Drakor
Jumat, 12 April 2024 10:59 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina
Pascareformasi atau tepatnya di era tahun 2000-an awal istilah afirmasi mulai dikenal hingga kemudian kian populer pada paruh kedua abad ini.
Beragam program pemerintah terkait dengan kebijkan untuk kelompok marginal pun menggunakan kata afirmasi, seperti perjuangan kuota 30% perempuan di DPR, program afirmasi rekrutmen Bintara Noken Polri, beasiswa afirmasi pendidikan, afirmasi dalam perekrutan tenaga guru (PPPK).
Afirmasi sendiri artinya pengarusutamaan, atau memperjuangkan sesuatu agar tak ketinggalan, atau pernyataan yang membantu mengubah pemikiran seseorang. Pernyataan positif ini dapat mengubah pemikiran dan menjauhkan dari keterbatasan yang dialami seseorang atau kelompok. Atau definisi lain dari hukum online menyebut, Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama.
Merunut lebih jauh lagi, penerapan kebijakan afirmasi awalnya berasal dari Amerika Serikat ketika Presiden John F Kennedy tahun 1961 mengeluarkan kebijakan afirmasi dalam dunia ketenagakerjaan yang memberi akses bagi warga kulit hitam di Amerika. Tindakan ini kemudian secara global telah banyak diterapkan diberbagai negara, seperti Kanada, Brazil, Malaysia, India, Selandia Baru dan lainnya.
Baca Juga:
Kebijakan afirmasi berdasar pada konsep yang memiliki arti tindakan positif yang bersifat konstruktif, dan memberikan perlakuan kemudahan bagi kelompok minoritas (Libertella, dkk dalam Bakhtiar, 2014: 10).
Jika dikaitkan dengan kebijakan afirmasi untuk masyarakat di Indonesia Timur, maka definisi dari Crosby akan lebih kontekstual bahwa kebijakan afirmasi dapat juga berupa kebijakan yang dirancang untuk memastikan kesetaraan kesempatan untuk anggota kelompok yang memiliki sejarah kurang beruntung di sebuah masyarakat (Crosby;Libertella, dkk dalam Bakhtiar, 2014: 10).
Masyarakat di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua memiliki sejarah masa lalu terkait konflik dan separatisme yang cukup problematik bagi negara Indonesia. Selain itu pembangunan yang masih rendah dan stigma negatif yang melekat pada orang Papua membuat pemerintah memberikan kebijakan afirmasi di berbagai sektor untuk masyarakat Papua misalnya dalam bidang pendidikan.
Kebijakan afirmasi di bidang pendidikan yang diperuntukkan masyarakat Papua dapat ditemui dalam banyak program seperti Beasiswa Siswa Unggul Papua yang bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) dari pemerintah daerah, program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) untuk jenjang SMA/SMK, Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) dari Kemendikbud Ristek dan beasiswa Putra-Putri Papua dari Kementerian Keuangan.
Program-program tersebut memberikan peluang bagi masyarakat Papua untuk mendapatkan akses pendidikan lebih mudah dalam mengejar ‘ketertinggalan’. Program afirmasi pendidikan ini tentu ditujukan untuk peningkatan sumber daya manusia di wilayah Indonesia timur.
Namun, seperti layaknya kebijakan lainnya, kebijakan afirmasi untuk pendidikan masyarakat Papua juga tidak terlepas dari kritik. Berikut penulis akan menguraikan kritik-kritik yang terhimpun dari berbagai sumber baik dari artikel, jurnal maupun opini dari berbagai khalayak termasuk masyarakat Papua sendiri terkait implementasi kebijakan afirmasi pendidikan untuk Papua.
Kritik pertama diawali dengan mencuatnya berita demo orang tua penerima beasiswa otsus yang melakukan aksi demo di depan gedung gubernur provinsi Papua pada bulan Juni 2023.
Demo ini dilakukan sebagai upaya meminta penjelasan dan tanggungjawab pemerintah daerah atas keterlambatan pembayaran 1.717 mahasiswa penerima beasiswa otsus di dalam maupun luar negeri.
