KatoKito
Cacingan Bukan Penyakit Orang Miskin, Simak Penjelasannya
Oleh: Annisa Juni Arni, Bunga Cyntia Bella, Raykhan Yoga Pratama, Shella Leni Nathania, Ulfatun Nikmah
KEKINIAN, cacingan masih dianggap sebagai suatu masalah yang terkadang dipandang sepele oleh mayoritas masyarakat. Beberapa orang sering mengaitkan penyakit ini dengan lingkungan yang kotor dan juga sanitasi yang buruk, sehingga kebanyakan muncul stigma dari masyarakat bahwa penyakit ini hanya dapat menjangkit orang-orang dengan ekonomi menengah ke bawah saja.
Padahal penyakit ini bisa menyerang siapa saja tanpa memandang kelas ekonomi seseorang.
Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan cacingan sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus.
Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichiura dan Ancylostoma duodenale (Margono 2006).
Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk.
Penyakit ini merupakan penyakit infeksi paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai golongan usia (WHO 2011).
Penyakit cacingan atau kecacingan adalah suatu penyakit infeksi yang bisa disebabkan oleh hewan parasit yaitu cacing dan biasa menetap di dalam usus manusia.
Biasanya, telur cacing dapat masuk melalui mulut dan dapat bertahan hidup dengan mengambil sari-sari makanan yang masuk ke tubuh manusia.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) 2016, lebih dari 1,5 miliar orang atau sekitar 24% penduduk dunia terinfeksi STH. Angka kejadian terbesar berada di sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan AsiaTimur. Menyebutkan, 55 juta anak Indonesia masih membutuhkan tindakan pencegahan cacingan.
Gejala dan Dampak Cacingan
Cacingan tentunya memiliki gejala dan dampak dalam penyebaran penyakitnya. Dikutip dari laman alodokter cacingan dapat menyebabkan berbagai macam gejala, mulai dari rasa gatal di anus atau vagina, gangguan organ pencernaan, seperti diare, mual, muntah hingga penurunan berat badan.
Bahkan dalam beberapa kasus, terdapat cacing gelang yang biasanya hidup bersaing untuk mendapatkan vitamin dari usus yang akhirnya bisa menyebabkan si kecil mengalami gangguan penyerapan nutrisi.
Lama-kelamaan anak bisa kurang gizi dan mengalami gangguan perkembangan secara fisik dan mental, bahkan dalam kondisi parah bisa menyebabkan stunting pada anak.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.
Menurut Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes selaku Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan keadaan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya.
Beliau juga menjelaskan bahwa masalah stunting ini akan mempengaruhi daya tahan tubuh anak. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif.
Selain pada kesehatan anak, stunting juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Balita stunting di masa yang akan datang juga akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Dilihat dari data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk kedalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara atau South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%. Hal ini menjadikan kasus balita stunting menjadi masalah utama yang dihadapi Indonesia.
Stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya, seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali. Target penurunan stunting di Indonesia sudah ditetapkan sebesar 14% pada tahun 2024. Saat ini kasus stunting masih di angka 24%.
Benarkah Cacingan bisa menyebabkan stunting pada anak?
Meski infeksi cacing bisa menyerang usia berapa pun, anak-anak masih memiliki risiko paling tinggi terserang penyakit ini. Sebab, anak-anak masih suka bermain di segala tempat, termasuk yang bisa jadi terkontaminasi berbagai bibit penyakit.
Ditambah lagi, karena sistem kekebalan tubuh anak belum sempurna, anak-anak jadi rentan terserang penyakit. Ada berbagai risiko kesehatan yang bisa menghantui saat anak cacingan. Salah satunya gangguan pertumbuhan yang menyebabkan tubuh anak lebih pendek ketimbang teman-teman seusianya, ini disebut stunting.
Menurut Public Library of Science, ada dua macam dampak yang ditimbulkan dari cacingan yang menyerang anak-anak, yakni anemia dan stunting. Penyebab anemia di antaranya karena kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi, folat, dan vitamin B12.
Sementara pada stunting, masalah mulai ketika cacing menyerap nutrisi pada tubuh anak. Hal ini akan menyebabkan nafsu makan anak menurun, sehingga lama kelamaan anak mungkin saja mengalami masalah kekurangan gizi.
Jika masalah gizi ini tidak ditangani dengan segera, maka pertumbuhan fisik anak bisa terpengaruh. Inilah yang akhirnya jadi penyebab stunting.
