Setara
Balai Syura: Perempuan Aceh Berhak untuk Berpartisipasi dalam Pilkada
ACEH, WongKito.co - Balai Syura Ureung Inong Aceh (Balai Syura) dan seluruh elemen gerakan perempuan menyikapi berkembangnya pernyataan kontroversial di media sosial yang menolak partisipasi Perempuan Aceh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berdasarkan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Al-Qur’an menegaskan bahwa, memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk Perempuan Aceh.
Jaminan atas pemenuhan hak ini telah dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, baik dalam bentuk UU maupun Qanun. Hal ini sejalan dengan prinsip non diskriminasi dan kesetaraan substantif yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Undang-undang No. 7 Tahun 1984).
Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairini Arifin menungkapkan selain itu, UU Pemerintah Aceh (UUPA), UU Pemilihan Kepala Daerah maupun Qanun Aceh tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, tidak ada satu-pun yang melarang perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Baca Juga:
- Fakta Persidangan Ini Membuktikan Eks Dirut JJC Tidak Korupsi
- Simak Cara Berinvestasi Crypto Jangka Panjang untuk Hasil Maksimal
- Bisnis Emas BSI Tumbuh 37,42 Persen, Milenial Mulai Tertarik Investasi Logam Mulia
Bahkan UUPA telah mewajibkan Pemprov Aceh dan pemkab/pemkot untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan, katanya dalam siaran pers yang diterima, Selasa (23/7/2024).
Ia menjelaskan Pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga telah menegaskan jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional, melakukan berbagai aktivitas politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh partai politik nasional maupun partai politik lokal.
Karenanya larangan bagi Perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan, ujarnya.
Sejarah Islam telah mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.
Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan empat Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yang didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Sinkili. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh, tambah dia.
Karena itu, menurut dia penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama.
Terhadap permasalahan di atas, Balai Syura Ureung Inong Aceh dan seluruh elemen gerakan perempuan menyatakan sikap:
1. Mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, agar:
a. Memastikan setiap warga negara termasuk perempuan terlindungi dan terpenuhi hak konstitusionalnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, termasuk dalam hal ini memastikan setiap perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau terlibat dalam politik tidak menghadapi diskriminasi atau hambatan karena keberadaannya sebagai perempuan;
b. Mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam politik, termasuk mendukung keterlibatan mereka dalam bursa Pilkada dan posisi kepemimpinan politik lainnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
Baca Juga:
- Kembangkan Jargas di DIY, PGN Sowan ke Sultan HB X dan Pastikan Kelancaran Pembangunan
- Alokasi Anggaran Makan Siang Gratis hanya Rp 7.500
- Simak inilah, Rekam Jejak dan Kekayaan Dato Sri Tahir, Pejabat Terkaya versi LHKPN 2023
c. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.
2. Meminta Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan Panwaslih Kab/Kota untuk meningkatkan pengawasannya terhadap penggunaan konten atau materi kampanye yang mengarah kepada hoax dan politisasi SARA dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah sejak dari tahap persiapan, dan melakukan langkah-langkah konkrit untuk pencegahan;
3. Menyerukan kepada seluruh Bakal Calon/Calon Kepala Daerah dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam keseluruhan tahapan proses pemilihan kepala daerah, tanpa harus melakukan politisasi agama/politisasi Syariat Islam untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.
Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, kami percaya bahwa partisipasi penuh perempuan dalam kepemimpinan politik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya, kata Khairani.(ril)