Memahami Konflik Gajah dan Manusia di Sumatera Selatan

Kamis, 13 Februari 2025 08:29 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi Gajah Sumatera
Ilustrasi Gajah Sumatera (ist)

Oleh: Benny Hidayat*

Etika kehidupan

Yusuf Bahtimi, kandidat Doktor di The Queen’s College, University of Oxford di Inggris, yang tengah menyelesaikan kajian mengenai koeksistensi manusia dan gajah di Sumatera Selatan, menjelaskan, selama berabad manusia di Sumatera hidup harmonis dengan gajah, begitu juga dengan harimau.

Manusia dan satwa liar membangun etika berkehidupan selama ribuan tahun. Etika itu mulai dari pembagian ruang hidup, sumber pangan, dan cara berkomunikasi dalam menyelesaikan sebuah konflik.

Etika ini menjadi pengetahuan yang diturunkan dalam beberapa generasi, sebelum hadirnya para pendatang di era pemerintahan Hindia Belanda yang merusaknya. Tapi, sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar habitat gajah tetap menjaganya.

Cara untuk memahami etika adalah belajar dengan masyarakat lokal, yang hidup harmonis dengan gajah selama belasan abad. Pengetahuan ini juga harus dipahami pemerintah maupun pelaku usaha, sehingga berbagai aktivitas pembangunan dan ekonomi, tidak menghilangkan etika tersebut.

Pemahaman perilaku gajah

Konflik antara manusia dengan gajah, seperti yang sering terjadi, pada dasarnya dikarenakan lemahnya pemahaman Masyarakat, pengusaha dan pemerintah terhadap perilaku gajah. Pembukaan lahan oleh Masyarakat, pengusaha dan pemerintah sering mengabaikan habitat satwa terutama gajah.

Penting untuk diketahui bahwa setiap pembukaan lahan hutan harus memperhatikan apakah wilayah tersebut merupakan habitat gajah. Contohnya wilayah Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin yan berbatasan dengan Kawasan Sembilang,  Kabupaten Banyuasin berbatas juga dengan Taman Nasional Sembilang, dimana daerah tersebut adalah habitat bahkan kantong gajah, namun sekarang menjadi lahan transmigrasi dan perusahaan Perkebunan sawit.
Dapat dipastikan, setiap kawasan yang pernah didatangi gajah akan didatangi kembali, dalam periode tertentu, bisa puluhan atau belasan tahun.

Tapi sekarang, ketika banyak hutan terbuka, kawanan gajah bisa kembali ke suatu tempat tidak menentu. Hal inilah yang kemudian menimbulkan interaksi negatif antara manusia dan gajah.

Pemahaman terhadap perilaku gajah, sangat penting diketahui oleh kelompok masyarakat yang menetap dan berkebun di kawasan yang diketahui sebagai habitat gajah. Misalnya, waktu istirahat gajah itu pagi hari, dari pukul 05.00 hingga 10.00. Pada waktu gajah istirahat, jangan sesekali mengusiknya. Apalagi di kawanan itu ada anak gajah.

Terhadap masyarakat yang menetap di kawasan dekat habitat atau jalur gajah, sebaiknya tidak beraktivitas di kebun pada pagi dan malam hari.

Selain itu, penting diberikan tanda peringatan pada kawasan yang pernah dilewati atau didiami gajah, sehingga, warga selalu waspada.

Sejarah konflik manusia dan gajah di Sumatera Selatan

Operasi Ganesha tahun 1982 yang dipimpin oleh IGK Manila adalah suatu Upaya pemerintah memindahkan ratusan gajah dari Air Sugihan, Sumatera Selatan menuju Lampung. Tujuan dari pemindahan gajah ini adalah penempatan transmigrasi dari pulau Jawa ke daerah Air Sugihan.

Gajah yang sekarang berada di wilayah Air Sugihan tersebut adalah gajah yang tersisa dan kemudian berkembang biak dan juga kemungkinan gajah yang terusir kembali dan berkembangbiak disana. Namun sekarang keberadaan gajah liar di wilayah tersebut diperkirakaan hanya sekitar 50 ekor.

Habitat gajah di wilayah Air sugihan semakin menyempit, setelah era 80an masuknya transmigrasi, perluasan wilayah kelola masyaraka dan saat ini wilayah tersebut sebagian besar adalah wilayah Hutan Tamanan Industri (HTI).

Kebijakan pemerintah terhadap habitan satwa sangat lemah dan cenderung tidak berpihak pada kehidupan satwa. Ditambah lagi pengusaha HTI kurang berperan terhadap keberlangsungan satwa kususnya gajah. Hal ini juga diperparah dengan anggapan masyarakat petani yang menganggap gajah adalah hama.

Saat ini konflik gajah dan manusia masih sering terjadi terutama di wilayah kantong-kantong gajah, seperti wilayahn Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Lalan  Muba, Sembilang Banyuasin, Cecar Musirawas dan daerah-daerah lainnya.

Penanganan konflik

Pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) telah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi interaksi negatif antara satwa liar terutama gajah dengan manusia. Namun upaya yang dilakukan selama ini lebih sering bersifat reaktif.

Kerja sama yang sudah terjalin selama ini antara BKSDA, Forum Komunikasi Gajah Indonesia (FKGI), Hutan Kita Institute (HaKI), Universitas Sriwijaya dan lain-lain sudah terjalin dengan baik. Namun masih terdapat kendala terutama masalah dana yang besar untuk membuat perencanaan dan penanganan yang menyeluruh.

Perlu kajian menyeluruh dan upaya bersama semua fihak untuk lebih mengoftimalkan hasil agar interaksi negatif antara gajah dan manusia semakin menurun bahkan tidak ada lagi konflik. Memakai istilah para ahli “Hidup berdamai bersama gajah.

Dalam upaya bersama, keterlibaatan masyarakat, pengusaha Hutan dan perkebunan, NGO, Akademisi dapat mengambil perannya masing-masing. Agar upaya penanganan konflik dengan satwa terutama agajah akan lebih berhasil dan kelestarian gajah terjamin.

Kajian ilmiah, perumusan masalah dan mencari Solusi bersama dapat dilakukan bersama-sama demi mewujudkan kelestarian gajah dan memberikan ruang usaha yang lebih kondusif.

*Staff Biodiversity HaKI