Cerita Warga Pagar Alam, Berkat PLTMH kini tak Lagi Langganan Biarpet

Kota Pagar Alam saat malam hari, dari ketinggian 1336 mdpl Gunung Dempo (Foto WongKito.co/Hakim)

JARAK yang ditempuh dari pusat Kota Pagar Alam ke lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) Endikat yang masuk ke wilayah Kabupaten Lahat, tepatnya di Desa Singapure membutuhkan waktu sekitar 37 menit menggunakan kendaraan roda empat untuk tiba di lokasi.

Laiknya, perkampungan di kawasan pegunungan permukiman yang dilalui merupakan rumah-rumah penduduk yang khas, berbahan kayu dengan tiang atau biasa disebut rumah tinggi oleh warga lokal.

Tak hany perkampungan penduduk, menuju lokasi PLTMH juga melewati kebun, kolam, danau dan tentunya sejumlah aliran sungai, diantaranya Sungai Selangis, Sungai Lematang dan Sungai Lempaung.

Mendekati lokasi pembangkit, jalan pun menjadi sempit hanya bisa dilalui sebuah mobil dan berada di kawasan perbukitan yang salah satu bagian tepi jalannya merupakan jurang. Tak adalagi rumah-rumah penduduk karena sudah memasuki kawasan hutan.

Tiba di area PLTMH Endikat milik PT Green Lahat, disambut dengan hamparan batu-batu besar dan air jernih yang tampak terlihat debitnya sedang berkurang serta pekerja melakukan aktivitas galian C.

"Aku pertama kali keliling lokasi ini, merasa seperti bukan di daerah kita," kata Wawan salah seorang jurnalis yang bertugas di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, saat berkunjung ke area pembangkit listrik alternatif tersebut, belum lama ini.

Baca Juga:

Iya mengakui, awalnya belum sama sekali mengetahui informasi terkait beroperasinya PLTMH di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Endikat tersebut.

Sampai akhirnya, kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Kota Pagar Alam, pada Senin (24/1/2022) yang diantaranya saat berpidato mengungkapkan rasa bangga karena kini kota yang berada di kaki Gunung Dempo tersebut telah dialiri listrik dari energi baru terbarukan (EBT) yang berasal dari PLTMH Endikat.

Sebagai jurnalis, ia mengaku segera mencari tahu bagaimana caranya untuk bisa melakukan reportase dengan mendatangi lokasi PLTMH milik perusahaan swasta tersebut.

Sampai akhirnya, ia pun bertemu dengan humas perusahaan dan berkesempatan diajak keliling lokasi PLTMH.

"Lokasi PLTMH yang berada di antara dua bukit dan sangat luas membuat aku berpikir ini bukan di Pagar Alam ataupun di Lahat," kata dia lagi.

Bendungan besar, aliran air yang tertata, pipa berukuran raksasa dan turbin-turbin pembangkit listrik menjadi pemandangan  baru di tengah hutan tersebut. Tak  hanya itu, di lokasi PLTMH Endikat juga terdapat mess atau tempat tinggal karyawan perusahaan tersebut.

Muslimah (60) warga Pagar Alam mengakui kini tidak pernah terjadi biarpet atau pemadaman bergilir yang dulu kalau padam bisa semalam atau bahkan pernah sampai 24 jam.

Beberapa tahun lalu, ia bercerita kalau giliran ada pemadaman listrik paling cepat berlangsung 3 jam baru kembali menyala.

Namun, kini tidak adalagi pemadaman serupa.

"Kalaupun padam paling  sekejap saja, dan paling lama sekitar 5 menit,"  kata dia.

Ia mengungkapkan sangat merasakan perbedaan pelayanan listrik PLN beberapa tahun ini.

Untuk tarif listrik atau bayarannya pun tidak berubah, setiap bulan berkisar Rp 70 ribu bahkan selama pandemi COVID-19 lalu gratis membayar beban pemakaian listrik karena daya listrik di rumah hanya 450 watt, tambahnya.

 

100 persen EBT

Operasional PLTMH Endikat, di wilayah DAS Desa Singapure Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan tersebut diawali dengan penandatanganan kontrak perjanjian jual beli listrik atau PPA dan kontrak pembelian excess power oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) dengan pengembang pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tersebar di Regional Sumatera dengan total kapasitas 115,6 megawatt (MW).

Penandatanganan nota kesepahaman kala itu, pada Senin (30/5/2016) di Jakarta menjadi langkah penting bagi pemerintah untuk mencapai target transisi energi berkelanjutan hingga 25 persen pada tahun 2025.

