Perempuan Petani Ogan Ilir Masih Kehilangan Akses Pangan

Kamis, 16 Oktober 2025 11:45 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG_20251016_112021.jpg
Hari Peringatan Hari Pangan Sedunia 2025. (ist/solidaritas perempuan)

PALEMBANG, WongKito.co - Hilangnya lahan, kenaikan harga pangan, dan proyek-proyek korporasi yang maskulin dan militeristik membuat peran perempuan dalam produksi pangan domestik terpinggirkan. Hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja yang membuka lebar peluang impor pangan dinilai memperparah posisi perempuan yang selama ini menjadi subjek utama dalam pengelolaan pengetahuan pangan lokal dan keberlanjutannya.

Berdasarkan data Catahu Solidaritas Perempuan 2025, setidaknya sebanyak 3.624 perempuan dari 57 desa di Indonesia mengalami penindasan dan pemiskinan akibat dari situasi ini yang kemudian berdampak pada krisis pangan, rusaknya lingkungan, dan hilangnya keragaman pangan lokal. 

Seperti yang dialami Sugiarti dari Desa Sribandung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dia dan perempuan Sribandung lainnya tidak lagi bisa makan dari hasil pangan sendiri lantaran tanah ladang mereka sudah dikuasai oleh perkebunan tebu milik negara. Para perempuan petani ini semula bertanam nanas, padi, dan palawija.

“Sampai hari ini perempuan di daerah dampingan kami seperti Desa Sribanding, Tanjung Pinang I, Limbang Jaya Ogan Ilir masih kehilangan akses tanah, air, dan sumber pangan mereka akibat pengambilan lahan oleh PTPN VII Cinta Manis sejak tahun 1982,” ungkap Ketua Solidaritas Perempuan Palembang, Mutia Maharani dalam Konferensi Pers Hari Pangan Sedunia yang disimak secara daring, Rabu (15/10/2025).

Mutia menyampaikan, perempuan Desa Sribandung juga ada yang terpaksa menjadi buruh di tanah sendiri dengan upah Rp30 ribu perhari. Hilangnya kedaulatan perempuan ini juga ditambah dengan situasi kebakaran lahan, dimana akhirnya mereka bingung ketika harus keluar rumah sesak nafas, tapi tidak keluar rumah tidak makan. 

“Kami tegaskan, pangan adalah hak semua rakyat, termasuk hak sumber pangan yang aman. Kami menuntut agar negara mengembalikan tanah rakyat, hentikan manipulasi mafia tanah, dan hentian kekerasan struktural serta pemiskinan perempuan,” ujarnya.

Kedaulatan Pangan Belum Terwujud

Ketua Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi menilai, ada persoalan struktural dari kebijakan pangan yang mendiskriminasikan perempuan. Menurutnya, hingga kini negara tidak mengakui perempuan sebagai pemangku hak atas pangan selayaknya produsen pangan. Alih-alih meningkatkan produktivitas sistem pangan yang dikelola oleh perempuan, negara justru semakin menjauhi semangat dan prinsip keadilan dengan menghadirkan alat produksi tidak ramah perempuan. 

“Termasuk soal HGU di Desa Sribandung Ogan Ilir, itu bentuk pengabaian negara terhadap identitas perempuan petani sebagai subjek pangan. Belum lagi industri ekstraktif pangan seperti tebu Cinta Manis menyumbang emisi dari aktivitas pembakarannya, konflik agraria yang sampai fase empat generasi yang tidak ada penyelesaiannya,” ulasnya dalam kesempatan yang sama.

Terkait solusi menuju keadilan dan kedaulatan pangan, Armayanti menyampaikan, sudah saatnya negara mengubah cara pandang soal pangan, yakni dari kepentingan global menjadi hak warga negara. Pangan bukanlah komiditi yang harus dijualbelikan. Dia juga menegaskan, negara harus menjamin kesetaraan akses dan kontrol bagi perempuan sebagai kelompok rentan. Dengan begitu, tidak ada lagi ketimpangan kekuasaan oleh korporasi melalui UU Cipta Kerja yang menjauhkan perempuan dari sektor-sektor pangan.

“Pangan itu hak rakyat, artinya negara harus hadir mewujudkan kedaulatan rakyat terutama perempuan, yang sampai Hari Pangan Dunia ditetapkan oleh FAO pada tahun 1979, kedaulatan itu masih belum ada,” tukasnya. (yulia savitri)