Selasa, 01 Februari 2022 12:02 WIB
Penulis:Nila Ertina
TAHUN baru Imlek atau tahun baru China menjadi salah satu bukti dari pemikiran Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dus yang mengedepankan pluralisme dalam memimpin bangsa ini. Di masa kepemimpinnya Kiai NU ini mencabut larangan yang sebelumnya diterapkan Soeharto.
Sebagaimana diketahui ada 21 peraturan perundangan yang diterapkan Presiden Soeharto terkait warga keturunan Tionghoa tidak lama setelah memperoleh Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Berdasarkan Inpres tersebut, Presiden Soeharto menginstruksikan kepada menteri agama, menteri dalam negeri, dan segenap badan serta alat pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.
Isi dari Inpres ini di antaranya adalah pelaksanaan Imlek yang harus dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau perseorangan.
Baca Juga:
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga.
Perayaan Imlek sembunyi-sembunyi
Saat itulah, aktivitas masyarakat Tionghoa, termasuk dalam perayaan tahun baru Imlek menjadi dibatasi.
Selama berlakunya Instruksi Presiden tersebut, Imlek terlarang dirayakan di depan publik.
Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk tahun baru Imlek, Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka. Barongsai dan liang liong pun dilarang dipertunjukkan di publik.
Lagu dan huruf Mandarin dilarang
Selain itu, huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.
Dalam 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, aktivitas perayaan sembunyi-sembunyi ini tetap berjalan.
Berdasarkan 21 peraturan perundangan yang berlaku saat itu, istilah "Tionghoa" lalu berganti menjadi "China". Kebijakan-kebijakan ini disebut sebagai upaya dalam proses asimilasi etnis.
Kembali bebas
Pembatasan tersebut kemudian mulai surut pasca-Reformasi. Presiden Habibie dalam masa jabatannya yang singkat menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.
Inpres tersebut salah satunya berisi tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian, pada tanggal 17 Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat Soeharto saat masa pemerintahannya.
Sejak saat itu, Imlek dapat diperingati dan dirayakan secara bebas oleh warga Tionghoa. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Megawati dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Imlek zaman pendudukan Jepang
Jauh sebelum Gus Dur, pernah pada zaman pendudukan Jepang, imlek tahun 1943 dijadikan sebagai hari libur resmi. Penetapan itu termaktub dalam Keputusan Osamu Seirei No 26 tanggal 1 Agustus 1943. Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, di mana Imlek menjadi hari libur resmi.
Zaman kemerdekaan
DI masa awal revolusi, Pemerintah Republik Indonesia juga mengizinkan perayaan tahun baru China oleh masyarakat Tionghoa. Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa.
Pada tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu, dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi. (*)
Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 01 Feb 2022