Serukan Sinergi Perangi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, ini Kata Menteri PPPA

Rabu, 19 Juni 2024 16:50 WIB

Penulis:Nila Ertina

Serukan Sinergi Perangi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, ini Kata Menteri PPPA   TANGERANG, Wongkito.co - Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus dinilai merupakan fenomeno seperti gunung es. Atas kondisi tersebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyerukan sinergi untuk memerangi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.  “Ketika berbicara tentang kekerasan seksual, banyak yang menyebutnya darurat. Tapi secara umum, kami ingin sampaikan bahwa kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es," kata Menteri PPPA, Hal itu disampaikan Menteri PPPA dalam acara Kick Andy Goes to Campus yang diselenggarakan di Universitas Pelita Harapan (UPH), belum lama ini.  Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), angka kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan tren penurunan.   Angka kekerasan terhadap anak pada periode 2018 hingga 2021 menurun sekitar 16 hingga 25 persen sesuai jenis kelamin, dan prevalensi kekerasan terhadap perempuan menurun dari 9,4 persen menjadi 8,7 persen pada 2021.   Namun, jumlah kasus yang terungkap justru meningkat, regulasi dan kebijakan yang semakin kuat untuk melindungi korban, serta meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan masyarakat yang sudah mulai terbuka terhadap isu ini dinilai berperan penting.  Menteri PPPA mengungkapkan berdasarkan data Kemen PPPA, faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi antara lain relasi kuasa. Korban sering menghadapi stigma dan kasusnya kerap disembunyikan.   Hal itu, menunjukkan adanya kesalahan dalam penanganan, ungkap dia.   Dia menambahkahkan pihaknya mendorong semua pihak untuk berani speak up dan memberikan keadilan kepada korban guna memberikan efek jera kepada pelaku.  “Yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan, baik secara moral maupun hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga sebagai salah satu UU yang kami kawal dan perjuangkan, adalah instrumen hukum yang akan menjadi payung pelindung korban untuk mendapatkan keadilan," kata dia lagi.    Ia menegaskan Kementerian PPPA selaku kementerian yang mengampu tugas fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, secara garis besar banyak berfokus pada kerja-kerja dalam lingkup tugas fungsi tersebut, khususnya dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.   "Kami mengapresiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Pemerintah berkomitmen untuk memberantas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,"  ujar dia.   Menteri PPPA juga mengapresiasi komitmen Universitas Pelita Harapan (UPH) yang telah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) sesuai dengan peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek).   Ia berharap UPH dapat menjadi inspirasi bagi kampus-kampus lain untuk tidak hanya membentuk Satgas PPA, tetapi juga mengawal implementasi nyata pendampingan terbaik bagi korban.  “Edukasi pencegahan kekerasan seksual harus menjadi prioritas agar kekerasan tidak terjadi lagi. Kami mengajak seluruh stakeholder, termasuk jajaran kampus, untuk bersinergi dan berkolaborasi demi kepentingan terbaik bagi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku. Kami juga mendorong anak muda untuk peduli dan berani speak up, jangan bungkam dalam memerangi kekerasan seksual,” ujar dia lagi.  Sementara itu, Penyintas Kekerasan Seksual, Maria Immaculata mengungkapkan pentingnya mencari dukungan ketika mengalami kekerasan seksual. Menurut dia langkah pertama yang harus diambil adalah menemukan seseorang yang bisa diajak bicara dan dipercaya. Namun, hal ini tidak mudah karena seringkali orang terdekat seperti keluarga justru menjadi pihak yang paling ditakuti.  “Mencari support system yang tepat sangat penting baik itu teman, komunitas, organisasi, atau dosen yang dapat dipercaya. Selain dukungan dari orang terdekat, mencari bantuan professional juga penting. Korban harus segera mencari tenaga medis untuk memeriksa kondisi fisik dan psikologis," kata dia.   Dengan demikian, ia menambahkan trauma yang ditangani segera akan lebih cepat pulih dibandingkan yang dipendam lama. Bantuan dari psikolog profesional sangat penting dalam proses pemulihan.   Selain itu, fokus pada kegiatan positif yang disukai seperti musik, film, atau memasak juga dapat membantu korban pulih lebih cepat. Penting bagi korban untuk memiliki tujuan hidup. Tujuan atau impian ini dapat membantu korban melihat masa depan yang lebih baik, ujar Maria.  Kemudian Aktivis Kesetaraan Gender, Hannah Al Rashid juga mengajak penyintas kekerasan seksual untuk mencari support system yang tepat, baik secara individu maupun komunitas.  “Teman-teman bisa mengecek Instagram Kawan Puan, di mana mereka banyak bergerak di media sosial dan menerima pengaduan. Kawan Puan bekerja sama dengan berbagai organisasi di seluruh Indonesia, untuk mendapatkan bantuan di kota masing-masing," kata dia.   Selain Kawan Puan, ada juga beberapa layanan lain seperti carilayanan.com, sebuah inisiatif dari Jakarta Feminist, yang menyediakan daftar layanan untuk korban kekerasan, termasuk rumah aman, psikolog, dan bantuan hukum.   Lalu, ada akun Instagram awasKBGO yang memberikan bantuan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan Kementerian PPPA juga menyediakan layanan SAPA 129. Intinya, Anda tidak sendirian, dan harap segera mencari bantuan jika diperlukan.  “Saya berharap dengan adanya UU TPKS, korban kekerasan seksual dapat merasa didukung dan mendapat keadilan yang mereka butuhkan. Kita bisa sama-sama mencari solusi, yang terpenting, korban tidak sendirian. Saya harap semua orang bisa ikut melawan dan berani bersuara untuk diri sendiri dan orang lain. Untuk laki-laki di luar sana, tolong jadilah sekutu kami. Laki-laki juga bisa menjadi korban. Ini adalah isu yang harus kita tangani bersama. Mari kita maju bersama dan lawan kekerasan seksual,” ujarnya.(*)
