KabarKito
Koalisi Sipil Desak UU Kehutanan Baru, Bukan Sekedar Revisi
JAKARTA, WongKito.co - Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR RI membentuk UU Kehutanan (UUK) baru yang adil dan melindungi ekosistem hutan, serta mengakhiri tata kelola hutan sejak era kolonial dengan mencabut UUK lama. Hal ini disampaikan seiring pembahasan revisi UUK No 41 Tahun 1999 yang sedang berlangsung di Komisi IV DPR RI.
“Koalisi berpendapat bahwa UUK lama sudah tidak layak lagi dipertahankan,” kata Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia dalam konferensi pers daring, Senin (14/07/2025), sehari sebelum Rapat Dengar Pendapat DPR RI yang berlangsung Selasa (15/07/2025).
Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi. Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan.
Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural.
Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan.
Hadir dalam kesempatan itu para juru bicara dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), HuMa, Madani Berkelanjutan, Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia, dan Women Research Institute. Masing-masing menyampaikan penilaian, masukan, dan kritikan atas tata kelola kehutanan selama ini oleh negara.
- No Call Weekend Policy Jadi Tren Baru di Startup
- Melalui BRILiaN Way, BRI Bangun Budaya Perusahaan Berorientasi Kinerja dan Nilai
- Sejarawan: Banyak Sungai Ditimbun, Wajah Lama Palembang Nyaris Hilang
Walhi menyoroti akses kelola rakyat melalui hutan adat dan hak akses melalui perhutanan sosial yang sedikit sekali. Adapun Greenpeace Indonesia menilai, kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level Inpres tidak cukup kuat. Data terakhir menunjukkan 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium hilang sepanjang 2024, baik karena deforestasi ataupun kebakaran.
Yayasan MADANI Berkelanjutan mengingatkan, UUK yang terbit 1999 belum mengakomodir masalah perubahan iklim, mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement. Adapun Kaoem Telapak meminta pembaruan UU Kehutanan harus membuka ruang partisipasi publik yang membuat masyarakat dapat ikut melakukan pengawasan untuk mendukung tata kelola hutan yang lebih baik.
Sementara Women Research Institute (WRI) mengutip data AMAN bahwa dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga.
“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” kata Sita Aripurnami dari WRI.
Akademisi kehutanan Eko Cahyono menyampaikan, kebijakan kehutanan dan agraria sejak era kolonial tidak berubah sampai saat ini. Ini telah menjadikan sumber konflik struktural, marginalisasi, mengesampingkan masyarakat adat dan menimbulkan berbagai kerusakan ekosistem jangka panjang.
“Koreksi fundamental atas regulasi dan kebijakan kehutanan niscaya dilakukan untuk mengembalikan mandat konstitusional dan meluruskan salah asuh negara atas hutan Indonesia,” katanya.
- Cegah Sunat Perempuan, Penyusunan Modul Edukasi Dimulai
- Agung Podomoro Land dan Shimizu Corporation Indonesia Perkuat Sinergi di Industri Properti Indonesia
- Sinergi SMSC dan Duta PORA Sumsel 2025, Edukasi Pemuda Melek Finansial dan Digital
Koalisi mengutip Pasal 3 UU 41/1999 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun hasil evaluasi Koalisi melalui aspek filosofis, sosiologis dan yuridis telah menunjukkan tujuan tersebut gagal tercapai.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Koalisi memberi rekomendasi yakni menghentikan proses perubahan keempat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan menggantinya menjadi pembentukan UU kehutanan baru. Serta, proses pembentukan UU Kehutanan baru wajib dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diatur di dalam Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020 tentang partisipasi yang bermakna. (*)