Jumat, 07 November 2025 15:12 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito

JAKARTA, WongKito.co - Kondisi perempuan dinilai lebih berat dibanding laki-laki meski sama-sama hadapi kerentanan kerja. Jumlah perempuan dengan gaji di bawah upah minimum tercatat lebih banyak sebesar 4% dibanding laki-laki.
Selain itu, pekerja perempuan memiliki kemungkinan 19% lebih tinggi untuk tidak mendapatkan pesangon.Dalam hak maternitas, sebanyak 8% pekerja perempuan masih melakukan pekerjaan yangmembahayakan diri dan janinnya.
Dewi Sumanti, aktivis Serikat Pekerja Nasional, yang juga buruh aktif di sebuah perusahaan sepatu di daerah Tangerang mengkonfirmasi dampak kerentanan tersebut dialami perempuan, terutama karena feminisasi kerja di sektor garmen, alas kaki, dan kulit. Di sisi lain, beban ganda perempuan menyebabkan mereka kesulitan untuk memiliki kapasitas dan keberanian mempertanyakan situasi yang mereka hadapi.
"Ini adalah tantangan terberat bagi kami sebagai pengurus serikat pekerja,” ulasnya dalam peluncuran riset CELIOS bersama tim program Makin Terang, Kamis (06/11/2025).
Sementara itu, Ketua Lembaga Pemberdayaan Pekerja Perempuan FSP-TSKKSPSI Purwakarta, Yanti Kusriyanti menyatakan, kesenjangan upah antara pekerja lelaki dan pekerja perempuan itu nyata. Kebanyakan pengusaha berargumen bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama, sehingga upah mereka dibayar lebih rendah daripada yang diterima sejawatnya lelaki.
"Ini juga sebenarnya masalah makin kentara yang kami hadapi setelah pelaksanaan UU Cipta Kerja,” tukasnya.
Survei Terbaru: UU Cipta Kerja Telah dan Berpotensi Terus Mengurangi Kesejahteraan dan Hak Pekerja
Setelah lima tahun disahkan, UU Cipta Kerja atau Omnibus Law justru memperburuk situasi kerja buruh industri di Indonesia. Dengan tujuan menarik investor, aturan omnibus law ternyata mengorbankan hak-hak pekerja yang sudah diatur undang-undang sebelumnya.
Penelitian terbaru dari CELIOS bersama tim program Makin Terang mengungkapkan pelanggaran ketenagakerjaan nyaris terjadi di semua hak-hak buruh industri formal, khususnya di industri manufaktur seperti garmen, tekstil, dan sepatu.
Riset berjudul ‘Upah Rendah dan Harapan Tinggi: Potret Kehidupan Pekerja IndustriIndonesia’ ini diluncurkan pada 6 November 2025, di Akmani Hotel, Jakarta Pusat.
Riset yang berdasarkan data dari Survei Kelayakan Kerja ini melibatkan 20.000 pekerja di 488 wilayah selama periode 2017-2024.Dalam riset tersebut, pekerja industri dihadapkan pada hubungan kerja yang rentan, dari mulai pelanggaran kontrak tertulis, durasi pekerjaan berbasis kontrak, dan jam kerjapanjang.
Meski dianggap sudah terpenuhi, sekitar 15% perusahaan di industri TGSL ditemukan tidak memberikan kontrak kerja tertulis kepada pekerjanya. Kondisi ini membuat pekerja kehilangan legalitas akan haknya di mata hukum. Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas, tren ini akan terus berlanjut hingga 2030.
Pekerja juga dihadapkan pada durasi kontrak pendek dengan jam kerja panjang. Hal ini terlihat dari fakta bahwa 57% pekerja dikontrak dengan durasi di bawah 12 bulan. Dari jumlah itu, sebesar 14% pekerja kontrak terpaksa bekerja lebih dari 54 jam per minggu, bahkan hingga 58 jam per minggu.
Kontrak kerja yang tidak jelas dan pasti ini membuat pekerja industri tak dapat menerimahak-hak lainnya seperti, jaminan kesehatan hingga hak pensiun. Meski terdapat kenaikan pemenuhan hingga 2022, hak jaminan sosial mengalamipenyusutan drastis, terutama jaminan pensiun dengan penurunan sebesar 15%. Jika tak ada penegakan serius, hanya 58,8% perusahaan yang membayarkan jaminan hari tua di 2030.
Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, menegaskan bahwa aspek kelayakan kerja makin memburuk pasca diberlakukannya UU Ciptaker. Studi ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah pekerja dengan status tidak tetap, upah riil yang stagnan, dan menurunnya jaminan kepastian kerja di berbagai sektor. Kebijakan fleksibilitas tenaga kerja yang diusung UU Cipta Kerja justru memperlebar kesenjangan dan melemahkan posisi tawar buruh di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Kenyataan ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan para pembuat kebijakan. Pembenahan regulasi ketenagakerjaan tidak bisa dilakukan sepihak. Revisi kebijakan harusdilakukan dengan melibatkan serikat pekerja, akademisi, pelaku usaha, dan organisasimasyarakat sipil melalui dialog lintas sektor yang transparan dan partisipatif.
“Jangan sampai proses revisi UU Ciptaker dilakukan hanya berdasarkan kajian internalpemerintah tanpa keterlibatan publik. Jangan ulangi kesalahan lama, membuat kajian sendiri, mengetok palu sendiri, dan mengorbankan buruh di lapangan. Jika pola ini terus dipertahankan, yang kembali dirugikan adalah para pekerja. Ketimpangan ekonomiIndonesia akan semakin parah," ujarnya.
Ancaman Kebebasan Berserikat dan Pentingnya Perundingan Kolektif
Tren hak kebebasan berserikat masih bergantung pada tipe hubungan kerja, yaitu pekerja kontrak atau pekerja tetap. Sebanyak 45% pekerja kontrak mengaku perusahaannya melarang mogok kerja. Sementara itu, 12% pekerja kontrak juga tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan serikat pekerja.
Hal ini membuat pekerja kontrak semakin rentan akan pelanggaran hak-haknya tanpa perlindungan dari serikat pekerja.Jika tak ada intervensi serius, hanya 50,3% pekerja yang diperbolehkan bergabung denganserikat pekerja dan 1,3% yang dapat menikmati hak mogok kerja di 2030.
"Ini ancaman serius, karena perbaikan kondisi kerja di tempat kerja tidak bisa diserahkanpada perbaikan aturan normatif, apalagi bila aturannya tidak melindungi buruh, tetapi darikekuatan perundingan bersama dan hanya serikat buruh yang dapat mewujudkannya,” jelas Dela Feby, Manajer Eksternal WageIndicator Indonesia. (*)