Serukan Sinergi Perangi Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, ini Kata Menteri PPPA TANGERANG, Wongkito.co - Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus dinilai merupakan fenomeno seperti gunung es. Atas kondisi tersebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyerukan sinergi untuk memerangi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. “Ketika berbicara tentang kekerasan seksual, banyak yang menyebutnya darurat. Tapi secara umum, kami ingin sampaikan bahwa kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es," kata Menteri PPPA, Hal itu disampaikan Menteri PPPA dalam acara Kick Andy Goes to Campus yang diselenggarakan di Universitas Pelita Harapan (UPH), belum lama ini. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), angka kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan tren penurunan. Angka kekerasan terhadap anak pada periode 2018 hingga 2021 menurun sekitar 16 hingga 25 persen sesuai jenis kelamin, dan prevalensi kekerasan terhadap perempuan menurun dari 9,4 persen menjadi 8,7 persen pada 2021. Namun, jumlah kasus yang terungkap justru meningkat, regulasi dan kebijakan yang semakin kuat untuk melindungi korban, serta meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan masyarakat yang sudah mulai terbuka terhadap isu ini dinilai berperan penting. Menteri PPPA mengungkapkan berdasarkan data Kemen PPPA, faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi antara lain relasi kuasa. Korban sering menghadapi stigma dan kasusnya kerap disembunyikan. Hal itu, menunjukkan adanya kesalahan dalam penanganan, ungkap dia. Dia menambahkahkan pihaknya mendorong semua pihak untuk berani speak up dan memberikan keadilan kepada korban guna memberikan efek jera kepada pelaku. “Yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan, baik secara moral maupun hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga sebagai salah satu UU yang kami kawal dan perjuangkan, adalah instrumen hukum yang akan menjadi payung pelindung korban untuk mendapatkan keadilan," kata dia lagi. Ia menegaskan Kementerian PPPA selaku kementerian yang mengampu tugas fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, secara garis besar banyak berfokus pada kerja-kerja dalam lingkup tugas fungsi tersebut, khususnya dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. "Kami mengapresiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Pemerintah berkomitmen untuk memberantas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak," ujar dia. Menteri PPPA juga mengapresiasi komitmen Universitas Pelita Harapan (UPH) yang telah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) sesuai dengan peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek). Ia berharap UPH dapat menjadi inspirasi bagi kampus-kampus lain untuk tidak hanya membentuk Satgas PPA, tetapi juga mengawal implementasi nyata pendampingan terbaik bagi korban. “Edukasi pencegahan kekerasan seksual harus menjadi prioritas agar kekerasan tidak terjadi lagi. Kami mengajak seluruh stakeholder, termasuk jajaran kampus, untuk bersinergi dan berkolaborasi demi kepentingan terbaik bagi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku. Kami juga mendorong anak muda untuk peduli dan berani speak up, jangan bungkam dalam memerangi kekerasan seksual,” ujar dia lagi. Sementara itu, Penyintas Kekerasan Seksual, Maria Immaculata mengungkapkan pentingnya mencari dukungan ketika mengalami kekerasan seksual. Menurut dia langkah pertama yang harus diambil adalah menemukan seseorang yang bisa diajak bicara dan dipercaya. Namun, hal ini tidak mudah karena seringkali orang terdekat seperti keluarga justru menjadi pihak yang paling ditakuti. “Mencari support system yang tepat sangat penting baik itu teman, komunitas, organisasi, atau dosen yang dapat dipercaya. Selain dukungan dari orang terdekat, mencari bantuan professional juga penting. Korban harus segera mencari tenaga medis untuk memeriksa kondisi fisik dan psikologis," kata dia. Dengan demikian, ia menambahkan trauma yang ditangani segera akan lebih cepat pulih dibandingkan yang dipendam lama. Bantuan dari psikolog profesional sangat penting dalam proses pemulihan. Selain itu, fokus pada kegiatan positif yang disukai seperti musik, film, atau memasak juga dapat membantu korban pulih lebih cepat. Penting bagi korban untuk memiliki tujuan hidup. Tujuan atau impian ini dapat membantu korban melihat masa depan yang lebih baik, ujar Maria. Kemudian Aktivis Kesetaraan Gender, Hannah Al Rashid juga mengajak penyintas kekerasan seksual untuk mencari support system yang tepat, baik secara individu maupun komunitas. “Teman-teman bisa mengecek Instagram Kawan Puan, di mana mereka banyak bergerak di media sosial dan menerima pengaduan. Kawan Puan bekerja sama dengan berbagai organisasi di seluruh Indonesia, untuk mendapatkan bantuan di kota masing-masing," kata dia. Selain Kawan Puan, ada juga beberapa layanan lain seperti carilayanan.com, sebuah inisiatif dari Jakarta Feminist, yang menyediakan daftar layanan untuk korban kekerasan, termasuk rumah aman, psikolog, dan bantuan hukum. Lalu, ada akun Instagram awasKBGO yang memberikan bantuan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan Kementerian PPPA juga menyediakan layanan SAPA 129. Intinya, Anda tidak sendirian, dan harap segera mencari bantuan jika diperlukan. “Saya berharap dengan adanya UU TPKS, korban kekerasan seksual dapat merasa didukung dan mendapat keadilan yang mereka butuhkan. Kita bisa sama-sama mencari solusi, yang terpenting, korban tidak sendirian. Saya harap semua orang bisa ikut melawan dan berani bersuara untuk diri sendiri dan orang lain. Untuk laki-laki di luar sana, tolong jadilah sekutu kami. Laki-laki juga bisa menjadi korban. Ini adalah isu yang harus kita tangani bersama. Mari kita maju bersama dan lawan kekerasan seksual,” ujarnya.(*) (kemenpppa.go.id)

TANGERANG, WongKito.co - Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus dinilai merupakan fenomeno seperti gunung es. Atas kondisi tersebut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyerukan sinergi untuk memerangi kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

“Ketika berbicara tentang kekerasan seksual, banyak yang menyebutnya darurat. Tapi secara umum, kami ingin sampaikan bahwa kekerasan seksual ini seperti fenomena gunung es," kata Menteri PPPA, Hal itu disampaikan Menteri PPPA dalam acara Kick Andy Goes to Campus yang diselenggarakan di Universitas Pelita Harapan (UPH), belum lama ini.

Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), angka kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan tren penurunan.

Angka kekerasan terhadap anak pada periode 2018 hingga 2021 menurun sekitar 16 hingga 25 persen sesuai jenis kelamin, dan prevalensi kekerasan terhadap perempuan menurun dari 9,4 persen menjadi 8,7 persen pada 2021.

Baca Juga:

Namun, jumlah kasus yang terungkap justru meningkat, regulasi dan kebijakan yang semakin kuat untuk melindungi korban, serta meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan masyarakat yang sudah mulai terbuka terhadap isu ini dinilai berperan penting.

Menteri PPPA mengungkapkan berdasarkan data Kemen PPPA, faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi antara lain relasi kuasa. Korban sering menghadapi stigma dan kasusnya kerap disembunyikan.

Hal itu, menunjukkan adanya kesalahan dalam penanganan, ungkap dia.