Selain pembangkit listrik di Sumatera Selatan, sejumlah pengembang dari provinsi lain yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu dan Lampung serta Bangka Belitung juga termasuk dalam PPA dengan PT PLN tersebut.

PLN mengungkapkan beban listrik di Sumatera mencapai 5.250 MW. Hingga kini energi listrik mayoritas dipasok dari pembangkit listrik batu bara dan gas yang mencapai lebih dari 60 persen.

Team Leader Pelayanan Administrasi ULP PLN Kota Pagar Alam, Wella Datika mengakui sejak bergantinya pasokan listrik dari pembangkit batu bara atau PLTU ke PLTMH layananan kepada pelanggan lebih optimal.

"Sekarang ini tidak adalagi biarpet dengan beban puncak berkisar 7 Megawatt (MW), kalaupun ada pemadaman biasanya karena memang sedang ada pekerjaan pemeliharaan jaringan dan tidak serentak pada semua pelanggan," kata dia ketika dijumpai di Kantor PLN Pagar Alam, Kamis (19/10/2023).

Ia menjelaskan kekinian PLN ULP Pagar Alam melayani sebanyak 64.173 pelanggan yang mayoritas merupakan rumah tangga.

"Kalau dulu kan pasokan listrik ke Pagar Alam berasal dari sistem interkoneksi listrik Sumatera dari pembangkit-pembangkit batu bara yang terdekat di Kabupaten Lahat sehingga saat beban puncak hampir terjadi penurunan pasokan."

"Hampir setiap waktu kami mendapat komplain dari pelanggan, itu cerita dulu, kini sejak beralihnya suplai listrik ke PLTMH masalah biarpet dan kekurangan daya saat beban puncak sudah dapat teratasi," ujar dia. 

Produksi 10 MW

Berlokasi di wilayah DAS Endikat, PLTMH milik perusahaan swasta PT Green Lahat yang tergabung dalam konsorsium Independent Power Producer (IPP) beroperasi sejak tahun 2015, lokasinya tidak jauh dari kawasan yang termasuk dalam wilayah Bukit Barisan Sumatera, tepatnya Bukit Jambul Gunung Patah, di Desa Singapure, Kota Agung, Kabupaten Lahat.

Kepala Desa Singapure, Arsito mengungkapkan PT Green Lahat beroperasi sekitar 300 hingga 400 meter dari hutan lindung di kawasan tersebut.

"Area pembangkit itu tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah tapi memang jaraknya lumayan dekat," kata dia ketika diwawancara pada Rabu (25/10/2023).

Ia bercerita meskipun secara geografis dan administratif Desa Singapure berada di Kabupaten Lahat, tetapi  berbatasan langsung dengan Desa Bandar yang masuk wilayah Kota Pagar Alam, karenanya selama ini kondisi pasokan energi listrik di daerah tersebut persis dengan pelanggan PLN di kawasan Lembah Dempo alias Pagar Alam.

Seperti di ketahui, ada dua PLTU beroperasi di Kabupaten Lahat yaitu PLTU Keban Agung 2x135 MW dan Banjar Sari 2x110 MW. 

Arsito menambahkan sejak mendapatkan pasokan listrik dari PLTMH Endikat, desa-desa di sekitar pembangkit tersebut tidak lagi terdampak biarpet. Listrik menyala selama 24 jam.

Selain Desa Singapure, setidaknya ada lima desa lainnya yang menerima suplai listrik dari PT Green Lahat yaitu Desa Bangke, Desa Tebat Langsat, Desa Gunung Liwat dan Desa Kebun  Jati serta Desa Tanjung Raman yang semuanya masuk wilayah Kecamatan Kota Agung.

PLTMH Endikat beroperasi di kawasan DAS dengan luas 284,32 kilometer persegi dengan panjang sungai 41 kilometer dan rata-rata curah hujan tahunan 222,17 milimeter serta debit air rata-rata 13.217 meter kubik per sekon dengan head netto sebesar 89,21 meter. 

Humas PT Green Lahat, Victor Rogo menjelaskan sebenarnya perusahaan tersebut telah mengoperasikan dua PLTMH yaitu PLTMH Lahat I dan PLTMH Lahat II di area yang berjarak ratusan meter saja di DAS Endikat.

Tetapi PLTMH Endikat I atau Lahat I telah beroperasi lebih dahulu dengan kapasitas 10 MW, dimana 70 persen atau 7 MW didistribusikan ke Kota Pagar Alam dan sisanya listrik disalurkan untuk Kabupaten Lahat. 

Penyaluran dilakukan ke Gardu Hubung Lahat dengan panjang jaringan mencapai 55 kilometer terinterkoneksi dengan gardu induk Lahat. 