Keterlambatan pembayaran sudah tertunda selama satu semester kepada pihak kampus sehingga mereka terancam diberhentikan (kompas.com, Juni 2023). Dari peristiwa ini terlihat cukup jelas jika sistem pengelolaan beasiswa bermasalah, sehingga program yang digalakkan oleh pemerintah daerah sendiri mengalami polemik internal.
Kritik lain selanjutnya terkait proses pendaftaran beasiswa afirmasi.
Beberapa cerita yang didapat dari penerima beasiswa sendiri dan laman pengaduan media daerah menyebutkan terdapat nama-nama pendaftar penerima beasiswa diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan personal dengan pihak pengelola. Misalnya terdapat salah satu kabupaten di Papua yang telah menolak pendaftaran padahal seharusnya periode pendaftaran masih berlangsung. Indikasi yang muncul adalah terdapat penyelewengan pendaftaran dalam bentuk memasukkan nama-nama tertentu ke dalam kuota karena memiliki hubungan personal dengan pihak yang berwenang (Redaksi Salam Papua, Juni 2023).
Kritik lain yang dilontarkan pada kebijakan afirmasi di bidang pendidikan adalah tidak adanya tolak ukur jelas yang dapat menunjukkan dampak signifikan yang harus dicapai dari implementasi kebijakan afirmasi. Salah satu contohnya, pemberian dana otsus yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun masih belum dirasa cukup meningkatkan angka harapan hidup, buta huruf dan tingkat kemiskinan yang ada di Papua. Sehingga penerapan kebijakan afirmasi ini belum mengubah stigma yang melekat pada masyarakat Papua yang masih sering dianggap pendidikannya terbelakang dan ekonomi rakyatnya secara umum masih dalam kategori miskin.
Otokritik terhadap kebijakan afirmasi Papua juga berasal dari salah seorang mahasiswa Papua yang sekaligus menjadi penerima beasiswa, “Memang betul bahwa adanya dana khusus atau beasiswa seperti ini sangat dibutuhkan dan membantu orang-orang Papua, namun dalam jangka panjang pemberian perlakuan khusus, seperti ini membuat masyarakat Papua menjadi ketergantungan, menuntut terus dispesialkan dan bisa membuat kitong menutup diri untuk bisa membuktikan bahwa sebetulnya kita juga mampu bersaing.
Sudut pandang yang memberikan gambaran berbeda muncul dari orang Papua sendiri ini cukup menarik untuk dicerna. Mengingat ada pemahaman yang lebih jauh atas dampak kebijakan afirmasi. Di sini terlihat sebuah pengakuan bahwa kebijakan afirmasi memang perlu dan dibutuhkan bagi masyarakat Papua saat ini, namun yang menjadi menarik adalah adanya kesadaran bahwa jika kebijakan afirmasi terus berlanjut maka ‘bisa jadi’ akan memberi efek yang kurang baik secara moral.
Kritik-kritik di atas menjadi sedikit gambaran mengenai implementasi kebijakan afirmasi yang telah terlaksana, khususnya pada bidang pendidikan untuk masyarakat Papua.
Beberapa situasi diatas kiranya menjadi hal yang perlu dievaluasi sehingga dapat menghasilkan realisasi seperti yang diharapkan. Terlepas dari praktik-praktik yang belum berjalan dengan baik namun kebijakan afirmasi ini perlu didukung dan diapresiasi.
Baca Juga:
Oleh karena kebijakan afirmasi merupakan cara yang dipilih oleh banyak negara termasuk Indonesia sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif, adanya ketidaksetaraan dan marginalisasi di berbagai bidang kehidupan akibat ketidakseimbangan relasi kuasa baik di level publik maupun privat (Sayuti, 2013: 41).
Ketidakseimbangan sosial seperti itu jelas melahirkan kelompok sosial tertentu yang sulit memiliki akses dan tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan publik sebagaimana masyarakat negara pada umumnya.
Untuk itu, intervensi yang dilakukan negara perlu dilakukan dengan pelaksanaan yang semestinya demi terwujudnya tatanan yang lebih adil.(konde)