Palembang
Kamis, 30 Mei 2024 08:38 WIB
Penulis:Nila Ertina
Oleh : Ade Juni, Adeliatama Yosica, Annisa Uljanna, Aulia Faniazona, Emilda, Mahadita Nurul Huda, Manda Almasyah, Nurul Maulidya Reva*
Tuberkulosis (TB paru) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis di paru. Bakteri tuberkulosis yang menyerang paru menyebabkan gangguan pernapasan, seperti batuk kronis dan sesak napas. Bakteri ini menyebar ketika seseorang menghirup percikan ludah (droplet) saat penderita TB batuk, berbicara, atau bersin.
Kualitas kesehatan lingkungan yang buruk menjadi pemicu penularan penyakit tuberkulosis (TB paru), Adapun sejumlah faktornya, seperti ventilasi terbatas, pencahayaan yang kurang, dan tempat jemuran yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko penularan.
Ventilasi terbatas dapat menyebabkan penumpukan udara yang terkontaminasi oleh bakteri TB, meningkatkan kemungkinan infeksi bagi individu yang terpapar. Pencahayaan yang kurang dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan membuat tubuh lebih rentan terhadap infeksi.
Sementara itu, tempat jemuran yang tidak memadai dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri TB yang dapat terhirup oleh orang yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kondisi lingkungan yang sehat, termasuk ventilasi yang baik, pencahayaan yang cukup, dan kebersihan lingkungan, untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit TB.
Penyakit tuberkulosis di Indonesia menempati peringkat kedua setelah India, yakni dengan jumlah kasus 969 ribu dan kematian 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam.
Kementerian Kesehatan Indonesia mencatat kasus tuberkulosis (TB paru) tertinggi sepanjang sejarah yang terjadi pada tahun 2022 dan 2023.
Lebih dari 724.000 kasus TB baru ditemukan pada tahun 2022, dan jumlahnya meningkat menjadi 809.000 kasus pada tahun 2023. Padahal sebelum pandemi Covid-19, Indonesia mencatat rata-rata penemuan kasus TB di bawah 600.000 per tahun.
Meningkatnya kasus TB ini juga berarti semakin banyak orang dengan TB yang dapat dideteksi dan diobati.
Berikut adalah beberapa hasil pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa FKM Unsri selama English Camps di kelurahan 26 Ilir di kota Palembang.
Tempat jemuran yang menutupi ventilasi dapat menyebabkan udara yang terkontaminasi oleh bakteri TB tetap terperangkap di lingkungan tersebut sehingga meningkatkan risiko penularan kepada orang yang berada di sekitarnya. Tempat jemuran yang kotor atau tidak terawat dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteri dan kuman, termasuk bakteri TB.
Mengurangi risiko penularan TB melalui tempat jemuran dapat dilakukan dengan meningkatkan edukasi masyarakat, menjaga kebersihan tempat jemuran, menghindari pengeringan pakaian di tempat tertutup, dan mendorong kebiasaan hidup sehat di antara penghuni rumah susun.
Kurangnya pencahayaan di rumah susun meningkatkan risiko penyebaran penyakit TB karena sinar matahari yang minim mengurangi efek sterilisasi terhadap bakteri TB. Ventilasi yang buruk dalam bangunan-bangunan ini juga memperparah kondisi dengan menciptakan lingkungan yang ideal untuk penularan penyakit.
Pencahayaan yang cukup membantu dalam pembunuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan penyakit TB, terutama di lingkungan yang kurang ventilasi. Kondisi ruangan yang gelap dan lembab cenderung mendukung pertumbuhan dan penyebaran bakteri TB, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit ini. Oleh karena itu, kurangnya pencahayaan yang memadai dalam bangunan rumah susun dapat memperburuk situasi penyebaran penyakit TB.
Ventilasi terbatas dapat berkontribusi pada penyebaran penyakit TB paru, ventilasi yang buruk dalam ruangan dapat menyebabkan penumpukan udara yang terkontaminasi oleh bakteri TB yang terhirup oleh individu di sekitarnya. Hal ini dapat meningkatkan risiko infeksi bagi orang yang tinggal di lingkungan tersebut.
