Jumat, 03 Oktober 2025 15:26 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
SOLO, WongKitol.co —“Situasi ini sangat getir bagi pemuda seperti saya.” Kalimat itu terlontar dari Lilik ketika berdiskusi bersama Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya di Rumah Banjarsari, Solo, Rabu, 1 Oktober 2025. Saat itu, aktivis dari Gusdurian Solo tersebut tengah bercerita tentang pengalamannya berdemonstrasi belum lama ini.
Ketika hendak mengikuti aksi, dia menyaksikan rekannya menerima teror yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. Rumah temannya didatangi pihak keamanan. Tak sampai di situ, rekannya mendapati sampah berserakan di halaman rumah.
“Sebelum aksi didatangi aparat, rumah dikirimi sampah. Seolah demo itu adalah tindakan jahat,” ujar pemuda generasi (gen) z tersebut.
Keresahan serupa disampaikan Jody, Ketua Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Solo. Dia bersama rekan dosennya pernah merasa gerak-geriknya dibuntuti saat hendak mengikuti demonstrasi. “Dosen kami diikuti intel, diincar polisi,” ujar Jody yang juga pegiat komunitas Carefood Solo ini.
Di IPM, dia mengaku diajarkan menentang kesewenangan. Ketika ada kriminalisasi dan represivitas aparat, Jody dan kawan-kawannya tak bisa berpangku tangan. “Represivitas itu bagian dari kemungkaran, jadi harus dilawan. Amar maruf nahi mungkar,” ujarnya tegas.
Puluhan Anak Muda Ditangkap
Belakangan, kriminalisasi maupun tekanan terhadap warga yang kritis, termasuk aktivis muda, cenderung meningkat. Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya mencatat periode Agustus hingga awal September 2025, ada beberapa kasus penangkapan anak akibat demonstrasi di wilayah Soloraya.
Di Solo, sebanyak 65 anak muda sempat ditangkap karena diduga terlibat dalam aksi massa. Mayoritas akhirnya dibebaskan setelah melalui pendataan dan pembinaan, sementara beberapa lainnya tetap diproses hukum. Ada pula tiga anak yang ditangkap karena membawa lima bom Molotov.
Di Wonogiri, polisi menangkap delapan anak sekolah yang diduga merencanakan aksi perusakan dan vandalisme, termasuk rencana menyerang kantor DPRD serta kantor polisi. Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya menilai aparat tidak hanya menangkap sewenang-wenang, tapi juga mempermalukan mereka dengan memaksa melakukan sungkem di kantor polisi, seperti kasus di Solo.
Salah seorang perwakilan Jaringan Masyarakat Sipil Soloraya, Mariyana Ricky, menilai tindakan sewenang-wenang aparat bertentangan dengan UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), serta Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia.
“Praktik tersebut merupakan bentuk eksploitasi anak karena menjadikan anak sebagai alat pencitraan atau kontrol sosial aparat. Perlakuan itu merendahkan martabat anak dan bertentangan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang seharusnya dijunjung tinggi,” tegas Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta itu.
Aktivis era 1998 yang kini menjadi pegiat desa, Sinam Sutarno, menilai kekritisan anak muda atau generasi Z saat ini adalah bentuk perlawanan pada zamannya. Berbeda dengan eranya, Sinam menyebut gerakan anak muda kekinian bisa lebih powerful dengan bantuan media sosial (medsos). “Medsos atau live streaming saat ini bisa menjadi ruang aspirasi anak muda dan memperkuat gerakan.”
Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah lebih peka dengan tuntutan generasi muda, bukan malah melakukan tindakan represif. “Pesannya yang ditangkap, bukan orangnya,” ucap dia. Sinam mengingatkan pergolakan di Nepal harus menjadi pelajaran. “Mematikan medsos sama dengan mematikan aspirasi gen Z.”
Perwakilan jaringan dari Gusdurian Solo, Dimas Suro, mulai melihat ada kekhawatiran dari anak muda untuk berekspresi di media sosial. Padahal, salah satu sarana mengungkapkan kekritisan anak muda saat ini adalah dunia maya. “Sekarang seperti ada ketakutan menulis, takut dianggap menghasut dan sebagainya.”
Suro mendorong pemerintah maupun kepolisian memberi rasa aman pada warganya, dengan menghindari kriminalisasi dan represivitas yang tidak perlu. “Kebebasan berekspresi perlu dijamin.” Rekan Suro di Gusdurian, Lilik, menambahkan demokrasi mestinya tak hanya hadir saat pemilu. “Jangan sampai negara hanya hadir pada 14 Februari (tanggal Pilpres),” ujarnya.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 2 Oktober 2025.