Sedangkan PLTMH II, mulai dibangun pada tahun 2022, dengan produksi listrik mencapai 8 MW dan secara khusus 100 persen disalurkan untuk pelanggan PLN di wilayah Kabupaten Lahat.

Victor yang merupakan warga Desa Singapure mengatakan produksi energi listrik dengan manfaatkan air tersebut selama ini sangat tergantung dengan debit air, tetapi sejauh ini bisa dipastikan debit air sangat stabil.

Hal itu, tentunya tidak lepas dari tahapan pembangunan proyek PLTMH yang telah berlangsung sejak tahun 2010.

Dimulai dari tahap perencanaan, studi kelayakan, perancangan detail, konstruksi dan hingga sekarang tahap pemeliharaan yang terus dilakukan sesuai standar dan ketentuan berlaku.

Di sisi lain, ia juga menjelaskan aspek lingkungan menjadi salah satu konsentrasi yang dilakukan perusahaan sehingga bisa dipastikan operasional PT Green Lahat tidak berdampak pada kerusakan lingkungan.

"Setiap pohon yang terpaksa ditebang, langsung kami ganti dengan menanam pohon baru, itu konsekuensi  tetap menjaga lingkungan operasional pembangkit listrik bertenaga air," tegas dia.

Tak hanya itu, warga lokal yang bermukim di desa-desa sekitar PT Green Lahat juga direkrut untuk bekerja di perusahaan tersebut. "Termasuk saya," kata Victor.

Senada, Kepala Desa Singapure, Arsito menambahkan bahwa 80 persen pekerja di perusahaan milik swasta tersebut berasal dari desa sekitar PLTMH Endikat.

"Tentunya, kami sangat merasakan kehadiran perusahaan tersebut tak hanya listrik yang tidak biarpet lagi, tapi juga warga dipekerjakan," kata dia.

Belum Transparan

Transisi energi dari yang berbahan  bakar fosil menjadi energi baru terbarukan mendesak untuk dilakukan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Mengutip Data United Nations Climate Action, adanya gas rumah kaca (GRK) yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas matahari penyebab utamanya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, berupa  batu bara, minyak, dan gas.

Emisi GRK berdampak pada krisis iklim yang terjadi secara global, diantaranya suhu menjadi lebih panas,  cuaca sulit diprediksi akibatnya ancaman bencana hidrometeorologi sulit untuk diantisipasi.

Secara global, pembakaran bahan bakar fosil memroduksi emisi sekitar 34 miliar ton (Gt) per tahun. 

Dari angka tersebut, emisi tertinggi berasal dari pembakaran batu bara, lalu 35 persen minyak bumi, lalu sekitar 20 persen dari gas.

Sedikit berbeda dengan peta dunia, di Indonesia penyumbang GRK terbesar adalah bidang kehutanan dan tata guna lahan (Forest & Other Lans Use/FOLU) sedangkan energi bahan bakar fosil di posisi kedua, tetapi tren menunjukkan bahwa kontribusi dari sektor energi terhadap emisi terus meningkat.

Laporan Pembaruan Ketiga Indonesia kepada UNFCCC tahun 2021, total emisi GRK untuk tiga GRK utama (CO2, CH4 dan N2O) mencapai 1.845.067 GgCO2e. Sektor penyumbang utama adalah AFOLU, termasuk kebakaran lahan gambut (50,13%) yang diikuti oleh energi (34,49%), limbah (6,52%), dan IPPU (3,15%). Emisi GRK (setara CO2) tersebar secara tidak merata antara ketiga gas tersebut, yakni masing-masing sebesar 85,51%, 10,86% dan 3,62% untuk CO2, CH4 dan N2O.

Penggunaan bakar bakar bakar fosil sampai kini, dipastikan digunakan untuk kebutuhan menghasilkan listrik, semakin tinggi ketika kampanye penggunaan kendaraan listrik terus digaungkan dengan beragam insentif yang disiapkan pemerintah. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga 2023 Indonesia memiliki 253 PLTU.  Ratusan PLTU tersebut tersebar di Nusantara, dimana sebanyak 26 unit PLTU beroperasi di Pulau Kalimantan dan Banten serta Jawa Timur memiliki masing-masing 22 unit PLTU.

Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sriwijaya (Unsri) DR. Muhammad Subardin mengatakan transisi energi menjadi energi baru terbarukan atau energi hijau menjadi kebutuhan mendesak, tetapi tetap saja dalam setiap upaya membangun infrastruktur harus mengedepankan aspek kelestarian lingkungan, tata kelola yang akuntabel, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal.

