Tuntut Gratiskan PCR, Ini Penjelasan LBH Palembang

Minggu, 31 Oktober 2021 18:59 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Tuntut Gratiskan PCR, Ini Penjelasan LBH Palembang
Tuntut Gratiskan PCR, Ini Penjelasan LBH Palembang (Ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan yang merupakan gabungan organisasi non pemerintah, seperti ICW, YLBHI dan LBH Palembang menuntut Pemerintah agar menggratiskan tes PCR bukan sekedar menurunkan harga. 

Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya LBH Palembang, Juardan Gultom, S.H mengatakan penurunan harga jasa pelayanan pemeriksaan PCR oleh Pemerintah tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. 

“Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi, ” kata dia, dalam siaran pers yang diterima WongKito.co, Minggu (31/10/2021) sore. 

Ia mengungkapkan ketentuan terkait harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 (empat) kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol Pemerintah sehingga harganya sangat tinggi, bahkan mencapai Rp2,5 juta.

Kemudian pada Oktober 2020 Pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp900.000.  Lalu, 10 bulan kemudian harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu Pemerintah menurunkan harga menjadi Rp275.000-Rp 300.000, ujar dia. 


Juardan menambahkan mesti diingat ketika angka positif COVID-19 melonjak pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900.000 sekali tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. 

Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu. Terlebih penurunan terakhir (27/10) ini terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat, tambah dia. 

“Kami melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya,” katanya. 

Lalu, penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi.

Juardan memenerangkan dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, Koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. 

Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga, terang dia. 
 

Transparansi Anggaran

Data Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan anggaran penanganan COVID-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6% dari Rp 99,5 triliun. 

Kondisi keuangan tahun ini pun demikian. Per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan COVID-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen. 

Dari kondisi tersebut sebenarnya Pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberikan akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.

Juardan menjelaskan terdapat duap permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, Koalisi menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kedaluarsa. Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga Pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. 

Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi.
 

Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya. 

Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 , harga reagen PCR hanya sebesar Rp180 ribu. Ketika Pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas  Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 Pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu.


Dari catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan mendesak agar:
Pemerintah menghentikan segala upaya untuk mengakomodir kepentingan bisnis tertentu melalui kebijakan.


Kementerian Kesehatan harus membuka informasi mengenai komponen pembentuk tarif pemeriksaan PCR beserta dengan besaran persentasenya.


Pemerintah harus menggratiskan pemeriksaan PCR bagi seluruh masyarakat.(ril)