Minggu, 16 April 2023 10:39 WIB
Penulis:Nila Ertina
DIKENALl sebagai bulan penyucian diri, Ramadan menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya.
Kini bulan suci ini telah berada di penghujung bulan, Syawal telah berada di depan mata.
Lantas, apa yang sudah kita diperoleh? Sering kita dengar slogan “kembali ke fitrah” ketika bulan Ramadan telah usai, tepatnya di hari raya Idul Fitri.
Karena seseorang yang telah melalui satu bulan Ramadan diharapkan ibarat bayi yang baru lahir; bersih tak memiliki dosa, dianalogikan dengan kerta putih; bersih tanpa tinta hitam, demikian mengutip NU Online.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِينَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Ramadhan merupakan bulan yang Allah wajibkan kepada umat Muslim untuk berpuasa dan aku mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakannya. Maka barangsiapa yang berpuasa dengan didasari iman dan mengharap ridha Allah, dia akan keluar dari dosa ibarat waktu dilahirkan.” (HR Ahmad).
Apa makna yang dimaksud dari “kembali ke fitrah”?
Fitrah bermakna suci, bersih; kembali ke sifat dasar manusia yang tak memiliki dosa layaknya bayi yang baru dilahirkan. Kata “suci/bersih” dalam literatur turats dikenal dengan sebutan “at-thaharah”.
Imam Al-Ghazali menyebutkan, suci tidak hanya bermakna bersih secara lahir, namun juga bersih secara batin. Lebih lengkapnya Hujjatul Islam Al-Ghazali membagi suci/bersih menjadi empat (4) macam, yang kemudian diringkas oleh Syekh Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi:
الطهارة لها أربع مراتب المرتبة الأولى تطهير الظاهر عن الأحداث وعن الأخباث والفضلات المرتبة الثانية تطهير الجوارح عن الجرائم والآثام المرتبة الثالثة تطهير القلب عن الأخلاق المذمومة والرذائل الممقوتة المرتبة الرابعة تطهير السر عما سوى الله تعالى وهو طهارة الأنبياء صلوات الله عليهم والصديقين
Artinya, “Thaharah memiliki empat (4) tingkatan: tingkatan pertama adalah penyucian yang tampak dari kotoran-kotoran badan; tingkatan yang kedua ialah penyucian anggota badan dari tindak kriminal dan segala dosa; tingkatan ketiga yaitu penyucian hati dari akhlak tercela dan hal-hal yang hina; dan keempat adalah penyucian sirr (rahasia) dari selain Allah swt. Yang terakhir ini merupakan penyucian yang dilakukan oleh para nabi dan orang-orang yang dipercaya oleh Allah.” (Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi, Mau’idhatul Mu’minin, halaman 21-22).
Sekilas dari keterangan di atas bahwa penyucian diri tidak hanya berkaitan dengan yang tampak (lahir), namun yang tak tampak pun (batin) harus disucikan, sehingga seseorang dianggap kembali ke fitrah setelah melalui ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menyebut bahwa empat tingkatan itu adalah piranti yang harus dilalui secara bertahap untuk penyucian diri, lebih-lebih di bulan Ramadan.
Artinya, penyucian diri secara batin tidak bisa dicapai selama penyucian diri secara lahir belum terlaksana. (Ad-Dimasyqi, 21-22).
Timbul permasalahan ketika seseorang mengejar kesucian diri di bulan suci ini, yaitu isu global yang masih hangat diperbincangkan, yaitu krisis iklim.
Krisis iklim di bulan Ramadan kali ini sangat terasa, dimana cuaca tak menentu hadir menguji ibadah umat muslim.
Hujan dan panas silih berganti tanpa memandang musim yang mengakibatkan problem ekologi, seperti: bencana alam terjadi di berbagai tempat.
Hemat penulis, mengejar kesucian diri tidak cukup hanya diri secara lahir dan batin pada manusia saja, namun perlu ada upaya-upaya mengejar kesucian/kebersihan untuk lingkungan sekitar sehingga seseorang layak menyandang “kembali ke fitrah” ketika Idul Fitri tiba.
Karena, kesucian diri tidak akan tercapai, ketika sampah berada di berbagai tempat, air sudah mulai kotor disebabkan proyek-proyek kotor batu bara dan semisalnya.
Kesadaran lingkungan ini perlu diperhatikan secara serius, karena sejatinya dunia yang dipijaki oleh umat manusia memiliki sifat alami yang indah dan sejuk dipandang. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا
Artinya: “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Sungguh Allah yang menitah kalian untuk mengurusinya, maka Allah akan melihat bagaimana kalian berbuat. Takutlah kalian pada dunia” (HR. Muslim).
Baca Juga:
Takut pada dunia bukan berarti menghindari atau membiarkan, namun harus mengurusi dunia sehingga tetap memiliki sifat alami yang indah dan sejuk dipandang. An-nawawi memaknai “takutlah kepada dunia” dengan menjauhkan fitnah-fitnah (perbuatan yang menimbulkan kekacauan) yang membuat kerusakan pada dunia.
فاتقوا الدنيا ومعناه تجنبوا الافتتان بها
Artinya: “Makna “takutlah pada dunia” adalah menjauhkannya dari fitnah-fitnah.” (An-Nawawi, Syarhu Nawawi ‘ala Muslim, [Beirut, Darul Ihya’ Turats Al-‘Arabi], juz XVII, halaman 55).
Dari sini dapat disimpulkan, mengejar kesucian diri terdapat tiga macam. Dua berada pada kesucian diri manusia secara lahir dan batin, sedangkan yang terakhir adalah kesucian/kebersihan pada lingkungan. Lingkungan dan diri manusia tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan.
Ketika lingkungan sudah tidak lagi bersahabat dengan manusia dengan berbagai bencana yang terjadi, maka kesucian diri manusia sulit tercapai.(*)