Udara yang terjebak dalam ruangan dengan ventilasi yang buruk juga dapat memperpanjang waktu paparan terhadap partikel-partikel udara yang mengandung bakteri TB, meningkatkan kemungkinan infeksi bagi individu yang terpapar.
Ventilasi yang buruk juga dapat mempengaruhi kualitas udara secara keseluruhan, menyebabkan kondisi yang tidak sehat dan meningkatkan rentabilitas individu terhadap penyakit TB dan penyakit pernapasan lainnya.
Oleh karena itu, memperbaiki ventilasi dalam ruangan dan meningkatkan sirkulasi udara adalah langkah penting dalam mengurangi risiko penyebaran TB di rumah susun
Jika saya seorang Peneliti Epidemiologi: Untuk mengatasi penyabaran penyakit TB di rumah susun saya akan melakukan penelitian terhadap revitalisasi rumah susun sebagai salah satu pencegahan tuberkulosis di rumah susun dengan menggunakan studi desain potong lintang. Kami akan mengidentifikasi sampel rumah susun, dan mengumpulkan data tingkat kejadian TB sebelum dan sesudah intervensi.
Selanjutnya data dianalisis untuk mengevaluasi efektivitas revitalisasi dalam mengurangi tingkat kejadian TB. Variabel dependen dalam hal ini adalah tingkat penyebaran atau prevalensi TB di rumah susun tersebut dan variabel independennya adalah revitalisasi rumah susun. Adapun alasan kami memilih studi desain potong lintang dikarenakan:
Studi desain potong lintang dapat membantu dalam mengidentifikasi hubungan antara revitalisasi rumah susun dan tingkat kejadian tuberkulosis. Dengan mengumpulkan data pada satu titik waktu, peneliti dapat mengevaluasi apakah ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kejadian TB antara rumah susun yang telah direvitalisasi dan yang belum direvitalisasi.
Dengan melibatkan sampel yang mewakili populasi rumah susun secara umum, studi desain potong lintang dapat memberikan gambaran yang representatif tentang situasi TB di rumah susun. Ini memungkinkan generalisasi hasil penelitian untuk diterapkan pada populasi yang lebih luas.
Studi desain potong lintang dapat dilakukan dengan cepat dan efisien karena melibatkan pengumpulan data pada satu titik waktu tertentu. Hal ini memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi tentang tingkat kejadian tuberkulosis dan faktor-faktor yang terkait dengan revitalisasi rumah susun tanpa memerlukan waktu yang lama.
Dengan melakukan pengumpulan data secara berkala, studi desain potong lintang juga dapat digunakan untuk memantau perubahan dalam tingkat kejadian tuberkulosis seiring waktu setelah intervensi revitalisasi dilakukan. Ini memungkinkan evaluasi efektivitas jangka panjang dari upaya pencegahan TB di rumah susun.
Namun dalam menggunakan studi desain potong lintang juga terdapat kelemahan yaitu peneliti sulit untuk mengetahui penyebab TB di rumah susun dikarenakan terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kejadian TB di rumah susun, seperti kepadatan penduduk, akses terhadap layanan kesehatan, dan sanitasi yang buruk sehingga sulit untuk menentukan apakah revitalisasi rumah susun secara langsung berkontribusi terhadap perubahan tingkat kejadian TB di rumah susun.
Selain itu, studi desain potong lintang hanya melakukan pengumpulan data pada satu titik waktu tertentu sehingga sulit untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dari revitalisasi rumah susun terhadap tingkat kejadian TB.
Lesson to learn : Kesadaran akan risiko TB di rumah susun sangat penting karena dapat berdampak tidak hanya pada individu tetapi juga pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Kepadatan dan kurangnya ventilasi meningkatkan risiko penularan serta mempercepat penyebaran penyakit.
Memperbaiki ventilasi, memberikan edukasi tentang gejala TB, dan memfasilitasi akses ke layanan kesehatan merupakan langkah kunci dalam mencegah penularan TB di rumah susun. Tanpa kesadaran dan tindakan pencegahan yang tepat, risiko penularan TB di rumah susun dapat meningkat secara signifikan, mengancam kesehatan dan kesejahteraan penghuninya.
Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya penyakit TB terus diperlukan untuk melindungi diri dan lingkungan dari ancaman penyakit ini.
*Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya
Editor: Najmah, Erfiana Umar, Ria Revianti
16 jam yang lalu