Setara
Komnas Perempuan Dorong Upaya Pemulihan Penyintas Pelanggaran HAM Berat
JAKARTA - Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Pemerintah RI untuk melanjutkan upaya pemulihan para penyintas pelanggaran HAM berat yang masih terus berjuang mencapai keadilan. Kehadiran negara penting diwujudkan dalam memastikan kebenaran kasus terungkap secara benderang.
“Komnas Perempuan menjadi pihak yang terus bersuara untuk memastikan agar negara menempuh langkah tegas dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk pemulihan hak korban yang berkeadilan gender, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya”, ucap Theresia Iswarini, Komisioner/Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan, dalam siaran pers peringatan Hari Hak Atas Kebenaran, Senin (24/03/2025).
Kesejarahan Komnas Perempuan sebagai salah satu lembaga Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia, baik terkait pelanggaran maupun terhadap pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan serta jaminan ketidakberulangan. Hingga saat ini, belum ada pertanggungjawaban hukum dari negara terhadap sejumlah besar pelanggaran HAM berat.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang perlu diketahui antara lain Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, dan Pembunuhan Dukun Santet.
“Selain itu, negara juga harus mencegah atau memastikan tidak ada pelanggaran serupa terhadap masyarakat,” ujar Komisioner Iswarini.
Dalam pengamatan Komnas Perempuan, pemenuhan hak atas pemulihan pun masih menuai kontroversi karena proses yang dibangun belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak korban.
Implementasi Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (Tim Pemantau PPHAM) regulasi ini juga terhenti ketika pemerintahan Presiden Jowo Widodo berakhir. Hingga saat ini belum ada perkembangan terkait regulasi ini. Kondisi ini berdampak pada menurunnya dukungan pemulihan non yudisial bagi para penyintas, terlebih di tengah efisiensi anggaran.
“Pemenuhan hak-hak korban merupakan bagian dari penghormatan terhadap martabat kemanusiaan yang harus diwujudkan secara konkret di antaranya melalui investigasi efektif, penyelenggaraan proses peradilan, serta pemulihan korban termasuk ganti rugi secara efektif. Hal ini karena pertanggung jawaban efektif dari negara merupakan bagian dari pendidikan publik,” ujar Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.
Kebenaran adalah salah satu hak korban dan keluarganya, yang mencakup mengetahui kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM. Misalnya saja, kasus penghilangan paksa. Namun, Konvensi Anti Penghilangan Paksa tak kunjung diratifikasi hingga saat ini. Padahal kebenaran itu penting untuk memberikan kepastian bagi korban dan keluarganya, dan pengungkapan kebenaran harus dilakukan dengan menghormati martabat korban dan keluarganya, serta proses hukum yang transparan dan adil harus ditegakkan untuk mengadili pelaku sekaligus mencegah impunitas.
Lebih lanjut, Retty Ratnawati Komisioner Komnas Perempuan kembali menegaskan bahwa Hari Hak atas Kebenaran merupakan alarm bagi bangsa ini. Peringatan ini perlu menjadi pendorong penyelesaian hukum dan pemulihan korban pelanggaran HAM berat. Ini harus menjadi perhatian penting pemerintah Indonesia untuk segera dituntaskan dengan melibatkan komunitas korban dan masyarakat yang selama ini konsisten memperjuangkan hak-haknya.
“Pertanggungjawaban negara menunjukkan keseriusan negara memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya terhadap warganya,” pungkasnya. (*)
Sumber: Komnas Perempuan