Bisakah Mengikis Stigma Penyintas HIV, Sebagai Wujud Kesetaraan?

Suasana Lokakarya Konsep Advokasi yang diselenggarakan PKBI Sumut di Palembang (WongKito.co/Nila Ertina)

"Melihat foto-foto ini, saya tidak bisa membendung air mata saya," kata Advokasi Officer CSS HR, PKBI Sumut, Sari Palupi, sembari menampilkan foto-foto seorang anak perempuan dalam Lokakarya Konsep Advokasi, yang diselenggarakan Jumat (2/12/2022).

Ia bercerita awalnya anak yang kini diasuhnya tersebut telantar di rumah sakit.

Sedih dan kecewa melihat anak dengan HIV  ditelantarkan, membuat Sari yang memang sejak tahun 2008 telah menjadi petugas lapangan penjangkau orang dengan HIV di Kota Palembang mengambil keputusan untuk mengurus anak tersebut.

Hingga kini, ia mengakui anak yang diasuhnya tersebut sudah bisa bersekolah dan hidup sehat sama seperti anak-anak lain seusianya, sangat manja.

Bahkan, saat hendak tidur pun mesti ditemani dulu sampai anak perempuan tersebut terlelap, tambah Sari.

Ia mengungkapkan kasus yang diceritakannya tersebut hanya salah satu contoh anak dengan HIV, betapa kompleknya masalah yang dihadapi.

Baca Juga:

Di Palembang ini, banyak anak-anak lainnya yang terinfeksi HIV.

"Dari pendampingan yang kami lakukan, ditemukan juga kasus HIV dengan penyandangnya anak usia 15-16  tahun," kata dia lagi.

Anak-anak positif HIV ini ada  yang tidak mau orang tua dan keluarga lainnya mengetahui kondisi mereka.

Padahal anak-anak harus ada perwalian saat melakukan pengobatan atau treatment.

Namun, seorang anak penyintas terpaksa perwaliannya dilakukan komunitas penyandang HIV.

Meskipun akhirnya dia mau berobat dan berkomitmen mengonsumsi ARV seumur hidup.

Pentingnya wali bagi anak dengan HIV tersebut sebagai salah satu upaya untuk mendukung pengobatan yang optimal.

Baca Juga:

Lalu, penting juga untuk menyampaikan beragam pengetahuan yang berkaitan dengan HIV termasuk penyebaran virus tersebut.

Diselenggarakannya lokakarya konsep advokasi ini, tambah Sari menjadi salah satu langkah berbasis hak untuk penanggulangan HIV dan TB.

Hal itu, berkaitan dengan upaya meminimalisir dan mengantisipasi meluasnya stigma, diskriminasi dan pelanggaran hak orang dengan HIV dan AIDS, orang dengan TB dan populisi kunci atau kelompok rentan.

Karena sesungguhnya, hingga kini stigma dan diskriminasi tersebut masih dialami penyintas HIV juga TB. Ia mencontohkan lagi ketika penerimaan CPNS pun, disyaratkan pendaftar tidak bertato dan harus menyertakan bukti negetif tes HIV.

Penularan HIV "Eksklusif "

Bisa dikatakan penularan HIV itu cukup eksklusif alias tidak mudah menular dengan cara-cara biasa.

Leonardo dari Yayasan Intan Maharani mengungkapkan penyebaran HIV tidak akan terjadi karena salaman, bergantian makan dan minum.

Bahkan ciuman pun tidak akan menularkan HIV, kata dia.

Peneluran HIV sampai kini bisa dipastikan karena melalui hubungan seks tanpa kondom, menyusui dan transfusi darah serta jarum suntik.

"Jadi HIV tidak bisa menular hanya karena bersalaman atau ngobrol saja," kata dia.

Subkoordinator Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Palembang, Asnawi dalam kesempatan  tersebut mengungkapkan hingga Oktober sebanyak 1.600 orang warga Kota Palembang terdata sebagai penyintas HIV.

Dari sekitar 1.600 tersebut 900 orang mengakses pengobatan atau mengonsumsi ARV secara rutin, kata dia.

Asnawi menjelaskan sebanyak 42 puskesmas di Kota Palembang telah melayani VCT atau layanan konseling dan tes HIV.

Selain itu, ada 10 rumah sakit di kota pempek juga melayani VCT, tambah dia.

Jalan Panjang Penanganan

Direktur Yayasan Intan Maharani, Syahri penanganan HIV di Kota Palembang telah berjalan lebih dari 20 tahun.

Sebelum tahun 2006, pengobatan HIV sangat mahal, bahkan untuk membeli ARV pun saat itu harganya bisa mencapa Rp 2  juta untuk satu bulan.

Begitu juga saat melakukan VCT tarif yang ditetapkan rumah sakit mencapai Rp 62.500 sekali periksa. Kini dapat diakses dengan gratis.

Awalnya, penyintas didominasi pengguna narkoba jarum suntik (Penasun) namun fenomena terkini, penyandang HIV kini kasusnya meluas diantaranya ibu ramah tangga (IRT), anak-anak  dan yang paling banyak lelaki seks lelaki (LSL).

Dimana khusus LSL ini, biasanya mereka juga memiliki istri dan kerap kali tidak jujur kepada pasangan terkait dengan statusnya sebagai penyintas HIV.

Akibatnya, semakin lama makin banyak temuan kasus HIV yang dialami IRT dan anak-anak.

Guna melakukan penangganan terhadap kelompok marginal terutama di bidang kesehatan yang bukan hanya HIV tetapi juga TB penting sekali kolaborasi organisasi masyarakat sipil.

Karena itu, Syahri menambahkan kini sudah dibentuk Sriwijaya Forum Care TB-HIV- Napza  yang menjadi wadah untuk saling berkomunikasi dan membangun program bersama demi kepentingan terwujudnya kesetaraan pada semua bidang.

PKBI Sumut sebelumnya telah menyelanggarakan Workshop Penyusunan RoadMap Advokasi, pada 25-26 November 2022.

Selanjutnya, akan diselenggarakan pula Diskusi Publik Bersama Pakar, pada Sabtu (3 Desember).

Dilanjutkan, peringatan Hari AIDS Se-dunia dengan 1.000 lilin di kawasan Monpera Palembang, Sabtu malam.(ert)


Related Stories