"Jangan sampai menghasilkan energi hijau, tapi prosesnya malah merusak lingkungan, karenanya kajian lingkungan yang komprehensif menjadi mutlak," kata dia ketika diwawancarai, Senin (23/10/2023).

Ia mencontohkan pembangunan PLTMH di kawasan DAS Endikat tersebut tentunya harus dipastikan tidak merusak bentang alam.

Diakuinya, bisa saja bentang alam tampak tidak mengalami kerusakan tetapi tetap saja ada dampak permasalahan lingkungan meskipun tergolong mikro. Seperti menganggu habitat ikan yang biasanya memijah atau berkembang biak harus ke bagian hulu sungai tetapi karena dibuat bendungan ikan tidak bisa lagi ke hulu.

"Itu contoh yang paling mikro, ketika sungai berubah fungsi," tegas dia.

Apalagi, jika terjadi perubahan struktur hutan atau DAS menjadi area terbuka atau kawasan baru. Tentunya, secara kasat mata berdampak pada tutupan hutan di kawasan tersebut.

Seperti diketahui,  pembukaan lahan hutan  menjadi penyumbang tertinggi emisi GRK di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, EBT energi yang bersumber dari alam yang dapat digunakan kembali dengan bebas, dapat diperbarui terus-menerus, dan tak terbatas, contohnya angin, air, matahari, gelombang, dan pasang surut air laut.

Undang-undang energi juga mengatur antara lain, hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energy.

"Idealnya, EBT dibangun dengan melibatkan komunitas bukan berskala industri," kata Subardin lagi.

Tak hanya itu, produksi energi hijau juga hendaknya berbiaya terjangkau dengan teknologi yang murah, tambah dia.

Kembali ia mencontohkan masyarakat di daerah yang perbatasan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat di kawasan Rantau Dedap, Desa Segamit telah secara komunal menghasilkan energi listrik menggunakan kincir air.

Dimana, setiap kelompok beranggotakan 10 sampai 25 orang warga desa dan terdapat 10 unit turbin yang hingga kini masih beroperasi optimal. Turbin tersebut rata-rata menghasilkan daya listrik mulai dari 1.000 watt hingga 10.000 watt tergantung besar turbin yang dioperasikan masyarakat.

"Praktik itu, tentu menjadi contoh ril bahwa produksi energi listrik berbasis komunitas dan murah telah dilakukan masyarakat yang patut diapresiasi pemerintah dan diberikan dukungan sehingga kegiatan serupa bisa dilaksanakan di daerah lain," ujar dia.

Faktanya, pemerintah masih memandang sebelah mata karena  justru menghadirkan energi hijau berbasis industri yang notabene berbiaya mahal.

Hasil penilikan pun, hingga kini belum ada transparansi terhadap aktivitas perusahaan penghasil EBT yang menyuplai energi listrik ke PLN di Sumatera Selatan.

Di era keterbukaan informasi ini, tambah Subardin perusahaan wajib memublikasikan aktivitas usaha, termasuk investasi dari mana, besaran investasi termasuk juga laporan neraca perusahaan secara berkala.

Guna meminimalisir eksternalitas negatif, menurut dia tidak ada kata terlambat bagi perusahaan dan pemerintah dalam menyampaikan keterbukaan informasi publik.

Ia menyarankan agar perusahaan yang berkolaborasi dengan PLN mengajak kaum profesional, akademisi, masyarakat, media membangun komunikasi secara umum untuk kepentingan publik.

Pengawasan

Kepala Bidang Energi, Dinas ESDM Provinsi Sumatera Selatan, Aryansyah mengungkapkan konversi energi berbahan bakar fosil menjadi salah satu program pemerintah pusat yang diimplementasikan ke daerah-daerah.

Beroperasinya PLTMH I dan PLTMH II di Sungai Endikat, Kabupaten Lahat itu menjadi bagian dari program transisi energi yang dinisiasi pemerintah pusat.

Selain itu, ada juga proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 40 MW berlokasi di Bendungan Tiga Dihaji, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan

Program transisi energi tersebut dilaksanakan oleh pemerintah pusat, daerah menjadi sasaran atau lokasi pembangunan dan pengoperasian EBT, kata dia.

"Kami tetap  melakukan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan EBT," kata dia lagi.

Ia mencontohkan pihaknya memastikan penggunaan bahan bakar minyak untuk industri pada alat tranportasi perusahaan bukan minyak subsidi.

Kemudian yang pasti ia mengatak juga melakukan pembinaan terhadap semua yang berkaitan dengan aktivitas produksi EBT perusahaan tersebut.(Nila Ertina FM)

Editor: Nila Ertina

Related Stories