tim engineering yang membangun AI ini—mulai dari perancang UI hingga penentu kepribadian AI—masih didominasi oleh laki-laki. 

Menurut data dari World Economic Forum, hanya 12-26% tenaga kerja di sektor AI yang perempuan. Dengan dominasi sudut pandang laki-laki, keputusan untuk membuat AI “berjenis kelamin perempuan” seringkali tidak diimbangi dengan refleksi gender yang kritis.

Hasilnya: wajah feminin menjadi “basis yang aman”, bukan karena alasan esensial, tetapi karena dianggap netral secara budaya.

Dunia Mulai Bertanya: Kenapa AI Harus Perempuan?

Fenomena ini mengundang banyak kritik. Organisasi seperti Brookings Institution, UNESCO, dan komunitas teknologi seperti Algorithmic Justice League mulai menyoroti bahaya normalisasi AI perempuan yang hanya ramah, penurut, dan ‘tidak melawan’.

Salah satu respons paling progresif datang dari Copenhagen Pride, yang menciptakan “Q”, suara AI netral gender pertama di dunia. Tidak terlalu berat, tidak terlalu ringan, dan tidak memproyeksikan karakter feminin maupun maskulin.

Tak mau tertinggal, Apple pun mulai menawarkan beragam pilihan suara untuk Siri, termasuk suara maskulin dan gender-neutral. Amazon juga mulai menyusun persona Alexa agar lebih transparan dan tidak selalu terdengar sebagai “asisten pribadi” perempuan.

Masa Depan AI: Netral, Beragam, atau Feminis?

Kini, industri teknologi mulai mempertanyakan ulang desain AI dari sisi gender dan otoritas. Studi dari jurnal Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa suara perempuan yang terlalu pasif bisa membuat AI tampak tidak cakap. Namun jika dibuat lebih tegas, suara tersebut justru dianggap “mengganggu” atau “aneh”—karena melawan ekspektasi masyarakat terhadap feminin.

Di sinilah muncul konsep “feminis AI”: AI dengan persona perempuan yang punya otoritas, berpengetahuan, dan tidak takut terdengar tegas. Ini adalah tantangan desain sekaligus peluang: menciptakan AI perempuan yang tidak sekadar manis, tapi juga berdaya.

Penelitian terbaru oleh Weizi Liu (2024) memperkuat hal ini. Liu menunjukkan bahwa persepsi gender pada AI tidak hanya memengaruhi cara orang memperlakukan AI, tetapi juga berdampak pada bagaimana mereka berinteraksi dengan sesama manusia setelahnya. Artinya, AI bisa memperkuat atau bahkan membentuk norma sosial baru.

Ketika Indonesia resmi memperkenalkan Nirmala, meta-human otonom pertama di Tanah Air, banyak mata terpaku pada kecanggihannya. Namun, tak sedikit juga yang langsung bertanya-tanya: "Kenapa Nirmala tampil sebagai perempuan?" Apakah ini keputusan estetik belaka? Atau ada alasan lain yang lebih dalam?

Ternyata, pilihan untuk menghadirkan wajah perempuan pada sosok AI bukan perkara sepele. Ini adalah hasil dari berbagai pertimbangan teknologis, sosial, hingga budaya yang berkelindan membentuk satu keputusan strategis. Nirmala, dalam segala keanggunannya, sedang memanggil kita untuk melihat ke dalam sistem yang membentuknya.

Nirmala hadir bukan dalam ruang hampa. Ia adalah hasil dari strategi branding, pertimbangan budaya, dan desain pengalaman pengguna yang cermat.

Mungkin pengembang memilih identitas perempuan agar Nirmala terasa lebih ramah dan bisa diterima luas oleh masyarakat yang masih konservatif soal teknologi. Mungkin juga, ini cara agar publik lebih mudah membangun keterikatan emosional terhadap Nirmala—karena wajah dan suara perempuan dianggap “menenangkan”.

Di saat yang sama, langkah ini juga mereproduksi stereotip lama bahwa perempuan cocok sebagai pendamping, bukan pemimpin.

Wajah perempuan Nirmala bukan sekadar pilihan estetik. Ia adalah hasil dari sejarah panjang bias data, strategi adopsi teknologi, dan desain yang mengikuti norma sosial dominan.

Namun, di tengah kritik dan refleksi yang muncul, kita justru punya peluang emas: membuka babak baru dalam desain meta-human yang inklusif, representatif, dan sadar gender.

Nirmala bisa menjadi simbol revolusi—bukan hanya karena ia AI pertama Indonesia, tapi karena ia bisa mengawali diskusi penting: apa artinya menjadi “perempuan” di dunia digital, dan apakah kita siap membuat teknologi yang benar-benar setara?

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 23 Juni 2025.