Perempuan Dusun Sei Sembilang Hadapi Dampak Berlapis Perubahan Iklim

Sabtu, 28 Juni 2025 12:10 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

sungsang.jpg
Perahu nelayan Desa Sungsang. (wongkito.co/yulia savitri)

PALEMBANG, WongKito.co - Perubahan iklim berdampak ganda bagi para perempuan di wilayah pesisir seperti Dusun Sei Sembilang, Desa Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Dampak yang dirasakan terutama pada masalah ekonomi rumah tangga. 

Hal ini disampaikan Kepala Dusun Sei Sembilang, Christin Monik, dalam Diskusi Suara Akar Rumput Pesisir dan Darat dalam rangkaian Festival Bulan Juni di Rumah Sintas Palembang, Jumat (27/06/2025) malam. 

Perubahan iklim saat ini diakuinya sangat terasa di Dusun Sei Sembilang. Perubahan musim kemarau ke musim hujan yang biasanya di akhir tahun, kini sudah dirasakan di pertengahan tahun. Di musim itu, biasanya terjadi ombak besar sehingga susah untuk mencari ikan, kecuali kapal besar yang bisa melaut jauh. Akhirnya, nelayan terpaksa mencari di laut terdekat, dimana hanya terdapat kerang yang harus dibeli murah. 

Di saat sulit mencari ikan, rajungan atau kepiting sangat melonjak. Kebutuhan ekonomi bisa sedikit ditopang dari penjualan rajungan. Hanya saja, pengeluaran justru bertambah dua kali lipat lagi karena kepiting bisa merusak jaring para nelayan. Sehingga, biasanya nelayan mengganti jaring dua bulan sekali, terpaksa harus satu bulan sekali. 

Di saat inilah sembako akan naik dua kali lipat, lalu bagaimana penduduk dusun bisa bertahan selama tujuh bulan? Para perempuan dusun pun mencari cara untuk dapat bertahan, salah satunya mengambil upahan membuat jaring dengan menganyam sendiri. 

Dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh perempuan pelaku UMKM, sebab wilayah jual mereka ikut menghilang. “Dengan kondisi itu, perempuan pun mulai berhemat dalam memenuhi kebutuhan keluarga,” jelasnya.

Krisis ekonomi akibat perubahan iklim ini juga dirasakan profesi lainnya seperti pengelola speedboat harus memutar laju perahu karena pengaruh angin musim. Biasanya perahu bisa menyeberang sungai ke Sembilang dengan waktu dua jam, di musim itu jadi empat jam. 

“Akibatnya konsumsi solar dua kali lipat, jika biasa beli Rp500ribu bisa sampai Rp1juta. Begitu juga ongkos transportasi dari Rp150 ribu menjadi Rp300ribu. Semua aktivitas ekonomi jadi meningkat," sebut Monik.

Harapkan Perhatian Pemerintah

Ia bercerita, kehidupan di Dusun Sei Sembilang serba terbatas, baik akses ke pusat kota maupun akses lainnya seperti mendapatkan pendidikan. Menurutnya, dusun ini sangat jauh dari perhatian pemerintah. Meski begitu, penduduk dusun tetap bertahan karena solidaritas dan bersama-sama menjaga ekosistem di lingkungannya.

Sebanyak 80 persen penduduk Dusun Sei Sembilang bermata pencaharian sebagai nelayan. Mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional yang tidak merusak ekosistem laut. 

“Kami hanya bisa berharap pemerintah beri perhatian agar dusun kami bisa merasakan hidup damai sejahtera, termasuk dari hasil menjaga ekosistem yang ada, sebab selama ini mangrove yang telah dijaga banyak dirusak pihak luar,” ujarnya. 

Terkait eksploitasi, Monik mengatakan, beberapa pekan lalu terjadi keributan masyarakat dusun mengenai keramba kerang. Di satu wilayah, kerang sudah ada di sana, tapi dibangun kerambah kerang oleh beberapa pihak. Masyarakat boleh mengambil kerang tersebut tetapi harus menjual kembali ke pengusaha dengan harga murah.

Padahal, masyarakat masih menggunakan alat tradisional untuk mengambil kerang. Dengan adanya eksploitasi itu, akibatnya jadi lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. “Biasanya bisa dapat Rp12ribu perkilogram, tapi dihargai Rp7 ribu bahkan pernah sampai Rp5 ribu perkilogram. Itu sempat jadi keributan dan akhirnya bisa saya cari jalan keluarnya sehingga kini kembali normal,” jelasnya.

Wira Santika dari Solidaritas Perempuan Palembang mengatakan, dari hulu ke hilir sampai dengan lahan dan perairan, dari konflik agraria dan perampasan ruang pesisir, masyarakat terutama perempuan dan anak-anak selalu jadi korban dan termarginalkan.

Bagaimana masyarakat bertahan dan melawan untuk memperjuangkan hak atas tanah, menuntut keadilan iklim di tengah krisis iklim, laut dan daratan bukan hanya peta kosong yang bisa diklaim sepihak oleh negara dan korporasi. 

Di situ hidup nilai sosio-ekologi, kesadaran historis, dan sumber kehidupan yang dirawat secara arif bijaksana secara komunal baik di daratan dan pesisir untuk terus bertahan ketika negara tidak hadir.

“Karena itu, dalam rangkaian Festival Bulan Juni 2025 kami berkolaborasi untuk menghadirkan ruang suara yang sering tak terdengar, terutama dari perempuan pesisir,” ujarnya. (yulia savitri)