Lebih jauh, kondisi ini tentu akan melemahkan fungsi otak anak, meningkatkan risiko terserang penyakit infeksi, hingga membuatnya tidak selincah anak-anak lain seusianya.
Penyakit cacingan, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dengan tingkat prevalensi hingga 28,21%. Angka tersebut belum mewakili banyak daerah di Indonesia sehingga diperkirakan potensi prevalensi di atas 50%.
Mengapa cacingan perlu menjadi perhatian?
Cacingan yang terjadi berulang kali bisa berujung pada gangguan gizi pada anak. Anak yang kurang gizi inilah yang dikhawatirkan dapat mengalami stunting.
Hubungan antara cacingan dan stunting dimulai saat cacing menyerap nutrisi pada tubuh si kecil dan menyebabkan nafsu makan anak menurun. Beberapa cacing, seperti cacing gelang, bersaing untuk mendapatkan vitamin dari usus yang akhirnya bisa menyebabkan si kecil mengalami gangguan penyerapan nutrisi.
Lama-kelamaan anak bisa kurang gizi dan mengalami gangguan perkembangan secara fisik dan mental yang menyebabkan stunting.
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Makanan yang memenuhi gizi tubuh, umumnya membawa ke status gizi memuaskan.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) Tahun 2007 menunjukkan bahwa Prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Kurus (laki-laki) adalah 13,3%, sedangkan prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Kurus (Perempuan) adalah 10,9%.
Sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Anak Usia Sekolah Kurus diatas prevalensi nasional, yaitu di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Maluku.
Kemudian RISKESDAS Tahun 2013 menunjukkan prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah 11.2 persen, terdiridari 4,0 persen sangat kurus dan 7,2 persen kurus.
Prevalensi sangat kurus paling rendah di Bali (2,3%) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (7,8%). Dari hasil RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat penurunan prevalensi kurus daritahun 2007 ketahun 2013.3
Kelompok anak usia sekolah dasar adalah salah satu kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi, oleh sebab itu indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan melalui pengukuran status gizi.
Kurang gizi pada anak tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan keluarga. Salah satu penyakit yang menyebabkan anak mengalami kekurangan gizi adalah penyakit kecacingan.
Cacingan secara kumulatif pada manusia dapat menimbulkan kehilangan zat gizi berupa karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga dapat menurunkan produktivitas kerja.
Kecacingan juga dapat menghambat perkembangan fisik. Kecacingan juga dapat menyebabkan menurunnya ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya. Penyakit cacingan dapat menyebabkan kekurangan gizi karena semua nutrisi diserap oleh cacing akan membuat perkembangan mental dan fisik anak menjadi terganggu, membua tanak menjadi mudah sakit karena penurunan sistem imunitasnya, stunting atau fisik anak menjadi lebih pendek dan kecil dari teman seusianya, berkurangnya kecerdasaan anak serta pada beberapa kasus juga dapat menyebabkan kematian pada anak.
Kematian anak akibat cacingan biasanya dikarenakan sudah terlalu banyaknya cacing di dalam tubuh sikecil, hingga membuat cacing berjelajah ke organ tubuh yang lain seperti paru-paru dan lainnya.
Cara Mencegah Cacingan Pada Anak
Kelompok anak - anak adalah kelompok yang paling rentang terkena penyakit cacingan karena mereka sering bermain di luar rumah lingkungan yang berpasir, tanah, atau lumpur dan lagi sistem imunnya yang lemah membuat anak - anak tambah berisiko mengalami cacingan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 10 persen orang-orang di negara berkembang terinfeksi cacing usus karena tingkat sanitasi yang rendah serta air minum yang menjaga kebersihan merupakan salah satu cara mencegah cacingan.
Perilaku ini dapat kita lakukan dan terapkan dalam keluarga, yaitu rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah menggunakan toilet, masuk ke rumah, sebelum menyiapkan makanan, serta sebelum dan sesudah makan, hindari budaya mengonsumsi daging dan ikan yang mentah, cuci bersih semua sayur dan buah yang ingin dimakan mentah, menjaga kebersihan alat makan, memperhatikan kebersihan tempat bermain anak, menggunakan alas kaki saat pergi ke luar rumah, terutama saat bermain di tanah atau pasir, dan rutin mengonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali untuk pencegahan.
*Mahasiswa S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya