Indonesia
Kamis, 25 September 2025 08:02 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co – Menanggapi pidato Presiden Prabowo yang menekankan keinginan kuat Indonesia untuk menjadi aktor global dalam menangani krisis iklim dan pangan. Pernyataan itu ia sampaikan dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025).
Ia juga menyatakan komitmen reforestasi 12 juta lahan terdegradasi, membangun tanggul laut 480 kilometer dan ambisi nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai pidato tersebut belum menjawab akar
masalah dan kontradiktif dengan kondisi di dalam negeri. Pidato tersebut juga tidak menyentuh persoalan keadilan iklim yang dihadapi masyarakat di kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan petani dan nelayan menghadapi cuaca yang tidak menentu dan dampak perubahan iklim
terhadap masyarakat rentan.
“Realitanya sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung,” kata Jaya
Darmawan, peneliti CELIOS, dalam diskusi media di Jakarta, pada selasa (24/09/2025).
Target Turun Emisi Tapi Belum Setor Komitmen Global
Hingga hari ini, Indonesia belum menyerahkan Second Nationally Determined Contribution
(SNDC), padahal tenggatnya berakhir pada 20 September 2025. Menurut Nadia Hadad,
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, persoalan krisis iklim tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata solusi teknis.
“Mengapa cara pandangnya langsung lompat ke solusi teknis dan tidak menelaah akar masalah tentang pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati,” kata Nadia.
Nadia menjelaskan bahwa akar masalah krisis iklim berawal dari ketidakadilan dan ketimpangan.
Baca Juga:
Ia merujuk pada riset CELIOS pada 2024 yang menyebut kekayaan 50 orang terkaya di
Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Dan, sebanyak 56% dari kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia bersumber dari sektor ekstraktif.
“Jadi siapa yang sebenarnya menikmati hasil ekonomi ini,” katanya.
Nadia menekankan perlunya ekonomi restoratif yang memulihkan dan meregenerasi lingkungan dan memperkuat keadilan sosial, bukan hanya fokus pada target pertumbuhan ekonomi 8%
yang justru bisa mengorbankan hutan dan biodiversitas.
Ia menyoroti bahwa, sebelum giliran Prabowo pidato, Presiden Brazil Lula de Silva sempat
meminta negara-negara maju agar mendanai krisis iklim. Brazil sedang mendorong skema
keuangan agar negara maju membayar negara berkembang untuk menjaga kelestarian
hutannya melalui Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Namun berbeda dengan Lula,
Prabowo tidak menyebut hal-hal tersebut.
“Reforestasi penting, tapi lebih penting lagi
mencegah deforestasi ke depan. Kalau tidak hati-hati, ambisi ketahanan pangan dan energi
bisa mengancam sisa hutan yang masih ada,” kata Nadia.
Untuk mengatasi krisis iklim, solusi nyata adalah pensiun dini PLTU batu bara dan keluar dari ketergantungan bahan bakar fosil. “Kita harus membatasi 18 juta hektar lahan untuk
perkebunan sawit. Ketahanan pangan dari singkong dan jagung tidak boleh mengancam
keberadaan hutan,” kata Nadia.
Ambisi Energi Terbarukan dan HAM Tak Konsisten
Saffanah Azzahra, peneliti dari ICEL, mengingatkan bahwa target bauran energi terbarukan Indonesia justru mundur. Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru menyebutkan hanya 19-23% bauran energi pada 2030 berasal dari energi terbarukan. Padahal pada KEN sebelumnya,
menyebutkan target peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer pada tahun 2025 paling sedikit 23%, dan 31% pada tahun 2050.“ Ambisinya lebih rendah dari sebelumnya,” kata Saffa.
“Dengan dominasi energi fosil 79% pada 2030–yang 50% dari batu bara – target Paris
Agreement, menjaga kenaikan suhu dibawah 1,5 derajat celcius mustahil tercapai,” katanya.
“Kita justru menuju pemanasan 3-4 derajat celcius.”
Ia juga menyoroti teknologi co-firing yang sering disebut mampu menurunkan emisi dari PLTU batu bara. Co-firing adalah teknologi pembakaran dua jenis bahan bakar yang berbeda secara bersamaan dalam satu sistem yang sama untuk mengurangi emisi yang dihasilkan.
”Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, bahan bakar co-firing 52 PLTU, sesuai dengan ambisi PLN pada tahun 2025, itu menciptakan deforestasi 4,65 juta hektar,” katanya.
Jaya Darmawan menambahkan, data produksi batubara tetap naik ketika co-firing biomass
diterapkan. Ia berasumsi ini akibat Indonesia banyak mengekspor palet kayu (wood chips) ke
Jepang dan Korea.
“Kami menemukan ada selisih ekspor palet kayu sebesar 153 juta USD selama 12 tahun terakhir dari laporan ekspor Indonesia dan laporan bea cukai Jepang. Dalam ekonomi ini disebut illicit financing. Apakah ada proses ilegal yang dibiarkan?” tanyanya.
Dalam kesempatan yang sama, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International
Indonesia menilai pidato Prabowo tentang hak asasi manusia sekilas selaras dengan politik
nasional. Tetapi, janji menjaga perdamaian dunia hanya retorika jika Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi.
“Kalau Indonesia tidak menjadi bagian dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), kecaman genosida di Gaza tidak ada artinya sama sekali, hanya pepesan kosong,” kata Usman.
Ia juga menjelaskan bahwa komitmen menjaga perdamaian dunia seharusnya dilakukan
dengan memperkuat partisipasi Indonesia dalam misi perdamaian di kawasan konflik.
“Peran itu lebih masuk akal ketimbang tentara terlibat dalam distribusi Makanan Bergizi Gratis (MBG), bertani atau menjaga keamanan dalam negeri,” katanya.
Usman menekankan pentingnya konsistensi komitmen HAM dengan kebijakan dalam negeri, terutama dalam perkembangan terakhir adalah rencana reformasi Polri. Penahanan sejumlah aktivis HAM dan mahasiswa yang ditahan pasca demonstrasi Agustus 2025, dan pembatalan tim gabungan pencari fakta atas tragedi tersebut, kata dia, mencederai komitmen HAM.
”Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan,”
katanya.
Diplomasi Indonesia di dunia internasional hanya bermakna jika sejalan dengan
komitmen keadilan iklim, keadilan pangan dan penghormatan HAM di dalam negeri.
Baca juga:
Data BPS menunjukkan luasan sawah di Indonesia menurun dari 10,21 juta hektar pada 2023 menjadi 10,05 juta hektar pada 2024. Dampaknya, panen juga turun, dari 53,98 juta ton pada 2024 menjadi 53,14 juta pada 2023.
Di Jayapura dan Merauke, harga beras rata-rata per bulan konsisten naik bahkan menyentuh Rp18.000 per kilogram. Angka ini melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET), baik beras medium hingga Rp14.365/kg dan beras premium hingga Rp16.169/kg.
Sementara Prabowo berpidato di urutan ketiga usai Presiden Brazil Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pidato ini menandai kembalinya Presiden Indonesia berpidato setelah 10 tahun. Dalam pidato tersebut, Prabowo menyebut Indonesia telah mencapai swasembada beras.(ril)
2 bulan yang lalu
2 bulan yang lalu