Senin, 14 September 2020 00:51 WIB
Penulis:Redaksi
Demi melahirkan pemimpin yang baik, proses pesta demokrasi alias pilkada harus dijalankan dengan benar, khususnya bersih dari politik uang. Pasalnya, dalam setiap kali pilkada dilaksanakan, isu ini selalu meresahkan.
Anggota Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengatakan dalam pelaksanaan pilkada kali ini isu praktik politik uang perlu menjadi sorotan utama agar tidak terus berlarut-larut dimasa depan. Dan praktik ini sejatinya merupakan kategori kejahatan politik yang luar biasa karena dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Selama ini politik uang hanya menjadi bahasan publik, belum ada preseden bahwa para pelakunya dapat dijerat hukum,” kata Junimart dalam akun instagramnya seperti dikutip, Minggu, 13 September 2020.
Oleh karenanya, ia berharap tahun ini menjadi momentum bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menunjukkan perannya sebagai "wasit" yang tegas, yang berani menindak setiap pelanggaran yang terjadi agar kompetisi pasangan calon (Paslon) berjalan sehat dan menghasilkan pemimpin terbaik dan kredibel bagi rakyat.
Junimart melihat rancangan Peraturan Bawaslu (PerBawaslu) tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang terjadi secara TSM saat ini masih bersifat normatif.
Dalam rancangan peraturan tersebut, Bawaslu masih memosisikan praktik politik uang sebagai sebuah pelanggaran yang biasa-biasa saja.
“Peran Bawaslu yang diharapkan sebagai otoritas pengawas pemilu yang tegas, adil dan jujur belum tergambar dalam PerBawaslu. Bahkan dalam rancangan peraturan itu, Bawaslu terlihat pasif, hanya menunggu laporan,” katanya.
Padahal Bawaslu memiliki otoritas untuk mencari temuan di lapangan karena memiliki sumberdaya di berbagai level, mulai dari kabupaten, kecamatan, hingga desa, bahkan di TPS dapat digerakkan.
“Model kerja intelijen perlu diadopsi dan dikembangkan dalam mengantisipasi, mengejar dan menjerat pelaku politik uang,” ujarnya.
Pilkada tahun ini tentunya bukan semata rutinitas lima tahunan, karena ongkosnya sangat mahal. Bahkan adanya pandemi COVID-19, membuat total biaya untuk pilkada membengkak dari semula Rp 9,9 triliun bertambah Rp 4,7 triliun. Sehingga harapan rakyat dengan ongkos yang begitu besar di masa yang amat sulit secara ekonomi ini, pilkada dapat menghasilan pemimpin terbaik dan kredibel tanpa politik uang.
Selain aktif mencari temuan, Bawaslu diharapkan dapat menekankan pentingnya perlindungan saksi. Pasalnya, salah satu persoalan terbesar dalam pembuktikan pelanggaran politik uang adalah mengenai saksi yang berani bersuara.
Berdasarkan pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya, banyak saksi yang enggan melaporkan atau memberikan kesaksiannya karena khawatir terjadi tekanan hingga tindakan kekerasan. Oleh karena itu, mekanisme perlindungan saksi juga perlu diatur.
Seperti diketahui, Komisi II DPR RI saat ini tengah membahas tiga revisi rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), dan dua Peraturan Badan Pengawas Pemilu (PerBawaslu) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Hal itu dilakukan untuk menyukseskan pelaksanaan pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada Desember 2020.