Merugikan Perempuan, Praktik Sunat Perempuan Masih Terjadi

Senin, 10 Februari 2025 08:21 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi
Ilustrasi (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Belum banyak yang tahu bahwa praktik Pelukaan dan atau Pemotongan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan sudah dilarang dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024. Hal ini dinilai berpengaruh terhadap praktik yang masih dilakukan masyarakat.

Tercatat, sunat perempuan masih terjadi pada perempuan usia 15-49 tahun sebanyak 46,3% menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 yang dirilis KemenPPPA. Implementasi roadmap pencegahan P2GP juga tercatat lebih banyak (66%) yang mempraktikan sunat perempuan dari yang tidak melakukan (34%). Sebagian besar (60%) tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut.

“Komnas Perempuan memandang roadmap tersebut penting untuk terus dikawal, mengingat praktiknya masih banyak terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Massifikasi koordinasi dari tingkat pusat hingga daerah perlu diperluas,” tegas Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, dalam siaran pers, Kamis (06/02/2025).

Baca Juga:

Menurut Satyawanti, faktor ketidaktahuan adanya kebijakan larangan atau penghapusan itu berpengaruh terhadap praktik di masyarakat. Sebaliknya, mayoritas yang mengetahui adanya kebijakan pelarangan tidak melakukan praktik. 

"Artinya sosialisasi kebijakan yang melarang atau menghapus menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dikuatkan."

Baca Juga:

Sementara itu dilansir dari laman resminya, Muhammadiyah melalui ‘Aisyiah tidak menganjurkan praktik sunat perempuan. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menegaskan, sunat perempuan adalah tindakan yang merugikan bagi perempuan, bahkan hal ini sudah diakui oleh dunia internasional. Akan tetapi sayangnya praktik ini masih banyak terjadi di Indonesia.

Menurut Tri, kondisi ini terjadi karena faktor budaya dan banyaknya pemahaman agama yang keliru yang dipercayai oleh masyarakat. Karena itu, 'Aisyiyah melakukan berbagai upaya untuk mengedukasi masyarakat agar menghentikan praktik sunat perempuan.

“Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat menjadi salah satu kunci untuk menghentikan praktik ini, karena mereka sangat didengar pendapatnya di masyarakat,” ucap Tri. (yulia savitri)