Ragam
Catatan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu 2024, Negara tidak Hadir Beri Perlindungan
JAKARTA, Wongkito.co - Selama tahan Pemilu 2024, Kalyamitra dan sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) mencatat perempuan dan kelompok rentan lainnya menjadi korban kekerasan berbasis gender. Dengan kenyataan bahwa negera tidak hadir dalam memberikan perlindungan kepada korban.
Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Ika Agustina mengungkapkan kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 di Indonesia tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga merusak integritas demokrasi.
"Salah satu akibat dari kekerasan berbasis gender tersebut adalah menghambat partisipasi perempuan dalam politik, bahkan hasil kajian kami menunjukan membuat perempuan mundur untuk berkontestasi dalam pemilu," kata dia pada siaran pers yang dilangsungkan secara hybrid, Senin (24/6/2024).
Baca Juga:
- Intip Yuk Kisah Permata Biru Terkutuk
- Dukung Pelanggan Jalani Gaya Hidup Sehat di Rumah, Telkomsel Hadirkan Layanan Aplikasi Fita di IndiHome TV
- Siap-Siap Saksikan Prambanan Jazz 2024, Cek Lineup dan Harga Tiketnya
Ia menjelaskan kondisi tersebut tentunya kontraproduktif dengan upaya gerakan perempuan untuk mendorong peningkatan partisipasi perempuan yang sampai kini masih belum menyentuh 30%.
Karena itu, pemerintah perlu membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu untuk menciptakan iklim pemilu yang adil, inklusif, dan bebas kekerasan," kata dia lagi.
Menurut dia, kajian terkait kekerasan berbasis gender tersebut hasil dari kajian pemantauan pada sejumlah wilayah Aceh, Makasar, Ambon, dan DKI Jakarta.
Adapun, bentuk kekerasan berbasis gender, adalah termasuk ancaman fisik, psikologis, dan online yang dialami oleh perempuan dan kelompok rentan, baik sebagai pemilih, kandidat, penyelenggara pemilu, jurnalis dan pendamping pemilu, tambah dia.
Kalyanamitra bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang terdiri dari Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Asosiasi APIK, PEKKA, LAPPAN Ambon, Flower Aceh, Perludem, dan SAFEnet melakukan pendokumentasian dan
pemantauan kekerasan berbasis gender di masa pemilu 2004 dalam rentang waktu Februari-Mei 2024.
Perempuan dan kelompok rentan lainnya menghadapi berbagai bentuk kekerasan berbasis gender dalam partisipasinya di dunia politik dan terus meningkat eskalasinya mulai dari pelecehan, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual di publik maupun di media massa dan sosial.
Hasil pemantauan menemukan bahwa kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan dan kelompok rentan dalam bentuk ancaman fisik, pelecehan verbal, kekerasan seksual, ujaran kebencian, ungkapan seksis dan misoginis, utamanya di masa sebelum pemilu yang
menciptakan rasa takut serta mempengaruhi kinerja mereka sebagai kandidat yang berkontestasi dalam pemilu.
Media sosial pun menjadi alat brutal yang dipakai untuk menyerang kandidat perempuan dalam bentuk serangan personal, fitnah, dan pelecehan seksual yang bertujuan untuk mendiskreditkan dan membungkam hak politik perempuan.
Sementara itu, SAFEnet menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender dalam pemilu juga merenggut hak konstitusi seseorang dalam berpolitik di media sosial.
Penyebaran konten intim tanpa izin terjadi sebelum Pemilu 2024 kepada Bacaleg di daerah Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut menyebabkan bacaleg batal maju menjadi caleg hingga mengundurkan diri dari platform, kata Nabillah Saputri dari SAFEnet.
Upaya intimidatif juga terjadi pada komentar yang merendahkan di hampir semua platform media sosial.
Baca Juga:
- Yuk Buat Dendeng Daging Sapi Balado Hijau
- Alami Kerugian hingga Rp 1,82 Triliun, ini Penjelasan Bos Kimia Farma
- Permen ESDM No 10 tahun 2023 Dianggap Menguntungkan Produsen Nikel
Narasi merendahkan terjadi ketika perempuan mendukung salah satu pasangan calon (paslon) tertentu. Sebelum pemilu juga terjadi diskriminasi dengan narasi tertentu. Kelompok LGBTQI menjadi sasaran narasi yang kuat untuk mendokrak elektabilitas salah
satu paslon.
Dalam rangka mencegah kekerasan berbasis gender di masa pemilu tidak berulang serta memastikan adanya perlindungan hak politik bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya, kami mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengambil tindakan nyata dalam
mengatasi masalah kekerasan berbasis gender dalam Pemilu:
1. Pemerintah harus menciptakan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu
2. Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan berbasis gender dalam pemilu dan memastikan adanya sanksi yang tegas
3. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemilu yang inklusif dan bebas dari kekerasan, serta mendukung korban kekerasan berbasis gender
#PemiluBebasKBG.(ril)