Selasa, 29 April 2025 11:36 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
PALEMBANG, WongKito.co - Setiap tanggal 1 Mei 2025, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, sebuah momen yang mengingatkan publik bahwa hak-hak pekerja yang kita nikmati hari ini diperoleh lewat perjuangan panjang, keringat, dan terkadang darah.
Dari mana sebenarnya asal-usul Hari Buruh? Lalu, bagaimana sebuah gerakan lokal bisa berubah menjadi peringatan global?
Pada akhir abad ke-19, Revolusi Industri di Amerika Serikat melahirkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Pabrik-pabrik berdiri, kota-kota membesar, dan imigran berdatangan.
Namun di balik kemajuan itu, buruh menghadapi kondisi kerja yang keras, jam kerja mencapai 14-16 jam sehari, upah rendah, serta lingkungan kerja yang membahayakan kesehatan dan keselamatan.
Pada tanggal 1 Mei 1886, ratusan ribu buruh di berbagai kota besar Amerika turun ke jalan, menuntut hal sederhana, delapan jam kerja sehari. Chicago menjadi pusat gelombang protes ini. Aksi berlangsung damai, hingga peristiwa kelam terjadi beberapa hari kemudian.
Pada tanggal 4 Mei 1886, di Haymarket Square, Chicago, sebuah unjuk rasa yang awalnya damai berubah menjadi tragedi. Ketika polisi mencoba membubarkan massa, sebuah bom dilemparkan ke arah barisan polisi.
Tembakan pun pecah, beberapa polisi dan demonstran tewas. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Haymarket Affair, mengguncang Amerika dan dunia.
Pemerintah merespons keras, sejumlah aktivis buruh ditangkap, dan empat di antaranya akhirnya dieksekusi, meski bukti keterlibatan mereka lemah. Kejadian ini menjadi simbol perjuangan buruh melawan penindasan.
Tiga tahun kemudian, pada tahun1889, Kongres Buruh Internasional (Internationale Kedua) di Paris menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Tanggal ini dipilih untuk menghormati perjuangan para buruh Amerika dan mengenang peristiwa Haymarket.
Sejak itu, 1 Mei menjadi hari solidaritas global bagi kelas pekerja, diwarnai dengan pawai, demonstrasi, dan aksi-aksi menuntut keadilan sosial.
Di Indonesia, semangat Hari Buruh mulai bergema pada awal abad ke-20, ketika organisasi buruh seperti Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (1905) dan Sarekat Islam (1912) mulai menuntut perbaikan nasib pekerja.
Peringatan Hari Buruh pertama kali tercatat di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1920 di masa penjajahan Belanda. Para buruh menggelar aksi untuk menuntut upah layak dan jam kerja manusiawi. Namun, di bawah rezim kolonial, peringatan ini sering kali dibatasi dan bahkan dilarang.
Setelah Indonesia merdeka, Hari Buruh diakui secara resmi. Namun, semenjak peristiwa gerakan 30 september 1965, atau ketika Orde Baru memegang kekuasaan, perayaan ini diredam. Tanggal 1 Mei tidak lagi dianggap sebagai hari libur nasional dan gerakan buruh diawasi ketat oleh negara.
Baru pada tahun 2013, di era reformasi, pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Sejak itu, buruh di seluruh Indonesia kembali turun ke jalan, menyuarakan aspirasi mereka tentang upah layak, jaminan sosial, hingga perlindungan hak-hak pekerja.
Hari Buruh bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah pengingat akan nilai kerja manusia, tentang pentingnya keadilan di tempat kerja, dan tentang kekuatan kolektif sebuah masyarakat.
Dari jalanan Haymarket yang berdarah hingga demonstrasi damai di berbagai kota hari ini, semangat Hari Buruh tetap hidup, perjuangan untuk martabat, keadilan, dan masa depan yang lebih baik bagi seluruh pekerja dunia.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 29 April 2025.