Korea Selatan Krisis Manusia, Warga Makin malas Nikah

Korea Selatan Krisis Manusia, Warga Makin Ogah Nikah (ist)

JAKARTA- Kekinian negerinya para Oppa, Korea Selatan dilaporkan tengah mengalami krisis manusia atau penurunan jumlah populasi. Krisis manusia di Korsel terjadi lantaran warga semakin banyak yang menolak untuk menikah.

Bukan hanya enggan menikah, warga yang sudah menikah pun lebih memilih untuk tak memiliki anak atau hamil lantaran sejumlah alasan. Salah satunya Yoo Yeung Yi, Warga Korsel yang telah berumah tangga.

Mengutip AP News Minggu, 27 November 2022, Yeung Yi adalah dua bersaudara. Neneknya sendiri memiliki 6 orang anak. Namun ia memilih untuk tak hamil dan melahirkan karena alasan pribadi.

"Suami saya dan saya sangat menyukai bayi. Tetapi ada hal-hal yang harus kami korbankan jika kami membesarkan anak. Jadi ini menjadi masalah pilihan antara dua hal, dan kami sepakat untuk lebih fokus pada diri kami sendirimembesarkan anak-anak," kata Yeung Yi seperti dikutip TrenAsia dari AP News.

Baca Juga:

Tidak ada angka resmi berapa banyak warga Korea Selatan yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak. Namun catatan dari badan statistik nasional menunjukkan ada sekitar 193 ribu pernikahan di Korea Selatan tahun lalu, turun dari puncaknya 430 ribu pada tahun 1996.

Data badan tersebut juga menunjukkan sekitar 260.600 bayi lahir di Korea Selatan tahun lalu, sementara puncak kelahiran di negara tersebut mencapai 1 juta pada tahun 1971.

Sebagai tambahan informasi lainnya, Pemerintah Korsel saat ini mencatat tingkat kesuburan sebanyak 0,81%. Sedangkan idealnya, sebuah negara harus memiliki tingkat kesuburan sebesar 2,1% untuk menjaga populasinya.

Pergeseran Pola Pikir

Sebagai salah satu negara majudi Asia, Pola pikir pemuda Korsel mengalami pergeseran dibanding pendahulunya.

Saat ini, banyak anak muda Korea Selatan mengatakan bahwa tidak seperti orang tua dan kakek neneknya. Mereka tidak merasa berkewajiban untuk berkeluarga.

Alasan mereka untuk tak berumah tangga dilihat dari kondisi ketidakpastian pasar kerja yang suram, harga rumah yang mahal, ketidaksetaraan gender dan sosial.

Selain itu, Anak muda Korea juga mempertimbangkan tingkat mobilitas sosial yang rendah, serta biaya besar untuk membesarkan anak dalam masyarakat yang sangat kompetitif.

Dalam kacamata lain, para Perempuan di Korea Selatan juga mengeluhkan budaya patriarkal yang memaksa mereka melakukan banyak pengasuhan anak sambil menanggung diskriminasi di tempat kerja.

"Singkatnya, orang mengira negara kita bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali," kata pakar kebijakan kependudukan di Institut Korea untuk Urusan Kesehatan dan Sosial di Korea Selatan, Lee So-Young, .

"Mereka percaya anak-anak mereka tidak dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada mereka, jadi mempertanyakan mengapa mereka harus bersusah payah untuk memiliki bayi," ucapnya lagi.

 

 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Rizky C. Septania pada 27 Nov 2022 


Related Stories