Taman Nasional Tesso Nilo: Cerita Jahatnya Manusia Rusak Rumah Gajah Sumatera

Sawit ilegal dan perambahan masif mengancam gajah Sumatera yang tersisa di Taman Nasional Tesso Nilo. (ist)

JAKARTA, WongKito.co – Kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau kembali menjadi perhatian publik setelah laporan satelit dan penelusuran lapangan mengungkap kerusakan masif akibat pembukaan kebun sawit ilegal dan perambahan yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.

Kawasan yang pernah dikenal sebagai “surga gajah” ini kini disebut mengalami krisis ekologis terburuk dalam sejarahnya. Tesso Nilo, habitat penting bagi Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera, kini kehilangan lebih dari 85% hutan alaminya. 

Data terbaru menunjukkan bahwa taman nasional seluas 81.793 hektare itu kini hanya menyisakan sekitar 12.561 hektare hutan primer, sekitar 15% dari total area. Laporan lain bahkan memperkirakan tutupan hutan alami tinggal 6.500 hektare atau hanya 8%.

40.000 Hektare Berubah Jadi Kebun Sawit

  • Penginderaan satelit yang dipublikasikan Mongaba menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit ilegal di dalam kawasan taman nasional. Berikut data ringkas kondisi terkini,
  • Luas resmi taman nasional: 81.793 hektare (Ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan)
  • Hutan alami tersisa: 12.561 hektare (15%) - versi laporan konservasi
  • 6.500 hektare (8%) - versi laporan investigatif terbaru, Artinya lebih dari 85% hutan asli telah hilang.
  • Lahan yang berubah menjadi kebun sawit ilegal: ±40.000 hektare (Sawit mendominasi kawasan yang seharusnya menjadi taman nasional)
  • Area perambahan aktif: >30.000 hektare (Meliputi permukiman ilegal, warung, pondok, hingga penggarapan baru)
  • Populasi gajah Sumatera di TNTN: 60–150 ekor (Turun drastis dari periode awal 2000-an)
  • Kebutuhan ruang jelajah satu kawanan gajah: 20.000 hektare/kawanan (TNTN kini terlalu sempit dan terfragmentasi untuk mendukung populasi sehat)

Kerusakan ini menyebabkan fragmentasi habitat besar-besaran, memutus koridor alami gajah dan harimau, serta mengganggu sistem hidrologi kawasan.

Populasi Gajah Menyusut

Tesso Nilo merupakan salah satu dari sedikit kawasan yang masih menjadi “kantong gajah” di Sumatra. Pada 2004, populasi gajah diperkirakan mencapai 200 ekor. Namun pada 2025, populasi itu menyusut menjadi sekitar 150 ekor, bahkan beberapa laporan konservasi menyebut hanya 60–90 ekor yang tersisa.

Penyusutan habitat membuat gajah semakin sering keluar dari kawasan taman nasional. Mereka memasuki kebun sawit ilegal, merusak tanaman warga, dan memicu konflik yang sering berujung pada kematian satwa maupun manusia.

Setiap tahun, puluhan gajah ditemukan mati akibat keracunan, jerat, konflik dengan masyarakat, dan terjebak di wilayah yang terfragmentasi.

Lembaga konservasi internasional menyebut krisis TNTN sebagai “contoh klasik kejatuhan habitat megafauna akibat tatakelola buruk.” Akar masalahnya jelas sawit ilegal, permukiman, dan penegakan hukum lemah.

Kerusakan Tesso Nilo tidak terjadi dalam satu malam. Sejumlah faktor saling tumpang tindih:

1. Ekspansi Kebun Sawit Ilegal

Lebih dari 40.000 hektare di dalam taman nasional telah dikonversi menjadi kebun sawit, baik oleh individu, kelompok, hingga aktor skala besar. Banyak di antaranya telah mengajukan sertifikat dan terlibat sengketa tenurial.

2. Permukiman di Dalam Kawasan Konservasi

Ribuan warga telah menetap dan membuka kebun di kawasan TNTN, menciptakan dilema antara perlindungan satwa dan pemenuhan hak hidup masyarakat.

3. Lemahnya Pengawasan dan Patroli

Selama belasan tahun, pengawasan kawasan tidak sebanding dengan masifnya perambahan. Banyak kasus pembalakan dan pembukaan lahan tidak ditindak tegas.

4. Fragmentasi Hutan dan Kebakaran Lahan

Kebakaran berulang setiap musim kemarau memperparah kerusakan dan mempercepat hilangnya pakan alami satwa besar.

KLHK menegaskan tidak ada pembiaran aktivitas ilegal di Tesso Nilo. Dalam operasi gabungan November 2023 dan 2024, pemerintah memusnahkan sekitar 600 hektare kebun sawit ilegal, menertibkan puluhan pondok perambah, memperkuat patroli, dan membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Pemerintah juga menargetkan:

  • Restorasi 31.000 hektare kawasan rusak, mengembalikan TNTN ke fungsi ekologisnya secara bertahap.
  • Relokasi ratusan kepala keluarga yang tinggal di zona inti taman nasional, dimulai Desember 2025.
  • Penguatan mitigasi konflik, termasuk pengoperasian tim Elephant Flying Squad untuk menggiring gajah kembali ke hutan menggunakan gajah terlatih.

Namun, sejumlah pakar menyebut tantangannya sangat besar biaya, konflik sosial, dan lemahnya penegakan hukum berpotensi membuat upaya pemulihan berjalan lambat.

TNTN merupakan salah satu dari “benteng terakhir” bagi Gajah Sumatera yang terancam punah (CR -mCritically Endangered). Hilangnya taman nasional ini akan berdampak langsung pada penurunan drastis populasi gajah dan harimau, runtuhnya ekosistem dataran rendah Sumatra, meningkatnya banjir dan kekeringan akibat hilangnya fungsi hutan, konflik manusia–satwa yang makin tidak terkendali.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 2 Desember 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories