Kasus Korupsi
Jumat, 22 November 2024 07:57 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co - Hasil survei Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menunjukan bahwa pemilih Indonesia memiliki literasi hoaks sedang. Mayoritas dari warga belum bisa membedakan antara fakta dan hoaks.
Survei itu dilakukan Komite Litbang Mafindo untuk mendapatkan gambaran tentang literasi hoaks dan partisipasi politik masyarakat, demikian mengutip rilis Mafindo, Rabu (20/11/2024).
Hasil Survei juga mengkaji hubungan antara tingkat literasi hoaks dengan partisipasi politik masyarakat, serta dampak hoaks terhadap proses demokrasi, menjelang pilkada.
Riset ini melibatkan partisipan dari berbagai latar belakang demografi, meliputi usia, gender, agama, tingkat pendidikan, dan pekerjaan, sehingga menghasilkan gambaran yang representatif tentang kondisi literasi hoaks di Indonesia.
Baca Juga:
Tidak hanya faktor demografi, riset ini juga memperhatikan faktor psikografis partisipan, seperti minat, aktivitas, dan opini, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Supervisor Riset, Loina Lalolo K. Perangin-angin menyebut belum ada data literasi hoaks yang memadai di Indonesia. Data Survei Literasi Digital Nasional 2022 menunjukkan rendahnya keyakinan masyarakat untuk mengenali atau informasi salah/tidak sesuai fakta bahkan berita bohong atau hoaks, hanya 7% yang menyatakan sangat yakin, 25 % yakin, sementara 45% antara yakin dan tidak yakin, serta sisanya mengaku tidak yakin.
Karena itu, Komite Litbang dan Program Tular Nalar Mafindo yang didukung Google.org meriset literasi hoaks di 20 provinsi, meliputi 10 provinsi dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi, dan 10 provinsi dengan IKP terendah.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik acak bertahap dan menghasilkan 2.011 responden.
Nuril Hidayah sebagai Program Officer Riset menyatakan literasi hoaks masyarakat perlu diukur secara khusus karena ada beberapa studi yang menunjukkan sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan antara informasi yang benar dan yang meragukan.
Hasil survei yang dilakukan Mafindo menunjukkan bahwa tingkat literasi hoaks masyarakat Indonesia berada di kategori sedang.
Hal ini terlihat dari data bahwa sebanyak 60% responden tidak mengetahui bahwa klaim tentang Warga Negara Asing (WNA) diberi KTP untuk mencoblos adalah hoaks.
Selain itu, sebanyak 66,1% responden tidak mengetahui bahwa klaim Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu juga hoaks. Meski demikian, semangat masyarakat untuk melawan hoaks menunjukkan potensi besar untuk terus dikembangkan melalui edukasi.
Selain itu, penelitian ini mengungkap bahwa partisipasi politik masyarakat di ranah daring cukup tinggi, sementara di ranah luring masih berada di level sedang.
“Menariknya, terdapat hubungan positif antara literasi hoaks dan partisipasi politik. Artinya, semakin tinggi tingkat literasi hoaks seseorang, semakin tinggi pula partisipasinya dalam aktivitas politik,” ujar Nuril.
Sementara anggota tim riset, Finsensius Yuli Purnama, menegaskan literasi hoaks masyarakat Indonesia di level sedang karena secara kognitif pengetahuan mereka soal hoaks di level sedang atau 68%, yang tinggi mencapai 23,7% dan rendah 7,6%.
Sementara partisipasi politik juga berada pada level sedang. Minat masyarakat mendapatkan informasi politik juga tinggi, yang didapat mayoritas melalui portal berita online. Fins juga menyatakan terdapat hubungan positif antara literasi hoaks dengan partisipasi politik. Semakin tinggi literasi hoaks, semakin tinggi pula pastisipasi politik mereka.
Mafindo berpendapat hasil penelitian ini penting untuk disebarluaskan kepada publik dan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi hoaks dan mendorong upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan hoaks.
Kemudian, Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho mengatakan bahwa survei ini adalah bagian dari komitmen Mafindo untuk mendukung upaya memperkuat literasi digital, khususnya dalam menghadapi tantangan penyebaran informasi hoaks yang kerap kali mengganggu tatanan sosial, politik, dan demokrasi.
“Tidak hanya bertujuan untuk memetakan kondisi literasi hoaks di masyarakat, survei ini juga ingin menggali keterkaitan antara literasi hoaks dengan partisipasi politik, yang merupakan elemen penting dalam kehidupan berdemokrasi,” ujar Septiaji.
Dia berharap hasil survei ini dapat menjadi dasar bagi berbagai pihak termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan organisasi masyarakat sipil untuk merancang strategi dan kebijakan yang lebih efektif dalam meningkatkan literasi digital, membangun ketahanan terhadap hoaks, dan memperkuat partisipasi politik masyarakat.
Acara itu juga menghadirkan penanggap Iji Jaelani dari Bawaslu RI. Iji mengungkapkan perbandingan isu di level provinsi kampanye bermuatan ujaran kebencian adalah indikator yang paling banyak terjadi pada kampanye di media sosial yaitu sebesar 50%, disusul kampanye bermuatan hoaks sebesar 30%, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 20%.
Menurut dia, di level kabupaten/kota, kampanye bermuatan hoaks di media sosial sebesar 40%, disusul kampanye bermuatan ujaran kebencian sebesar 33%, dan kampanye bermuatan SARA sebesar 27%. Bawaslu memandang data ini penting untuk disebarluaskan menjelang tahapan pungut hitung pada pilkada dan tahapan pungut hitung rawan terjadi hoaks.
Penanggap lainnya, Indriyatno Banyumurti dari ICT Watch, menyatakan medsos masih menjadi sumber utama untuk mendapatkan informasi, sekaligus menjadi sumber penyebaran hoaks.
Platform yang paling banyak diakses pada 2022 adalah Facebook 55,9%, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020 sebesar 71,9%, dan tahun 2021 sebesar 62,6%.
“Jika sebagian besar netizen Indonesia masih tidak yakin bisa mengidentifikasi hoaks, antara yakin dan tidak yakin sebesar 45%, karena 52,2% netizen tidak mengecek informasi yang diterima melalui gambar, video, berita, situs dan post media social,” ujar Indriyanto.
Media digital, ujar dia, juga mengambil peran tinggi sebagai sumber informasi, sebanyak 47,6% responden mengakses informasi dari portal berita online dan berita sharing, 42,6% responden percaya pada media digital, dan 31,9% responden percaya pada media sosial.
“Walau orang semakin paham akan hoaks, ternyata masih kesulitan untuk dapat memverifikasi sebuah informasi,” ungkap Indriyanto.(ril)