Bivitri Susanti: Kata Persetujuan dan Kekerasan Kunci RUU TPKS, jangan Dihapus

RUU TPKS (ist)

JAKARTA, WongKito.co - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengungkapkan kata persetujuan dan kekerasan merupakan kunci dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sehingga jangan sampai dihapus.

"Namun, kekinian justru dua kata tersebut terancam dihapus oleh sejumlah anggota legislatif yang tentunya tidak berpihak pada korban kekerasan seksual," kata dia salam konfrensi pers Aliansi Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual " Proses Legislasi RUU TPKS dalam Ancaman", Rabu (24/11/2021).

Dia menegaskan kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kampus, tetapi juga di rumah dan sekolah serta tempat-tempat lainnya.

Karena itu, penting sekali untuk segera melanjutkan proses pembahasan terhadap RUU TPKS yang kini baru sampai pada tahap penyusunan, tegas dia.

Bivitri berharap RUU TPKS dapat diketuk pada akhir masa persidangan DPR RI, medio Desember nanti sehingga menjadi RUU iniatif DPR kemudian dibahas pada tahun depan.

Kenapa kata persetujuan dan seksual menjadi kata kunci, Bivitri menambahkan karena dua kata ini penting untuk para korban kekerasan seksual dalam upaya membela dan memulihkan mereka. Saat ini, dua kata tersebut sedang diutak-atik untuk dihapuskan, tambah dia.

Ia mengatakan UU TPKS sangat dibutuhkan.

"Kita sangat membutuhkan dan kini banyak yang  menghambat kelanjutan proses RUU TPKS menjadi UU," ujar dia.

Dukung RUU TPKS 

Sementara perwakilan LBH APIK, Ratna Batara Munti mengatakan banyak hal yang tidak berkaitan sebenarnya dimasukan dalam upaya penyusunan RUU TPKS, terlihat dalam setiap sidang-sidang terutama dengan pengantian judul undang-undang.

Dimana, adanya konsep yang tidak termasuk dalam kekerasan seksual tetapi justru dimasukan, seperti  perzinahan. Hal itu, berpotensi mengriminalkan korban, saksi, stigma suka sama suka, dilaporkan oleh korban, apalagi dak diproses, kasus tidak diproses gagal dan mendapatkan saksi sebagai pelaku perzinahan, tambah dia.

Ratra menjelaskan rumusan RUU TPKS tersebut tidak seketika dibuat dan diajukan tetapi memang telah melalui berbagai riset dan tentunya langsung dari korban kekerasan seksual.

"Kekerasan seksual terjadi biasanya karena ada paksaan, ancaman dan kekeraasan, penyalahgunaan kekuasaan," kata dia.

Sementara Vivi Widyanti dari Perempuan Mahardika mengatakan Jaringan Pembela Hak
Perempuan Korban Kekerasan Seksual menyampaikan sikap kepada DPR, khususnya
Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk: 
 

1. Mempertahankan judul RUU saat ini, yakni RUU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (RUU TPKS). 


2. Menjaga dan mengamankan RUU TPKS agar tetap pada tujuan dan maksud
disusunnya RUU ini, yakni sebagai aturan khusus yang berfokus pada isu
kekerasan seksual, dan bukan isu lain di luar konteks kekerasan seksual, seperti
isu seks bebas atau isu asusila. 
 

3. Menghindarkan potensi kriminalisasi terhadap korban dengan menutup upayaupaya pihak tertentu yang berambisi mencampuradukkan isu zina dan sejenisnya
dengan kekerasan seksual. 
 

4. Tidak hanya menitikberatkan RUU ini pada pencegahan, tetapi juga menguatkan
substansi RUU TPKS di semua aspeknya, khususnya pemidanaan, penanganan,
dan layanan terpadu untuk pemulihan korban, sehingga RUU TPKS bisa
diimplementasikan sesuai dengan harapan dan tujuan penyusun.

"Kami mengimbau agar semua pihak dapat mendukung dan mengawal
pembahasan RUU TPKS di Baleg saat ini, hingga RUU dapat disahkan di DPR,
dengan muatan substansi yang tidak keluar dari maksud dan tujuannya," kata Vivi.(*)

Editor: Nila Ertina

Related Stories