PLTU
Selasa, 11 November 2025 21:27 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina

Oleh: Miftahur Rizki*
MATAHARI menanjak perlahan, embun pagi mulai lenyap. Di Stasiun Kertapati, kami rombongan mahasiswa magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Prodi Jurnalistik, UIN Raden Fatah Palembang, di media WongKito.co bersiap meninggalkan Palembang menuju Lahat. Tak banyak yang kami tahu, kecuali satu hal, kami akan menyusuri dan bersama masyarakat di sebuah desa yang dikelilingi tambang.
Pagi itu, Sabtu (18/10/2025), sekitar pukul 07.45 WIB kami tiba di stasiun kereta api, Stasiun Kertapati. Sambil menunggu teman-teman lain, kami sarapan dan bercengkerama ringan.
Tiket keberangkatan sudah dipesan beberapa pekan lalu oleh Haikal orang yang paling berpengalaman naik kereta di antara kami. Namun, dua tiket bermasalah karena Nomor Identitas Kependudukan (NIK) tertukar antara milik saya dan Haikal.
Kami sempat panik, lalu mengurus perbaikan tiket itu tiga hari sebelum keberangkatan. Petugas meminta kami datang lagi dua jam sebelum jadwal kereta. “Santai, masih jam tujuh. Jam delapan aja ke loket,” seruku pagi itu.
Baca Juga:
Setelah semua urusan beres, kami menanti waktu keberangkatan dengan rasa penasaran. Mbak Nila, dosen pembimbing yang juga Pemimpin Redaksi WongKito.co, telah memberi tahu bahwa kami akan meliput isu lingkungan di kawasan Merapi Barat, daerah yang katanya tengah menghadapi persoalan serius karena terdampak industri ekstraktif.
Menuju Desa Muara Maung
Satu jam lebih menunggu di stasiun, pukul 09.00 WIB, kereta perlahan meluncur meninggalkan Stasiun Kertapati. Perjalanan menuju Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, memakan waktu sekitar empat jam, ditambah 40 menit menuju posko Yayasan Anak Padi tempat kami menginap.
Sebanyak 10 orang rombongan kami, dan ketika berada dalam kereta tempat duduknya terpencar, empat orang duduk berhadapan, lima lainnya di baris belakang. Mbak Nila bahkan berada di gerbong paling belakang.
Suasana riuh, karena sebagian dari kami baru pertama kali naik kereta. Kami banyak bercanda, saling bercerita, hingga akhirnya tertidur karena tak mampu lagi menahan kantuk yang menyerang, mengingat malam sebelum keberangkatan kami "live in" ke desa lingkar tambang tersebut tidak tidur.
Tepat pukul satu siang, kami tiba di Stasiun Lahat. Udara kering dan debu menyambut langkah kami. Teman-teman dari Yayasan Anak Padi sudah menunggu menjemput untuk mengantar ke posko. Kami beristirahat sebentar, makan siang, lalu berdiskusi ringan tentang agenda sore itu.
“Istirahat selesai, waktunya beraksi!” seru salah satu teman dengan semangat.
Bertemu Linda, Sang Gajah Sumatera
Sore itu, kami menuju Bukit Serelo, tempat beroperasinya sekolah gajah. Perjalanan berliku dan menanjak, tapi pemandangannya menakjubkan. Di sana, kami bertemu Linda, seekor gajah betina besar yang masih bertahan di kawasan tersebut.
Total ada delapan ekor gajah yang tinggal di area Taman Wisata Alam, Isau-Isau, di kaki Bukit Serelo habitat alami mamalia darat terbesar di dunia itu. Namun kini habitat mereka terancam karena kondisi lingkungan yang terus terdesak.
“Indah, ya. Tapi kalau begini terus, lima tahun lagi belum tentu pemandangannya masih sama,” ujar Fathul lirih.
Kami mengabadikan momen bersama Linda, lalu berbincang dengan Sahwan, Ketua Yayasan Anak Padi. Di balik keindahan alam itu, terbentang aktivitas tambang batu bara yang rakus menggerogoti habitat satwa.
“Kami berjuang bukan hanya untuk menjaga alam, tapi juga hak hidup masyarakat di sekitar tambang,” ujar Sahwan, yang selama 5 tahun terakhir mendampingi warga Merapi Barat.
Langit senja memerah, menandai berakhirnya hari pertama kami di Lahat.
Jejak Tambang
Setelah malam penuh tawa di posko, hari kedua membawa suasana berbeda. Suara bising dari cerobong asap Pembangkit Listik Tenaga Uap (PLTU) menggema dari kejauhan, asap mengepul di langit pagi. Setelah sarapan dan menyeruput kopi buatan Fathul, kami berangkat ke lokasi berikutnya seberang Sungai Lematang.
Kami menyeberangi jembatan gantung dari papan kayu dan tali baja. Goyangannya membuat jantung berdebar, tapi anak-anak lokal tampak biasa saja memancing di tengah jembatan. Di seberang, kami disambut Pak Supri (70), warga Desa Telatang yang kebun garapannya berbatasan dengan tembok PLTU, Ia menjadi pemandu kami hari itu.
Ia membawa kami menelusuri kebun warga yang bersebelahan dengan area PLTU dan tambang batu bara. Di beberapa titik, ia menunjuk ke lahan yang mulai mengering dan pepohonan yang meranggas.
“Dulu, tanah di sini masih subur. Sekarang banyak yang nggak bisa ditanami lagi,” ujarnya pelan.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lahat (2024), kawasan Merapi Barat menjadi salah satu wilayah dengan aktivitas tambang batu bara terbanyak di Sumatera Selatan. Di Desa Muara Maung saja terdapat 10 Izin Usaha Pertambangan atau IUP yang beroperasi sejak belasan tahun.
Dampak aktivitas pertambang batu bara dan operasional PLTU, terhadap lingkungan sangat signifikan, mulai dari penurunan kualitas air dan udara serta tanah dirasakan warga sekitar.
Kami juga mengunjungi situs makam leluhur masyarakat Merapi Barat yang masih terawat. Jalanan berbatu, semak belukar, dan panas siang membuat perjalanan terasa berat.
Namun, semua terbayar ketika kami tiba di aliran Sungai Pendian, yang kini sumber mata airnya terhalang tembok tinggi milik perusahaan tambang.
Kami berdiskusi dan mendokumentasikan temuan di sana. Tak lama, kami kembali ke posko untuk beristirahat. Di sore hari, kami berbincang santai dengan Bang Sahwan tentang perjalanan panjang Yayasan Anak Padi dalam memperjuangkan keresahan masyarakat yang terdampak pertambangan batu bara dan PLTU.
Malamnya kami makan bersama, bernyanyi, dan tertawa menghangatkan suasana sebelum hari terakhir tiba.
Pulang dan Renungan
Esoknya, kami bersiap pulang. Di Stasiun Lahat, masalah tiket kembali muncul. Dua tiket bermasalah membuat kami harus menandatangani surat pernyataan agar bisa naik ke kereta. Setelah semua selesai, kami akhirnya berangkat dan tiba di Palembang pukul lima sore.
Baca Juga:
Perjalanan tiga hari itu meninggalkan kesan mendalam. Kami belajar bahwa isu lingkungan bukan sekadar wacana di media, melainkan realita yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Menjaga bumi bukan pilihan melainkan kewajiban. Sebab, hak untuk menghirup udara segar, meminum air bersih, dan menanam di tanah subur adalah milik semua makhluk di bumi ini.
Perjalanan ini bukan sekadar liputan, tapi pelajaran tentang keseimbangan antara alam dan manusia. Di Lahat, kami menyaksikan sendiri bahwa di balik debu tambang dan panas matahari, masih ada harapan selama ada yang mau menjaga bumi dengan hati.
*Mahasiswa Jurnalistik UIN Raden Fatah Palembang, Angkatan 2023
22 hari yang lalu