Ketua YLBH APIK Sumsel: Kecewa Berat Dosen Unsri Pelaku KS dapat Potongan Tahanan

Kamis, 09 Mei 2024 20:19 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi korban kekerasan seksual
Ilustrasi korban kekerasan seksual (Canva)

PALEMBANG, Wongkito.co - Menanggapi bebas bersyaratnya, dosen Universitas Sriwijaya (Unsri) Reza Ghasarma terpidana kasus kekerasan seksual (KS) yang seharusnya masih menjalani tahanan hingga 1,5 tahun ke depan, Ketua Yayasan LBH APIK Sumsel, Maryani Marzuki mengaku kecewa berat.

Maryani mengungkapkan kasus KS menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban, sehingga sudah sepantasnya pelaku dihukum berat.

LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) selama ini sangat konsens dalam membela korban KS maupun kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, karenanya karenanya Ketika mendapat informasi adanya pemotongan masa tahanan pelaku KS tentunya luar  biasa kecewa, kata dia Ketika dibincangi Wongkito.co, Kamis (9/5/2025).

Baca Juga:

Sebelumnya, Kasi Pelayanan Tahanan Rutan Klas I Palembang, Fitri Yadi mengatakan pembebasan Reza Ghasarma tersebut sesuai dengan SK pembebasan bersyarat yang telah diterbitkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM.

"Meskipun bebas, tetapi Reza tetap wajib lapor sampai masa hukumannya berakhir," kata Fitri mengutip kumparan.com, Rabu (8/5/2024).

Seperti diberitakan sebelumnya, Reza dibebaskan dari Rumah Tahanan Klas I, kemarin.

Dosen yang divonis terbukti melakukan KS berupa chat mesum kepada sejumlah mahasiswi tersebut awalnya Pengadilan Negeri Palembang Kelas 1A Khusus menjatuhkan vonis 8 tahun penjara terhadap Reza Ghasarma, pada 30 Mei 2022.

Atas vonis tersebut, Reza melalui tim kuasa hukumnya mengajukan banding dan diterima sehingga hukumnya dipotong menjadi 4 tahun penjara. Kini setelah menjalani masa hukuman sekitar 2,5 tahun termasuk subsider yang bersangkutan mengajukan pembebasan bersyarat dan dipenuhi.

Satgas

Ketua YLBH APIK Sumsel, Maryani Marzuki menambahkan sebenarnya pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan  Perguruan Tinggi.

Peraturan Menteri ini, seharusnya menjadi acuan bagi kampus untuk mengoptimalkan pencegahan KS dan melindungi korban KS. Dalam kasus KS yang dilakukan oknum dosen Unsri ini menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di perguruan tinggi jika tidak tertangani dengan baik meskipun telah menjalani hukuman tetapi belum optimal karena dianggap masih terlalu ringan.

Berdasarkan peraturan Menteri tersebut, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pasal 23 menjelaskan diantaranya dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, pemimpin perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas (Satgas).

Proses pembentukannya dilakukan dengan melalui seleksi panitia. Panitia seleksi mesti memperhatikan keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.

Adapun, anggota panitia seleksi  sebagaimana dimaksud terdiri atas unsur: Pendidik; Tenaga Kependidikan; dan Mahasiswa; dengan syarat pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual; pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;  pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual.

Penjelasan KS

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi tersebut dijelaskan apa yang dimaksud Kekerasan Seksual yang mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Kekerasan Seksual meliputi:  menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;    memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.

Lalu, menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban; mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.

Kemudian,  menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.

Baca Juga:

Selain itu, KS juga meliputi pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban, membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban, memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual. Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual.

Tak hanya itu, KS juga melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;  memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;  memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;  membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja, melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

Maryani menegaskan sudah sepatutnya, Satgas KS di kampus-kampus perguruan tinggi dioptimalkan, bukan hanya karena telah ada korban KS, tetapi harus berperspektif pencegahan, tegas dia.(Nila  Ertina)