Koalisi: Putusan Anti-SLAPP Majelis Hakim Perlindungan Nyata Pembela Lingkungan

Jumat, 10 Oktober 2025 19:01 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

YLBHI.png
Preseden Baru Perlindungan Pembela Lingkungan: Pengadilan Terapkan Mekanisme Anti-SLAPP Melalui Putusan Sela (ist/YLBHI)

JAKARTA, WongKito.co – Koalisi Save Akademisi dan Ahli mengapresiasi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong yang memutuskan gugatan PT Kalimantan Lestari Mandiri (PT KLM) terhadap dua akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) tidak dapat dilanjutkan karena merupakan tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Mekanisme anti SLAPP yang diterapkan pengadilan dinilai menjadi preseden baru perlindungan pembela lingkungan. 

"Putusan ini mencatatkan sejarah sebagai putusan Anti-SLAPP pertama di Indonesia yang dijatuhkan melalui mekanisme putusan sela dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup,” tulis Koalisi dalam siaran pers yang dikutip, Jumat (10/10/2025).

Latar belakang gugatan ini diajukan oleh PT KLM terhadap Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis yang telah memberikan keterangan ahli dalam perkara kebakaran lahan gambut di areal perkebunan PT KLM di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah pada tahun 2018. Keterangan ahli tersebut digunakan sebagai dasar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menghukum PT KLM membayar ganti rugi materiil sebesar Rp89,3 miliar dan biaya pemulihan sebesar Rp210,5 miliar. 

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menegaskan bahwa keterangan ahli yang disampaikan kedua profesor dalam persidangan merupakan bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup. 

Majelis juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 119/PUU-XXIII/2025 yang memperluas perlindungan Pasal 66 UU PPLH untuk mencakup "setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup." Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) huruf c Perma No. 1 Tahun 2023, penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan di persidangan termasuk dalam bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup yang dilindungi. Gugatan yang mengancam partisipasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 66 UU PPLH. 

Langkah Progresif Majelis Hakim

Koalisi Save Akademisi dan Ahli menilai langkah Majelis Hakim ini tepat, progresif, dan selaras dengan semangat perlindungan terhadap pembela lingkungan hidup. Putusan ini menunjukkan pemahaman yang kuat atas prinsip AntiSLAPP sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. 

“SLAPP harus dihentikan sedini mungkin untuk mencegah kriminalisasi dan tekanan terhadap individu yang berpartisipasi dalam perlindungan lingkungan hidup. Mekanisme melalui putusan sela menjadi langkah yang efektif dan berkeadilan, karena memungkinkan penghentian perkara sejak awal tanpa harus menunggu proses persidangan yang panjang, melelahkan, dan berbiaya besar bagi para pembela lingkungan,” ujar Marsya M Handayani, Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). 

Koalisi Save Akademisi dan Ahli menegaskan, penerapan mekanisme ini merupakan bentuk konkret perlindungan hukum bagi masyarakat, ahli, maupun akademisi yang menjalankan perannya dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup. Dengan putusan ini, pengadilan telah memberikan sinyal kuat bahwa upaya pembungkaman terhadap partisipasi publik dalam isu lingkungan tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum. 

“Putusan ini jadi pengingat bagi seluruh Perusahaan Perusak Hutan untuk segera menaati hukum dan putusan pengadilan. Tidak ada ruang lagi untuk mencoba memenjarakan pejuang lingkungan demi keuntungan segelintir orang,” tegas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. 

Preseden Penting bagi Perlindungan Akademisi dan Ahli Lebih jauh, Koalisi Save Akademisi dan Ahli berharap putusan ini dapat menjadi rujukan bagi pengadilan lain dalam menangani kasus-kasus serupa dan memberikan perlindungan optimal bagi siapapun yang berjuang untuk kelestarian lingkungan hidup di Indonesia. YLBHI menilai putusan ini sebagai langkah penting dalam meneguhkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. 

Melalui mekanisme Anti-SLAPP, pengadilan tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik sebagai dasar kehidupan ilmiah dan demokratis. Keberanian Majelis Hakim menerapkan Perma No. 1 Tahun 2023 memberi harapan baru bagi peradilan untuk benarbenar menjadi benteng terakhir bagi pembela lingkungan dan HAM. Pertimbangan dalam putusan ini seharusnya menjadi contoh bagi perkara lain, termasuk kasus yang menjerat 11 masyarakat adat Maba Sangaji di Maluku Utara, agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap mereka yang berjuang membela hak atas lingkungan. 

“Ke depan, negara dan aparat penegak hukum harus memastikan tidak ada lagi penggunaan instrumen hukum untuk membungkam hak-hak masyarakat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan,” tegas Edy K. Wahid, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI. 

Senada dengan itu, Wildan dari Departemen Advokasi dan Kampanye Trend Asia “Ini merupakan putusan progresif untuk perlindungan terhadap para pejuang lingkungan. Sebaran kasus kriminalisasi pembungkaman untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat masih terus berlanjut dan bertambah, terutama mereka yang berjuang menolak proyek-proyek PSN karena merampas ruang hidup dan lingkungan.” 

Sementara itu, Jikalahari menilai putusan ini sebagai kemenangan bagi seluruh akademisi, aktivis, dan semua pihak yang berpartisipasi dalam perlindungan lingkungan hidup—baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Putusan ini juga menjadi kemenangan bagi masyarakat korban asap akibat pembakaran hutan oleh PT KLM. 

“Dengan putusan ini membuktikan bahwa vonis terhadap PT KLM yang disandarkan pada laporan perhitungan dari ahli Prof. Bambang Hero dan Prof. Basuki Wasis tak terbantahkan. Pengadilan harus segera mengeksekusi terhadap PT KLM serta seluruh perusahaan pelaku pembakar hutan yang telah divonis inkrah,” kata Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari. 

Dari daerah, WALHI Kalimantan Tengah menyambut putusan ini sebagai angin segar bagi pembela lingkungan hidup, khususnya di wilayah yang kerap menjadi episentrum konflik antara kepentingan korporasi dan hak masyarakat atas sumber penghidupan. Mekanisme Anti-SLAPP yang diterapkan melalui putusan sela ini dinilai harus menjadi standar baru bagi semua pengadilan di Indonesia dalam menangani perkara lingkungan. (*)