Dia menambahkahkan pihaknya mendorong semua pihak untuk berani speak up dan memberikan keadilan kepada korban guna memberikan efek jera kepada pelaku.

“Yang paling dibutuhkan korban adalah perlindungan, baik secara moral maupun hukum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) juga sebagai salah satu UU yang kami kawal dan perjuangkan, adalah instrumen hukum yang akan menjadi payung pelindung korban untuk mendapatkan keadilan," kata dia lagi.  

Ia menegaskan Kementerian PPPA selaku kementerian yang mengampu tugas fungsi koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, secara garis besar banyak berfokus pada kerja-kerja dalam lingkup tugas fungsi tersebut, khususnya dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.

"Kami mengapresiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dalam menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, serta pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Pemerintah berkomitmen untuk memberantas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,"  ujar dia.

Menteri PPPA juga mengapresiasi komitmen Universitas Pelita Harapan (UPH) yang telah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) sesuai dengan peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek).

Ia berharap UPH dapat menjadi inspirasi bagi kampus-kampus lain untuk tidak hanya membentuk Satgas PPA, tetapi juga mengawal implementasi nyata pendampingan terbaik bagi korban.

“Edukasi pencegahan kekerasan seksual harus menjadi prioritas agar kekerasan tidak terjadi lagi. Kami mengajak seluruh stakeholder, termasuk jajaran kampus, untuk bersinergi dan berkolaborasi demi kepentingan terbaik bagi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku. Kami juga mendorong anak muda untuk peduli dan berani speak up, jangan bungkam dalam memerangi kekerasan seksual,” ujar dia lagi.

Sementara itu, Penyintas Kekerasan Seksual, Maria Immaculata mengungkapkan pentingnya mencari dukungan ketika mengalami kekerasan seksual. Menurut dia langkah pertama yang harus diambil adalah menemukan seseorang yang bisa diajak bicara dan dipercaya. Namun, hal ini tidak mudah karena seringkali orang terdekat seperti keluarga justru menjadi pihak yang paling ditakuti.

“Mencari support system yang tepat sangat penting baik itu teman, komunitas, organisasi, atau dosen yang dapat dipercaya. Selain dukungan dari orang terdekat, mencari bantuan professional juga penting. Korban harus segera mencari tenaga medis untuk memeriksa kondisi fisik dan psikologis," kata dia.

Dengan demikian, ia menambahkan trauma yang ditangani segera akan lebih cepat pulih dibandingkan yang dipendam lama. Bantuan dari psikolog profesional sangat penting dalam proses pemulihan.

Selain itu, fokus pada kegiatan positif yang disukai seperti musik, film, atau memasak juga dapat membantu korban pulih lebih cepat. Penting bagi korban untuk memiliki tujuan hidup. Tujuan atau impian ini dapat membantu korban melihat masa depan yang lebih baik, ujar Maria.

Kemudian Aktivis Kesetaraan Gender, Hannah Al Rashid juga mengajak penyintas kekerasan seksual untuk mencari support system yang tepat, baik secara individu maupun komunitas.

“Teman-teman bisa mengecek Instagram Kawan Puan, di mana mereka banyak bergerak di media sosial dan menerima pengaduan. Kawan Puan bekerja sama dengan berbagai organisasi di seluruh Indonesia, untuk mendapatkan bantuan di kota masing-masing," kata dia.

Baca Juga:

Selain Kawan Puan, ada juga beberapa layanan lain seperti carilayanan.com, sebuah inisiatif dari Jakarta Feminist, yang menyediakan daftar layanan untuk korban kekerasan, termasuk rumah aman, psikolog, dan bantuan hukum.

Lalu, ada akun Instagram awasKBGO yang memberikan bantuan terkait kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan Kementerian PPPA juga menyediakan layanan SAPA 129. Intinya, Anda tidak sendirian, dan harap segera mencari bantuan jika diperlukan.

“Saya berharap dengan adanya UU TPKS, korban kekerasan seksual dapat merasa didukung dan mendapat keadilan yang mereka butuhkan. Kita bisa sama-sama mencari solusi, yang terpenting, korban tidak sendirian. Saya harap semua orang bisa ikut melawan dan berani bersuara untuk diri sendiri dan orang lain. Untuk laki-laki di luar sana, tolong jadilah sekutu kami. Laki-laki juga bisa menjadi korban. Ini adalah isu yang harus kita tangani bersama. Mari kita maju bersama dan lawan kekerasan seksual,” ujarnya.(*)