Apa Itu Sunk Cost Fallacy ?

Apa Itu Sunk Cost Fallacy ? (Ist)

JAKARTA, Wongkito.co - Anda terpikir untuk meninggalkan hubungan yang semakin lama cenderung toxic tapi sayang meninggalkannya karena sudah terlalu lama, sudah banyak kenangan yang dilalui, atau meninggalkan pekerjaan anda karena tidak sesuai dengan skill anda.

Seringkali kita terjebak dengan keraguan itu, bayangan kenangan sudah terlalu banyak kenangan dan cerita hingga terlalu sulit untuk meninggalkan.

Mengapa bisa demikian? Hal ini ternyata karena kita mempertimbangkan sunk cost fallacy atau kekeliruan biaya hangus.

Baca juga

Definisi Sunk Cost Fallacy

Melansir dari laman website Very Well Mind pada Selasa, 27 Juni 2023, sunk cost fallacy adalah bias kognitif yang mambuat seserang merasa seolah-olah harus terus memberikan uang, waktu, dan tenaga untuk suatu situasi karena mereka telah "tenggelam" terlalu banyak di dalamnya.

Sunk cost fallacy membuat seseorang sulit meninggalkan sesuatu yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai mereka karena  mereka tidak ingin melihat sumber daya tersebut terbuang sia-sia.

Yalda Safai, seorang psikiater di New York mengatakan korban sunk cost fallacy kerap menganggap "dampak kerugian terasa lebih buruk daripada prospek keuntungan, jadi mereka akan terus mengambil keputusan berdasarkan biaya masa lalu, bukan biaya dan keuntungan masa depan".

Sunk cost fallacy bisa menjadi berbahaya karena membuat seseorang tidak dapat berpikir logis saat membuat keputusan seperti  yang disebutkan National Institutes of Health (NIH), sunk cost fallacy mengarah pada pengambilan keputusan berbasis emosi yang tidak rasional, menyebabkan seseorang menghabiskan sumber daya tambahan di jalan buntu alih-alih menjauh dari situasi yang tidak lagi melayani Anda.

Bias kognitif ini dapat muncul saat Anda mengambil keputusan yang terkait dengan karier, hubungan pribadi, pendidikan, investasi keuangan, bahkan sesederhana mobil Anda yang terus-meneru Anda biayai meskipun sudah tidak bisa digunakan.

Anda mungkin akan menemukan kebimbangan di tengah jalan pengambilan keputusan antara harus tetap di jalur atau pergi karena garis pembedanya sangatlah tipis. Untuk hal ini Dr. Safai memiliki saran untuk Anda yaitu dengan mengevaluasi apa yang telah terjadi di masa lalu "Prediktor terbaik dari masa depan atau perilaku masa depan adalah masa lalu. Jika sampai saat ini hubungan, hobi, persahabatan, pekerjaan yang Anda miliki tidak memberi hal positif apa pun, kemungkinan besar hal tersebut juga tidak akan terjadi di masa depan". 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Rumpi Rahayu pada 29 Jun 2023 

Editor: admin

Related Stories