Krisis Iklim: Santri Jihad Melawan Kerusakan Lingkungan

Minggu, 22 Oktober 2023 08:02 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi
Ilustrasi (WongKito.co/Nila Ertina FM)

PALEMBANG, WongKito.co - Setiap 22 Oktober kini diperingati sebagai Hari Santri.

Peringatan kali ini, Kementerian Agama RI telah mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri” dalam perayaan Hari Santri 2023. Tema ini menjadi pemantik untuk terus berkontribusi membangun negeri salah satunya dalam memecahkan persoalan lingkungan di Tanah Air.

Anggota Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DI Yogyakarta Ahmad Nashih Luthfi mengatakan, jihad santri saat ini berbeda dengan resolusi jihad melawan penjajah pada tahun 1945. Jihad santri setelah 78 tahun sekarang ini adalah jihad melawan kerusakan lingkungan akibat pembangunan, aktivitas ekonomi, dan polusi sampah.

"Jadi, jika direfleksikan jihad 78 tahun lalu dengan jihad sekarang itu berbeda. Ini tantangan kaum santri dan umat Islam sekarang," kata Luthfi mengutip NU Online, Sabtu (21/10/2023).

Baca Juga:

Pesantren merupakan salah satu tempat yang menghasilkan sampah dengan volume yang banyak terutama sampah sisa-sisa dapur dari pengolahan makanan santri. Persoalan sampah ini adalah problem yang mereka (santri dan pesantren) hadapi dan rasakan. Bagaimana pun warga pesantren menjadi produsen sampah juga.

Luthfi berharap, santri bisa menjadi garda terdepan dalam memecahkan problem ini.

"Santri menjadi garda depan karena selain mendakwahkan, mengampanyekan adalah mengamalkannya karena mereka juga menjadi produsen sampah.Semua orang menjadi produsen sampah sebetulnya," ujar Luthfi.

Menurut dia solusi dari mengurangi persoalan sampah di pesantren bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana yakni aktivitas sehari-hari di pesantren. Misalnya santri mulai mengelola sampah, mengurangi sampah, dan memilah sampah.

"Jadi, santri harus mulai sadar untuk mengolah, memilah dan mengurangi sampah. Dan jangan dianggap sepele karena besar sekali potensinya. Meskipun diolah, tapi sifat konsumtifnya tetap tinggi iya tidak berimbang antara pertumbuhan dan kemampuan mengolah sampah," katanya.

Upaya jangka panjang yang bisa dilakukan santri dan pesantren saat ini dengan memikirkan  pelestarian lingkungan dan alam di tengah kondisi krisis iklim yang ini berkaitan soal kelebihan konsumsi energi sehari-hari.

Warga Nahdliyin, kata Luthfi, yang mayoritas petani saat ini mulai merasakan dampak akibat krisis iklim.

"Jangka panjang santri mulai kritis terhadap pembangunan yang merusak, sungai-sungai yang polutif. Saya membayangkan santri turun ke sungai membersihkan dan mendakwahkan ke masyarakat isu lingkungan," harapnya.

Pesantren emas Luthfi mengungkapkan, hasil penelitian di Jawa Timur terdapat tiga atau empat pesantren yang mulai merintis pengelolaan sampah. Mereka mendeklarasikan sebagai pesantren hijau. Salah satunya ada di Pesantren Annuqayyah Sumenep, Madura. Pesantren tersebut menghasilkan 2 ton sampah/hari.

Kini, pesantren yang didirikan pada tahun 1887 itu telah menyatakan ‘zero sampah’. Hal ini karena keberhasilannya melakukan pengelolaan sampah dalam sistem ekonomi sirkuler.  

"Di Yogyakarta baru memulai ini. PWNU DIY selain membuat brief untuk pemerintah juga membuat surat edaran ke beberapa pesantren. Kami sudah mulai bergerak dan kesadaran ini akan terus kita bangun," terang Luthfi.

Pesantren Emas sendiri merupakan program inkubasi pendidikan pengelolaan sampah yang digagas PWNU DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Program ini dipimpin oleh Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang bekerja sama dengan Kelompok Usaha Pengelola Sampah (Kupas) Yayasan Fahmina Cirebon, serta PT Pegadaian.

Isu ekologi harus jadi perhatian RMINU  Luthfi berharap lembaga seperti Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) yang menaungi pesantren-pesantren di Indonesia mulai mewacanakan isu lingkungan ke dalam sebuah program.

Baca Juga:

Misalnya, di pesantren-pesantren atau di pengajian mulai disampaikan pentingnya jihad ekologi. Pula dijelaskan mengenai masalah lingkungan dan pelestarian alam sebagai masalah bersama yang harus dikaji dan menjadi materi dakwah.

"Ada yang namanya fiqih lingkungan (fiqhul bi'ah) yang disusun KH Ali Yafie. Kiai Ali Yafie sudah merintis kajian fiqih sosial sayangnya belum populer di pengajian. Fiqih tentang lingkungan ini bisa mulai diperagakan untuk pesantren masing-masing. Fiqhul bi'ah ini penting sekali," katanya.(*)