Ragam
Begini Dampak Kesepakatan Tarif RI-AS ke Ekonomi
JAKARTA – Pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan Amerika Serikat (AS) untuk menurunkan tarif impor barang asal Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen.
Kesepakatan ini diumumkan Presiden AS Donald Trump setelah negosiasi intens dalam beberapa minggu terakhir. Kesepakatan yang disebut sebagai “kompromi dagang” ini memicu banyak perdebatan publik soal seberapa besar sebenarnya dampaknya ke ekonomi nasional.
Research Director di Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi, menilai manuver tarif ala Presiden Trump lebih merupakan panggung politik daripada kebijakan perdagangan jangka panjang yang serius.
Baca Juga :
- Konten Jiplak Tak Dapat Cuan, YouTube Semakin Perketat Aturan
- Pemasangan PLTS di 9 Fasilitas KAI Rampung, Termasuk Kantor Divre III Palembang
- Koalisi Sipil Desak UU Kehutanan Baru, Bukan Sekedar Revisi
“Pasar keuangan global sudah terbiasa dengan gaya berpolitik teatrikal seperti ini,” ujar Gundy pada Rabu, 16 Juli 2025.
Ia mencontohkan lonjakan indeks volatilitas global (VIX) yang sempat memuncak usai Liberation Day pada April lalu, tapi kemudian mereda pada Juli. “Investor menilai ancaman tarif sebagai pola lama: gertakan keras di depan layar, lalu negosiasi di balik layar,” tambahnya.
Dampak ke Ekonomi Nasional Dinilai Terukur
Gundy menekankan bahwa perekonomian Indonesia sebenarnya tidak terlalu bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN.
Berdasarkan data miliknya, ekspor ke AS hanya sekitar 10% dari total ekspor kita. Tahun lalu nilai ekspor Indonesia US$290 miliar, jadi kalau akses pasar ke AS tertutup sepenuhnya, dampaknya sekitar US$29 miliar.
Menurut dia, meski signifikan, angka itu hanya sekitar 2% dari total PDB Indonesia. Gundy mengatakan, dampak akan terasa, tapi tidak sampai mengguncang fondasi ekonomi.
Karena itu, ia menilai fokus utama Indonesia seharusnya bukan sekadar mempertahankan pasar ekspor, tapi mendorong investasi jangka panjang.
Ia juga menyoroti keputusan Presiden Prabowo untuk tetap hadir dalam KTT BRICS meskipun ada tekanan dari Washington. “Itu menunjukkan arah kebijakan luar negeri yang konsisten: memperluas kerja sama, memperkuat posisi Indonesia di kancah global, dan menjaga ketegasan diplomasi,” kata Gundy.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 16 Jul 2025