Cukup 5 Bulan Bahas RUU Omnibus Law, Terbitkan Undang-Undang tak Berpihak pada Rakyat Namun Menyenangkan Pengusaha

Aksi buruh di DPR RI

JAKARTA, WongKito.co – Di tengah desakan penolakan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, Senin (5/10) sore akhirnya resmi menjadi Undang-Undang usai disahkan melalui Sidang Paripurna DPR RI.

Setelah melalui pandangan fraksi, pimpinan sidang saat itu, Azis Syamsudin menegaskan untuk mengambil suara berdasarkan pandangan fraksi.

Ia menyatakan terdapat enam fraksi menerima dan satu fraksi menerima dengan catatan, yakni Fraksi PAN. Sementara dua fraksi menolak, yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS.

“Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat peripurna ini, apa bisa disepakati?” tanya Azis yang juga menjabat Wakil Ketua DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip dari TrenAsia.com, jaringan WongKito.co.

“Setujuuu,” jawab mayoritas anggota fraksi yang hadir dalam rapat.

Azis pun mengetuk palu tanda disepakatinya RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU.


Mewakili pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyambut baik hal tersebut. Ia lantas memberikan apresiasi kepada seluruh anggota fraksi yang telah melakukan proses pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini.

“Alhamdulillah sore ini Undang-undang tersebut diketok oleh DPR,” tuturnya.

Ia menjelaskan, telah dilakukan 63 kali rapat pembahasan (56 kali Rapat Panja, 6 kali Rapat Tim Mus/ Tim Sin dan 1 kali Rapat Kerja), yang dilakukan secara terbuka dan transparan. Baik melalui pertemuan tatap muka maupun melalui video-conference.


Kejar Tayang

Suara kaum buruh merupakan yang paling keras menolak disahkannya Omnibus Law. Setidaknya terdapat tujuh poin dalam aturan tersebut yang sangat berpotensi merugikan kaum proletariat.

Yang pertama, RUU Ciptaker menghapus upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).

Kedua, pemangkasan jumlah pesangon dari 32 bulan gaji menjadi 25 bulan. Tepatnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup. Keempat, adanya aturan karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup.

Kelima, jam kerja yang dianggap eksploitatif karena tidak menerangkan secara jelas batasan jam kerja. Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.

Banyaknya tuaian protes tidak membuat DPR dan pemerintah gentar untuk mewujudkan beleid ini. Beberapa hari belakangan, tercatat keduanya kompak menempuh jalan senyap demi mempercepat penyelesaiaan pembahasan RUU Cipta Kerja.

Pada hari Sabtu malam minggu, 3 Oktober 2020 menjelang tengah malam atau tepatnya pukul 22.50 WIB, pemerintah bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI merampungkan pembahasan RUU Cipta Kerja pada putusan tingkat I.

Dua hari berselang, seperti yang telah diketahui, RUU Cipta Kerja resmi menjadi UU melalui rapat paripurna. Padahal, pengesahan Omnibus Law rencananya baru akan dilaksanakan pada hari Kamis, 8 Oktober 2020 mendatang.

DPR RI mempercepat pelaksanaan rapat paripurna pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja dengan alasan laju penyebaran COVID-19 di DPR terus bertambah sehingga penutupan masa sidang dipercepat.


Mogok Nasional

Dikebutnya pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja membuat kaum buruh semakin geram. Hal ini memperjelas bahwa pemerintah dan anggota dewan enggan mengakomodir aspirasi jutaan pekerja serta tidak mengindahkan adanya ancaman mogok nasional.

Tak kurang dari 32 federasi dan konfederasi serikat buruh dan beberapa federasi serikat buruh lainnya siap bergabung dalam unjuk rasa serempak secara nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020.

Mogok nasional ini akan diikuti oleh 2 juta buruh yang sebelumnya direncanakan sebanyak 5 juta buruh. Sebanyak 2 juta buruh yang mengikuti nasional tersebut meliputi berbagai sektor industi di Tanah Air.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyampaikan, mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

UU No 21 Tahun 2000 Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

“Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” tegasnya melalui keterangan resmi.

Adapun sebaran wilayah 2 juta buruh yang akan ikut mogok nasional antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang Raya, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung Raya, Semarang, Kendal, Jepara, Yogjakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan.

Berikutnya adalah Aceh, Padang, Solok, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batam, Bintan, Karimun, Muko-Muko, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, dan Lampung Selatan.

Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari, Morowali, Papua, dan Papua Barat.

Selain aksi mogok nasional, Said Iqbal bilang buruh juga akan mengambil tindakan strategi lainnya sepanjang waktu sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan.

“Buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang masa penolakan UU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil,” tegasnya.

Pengusaha Bahagia

Di tengah derasnya protes dan ancaman mogok nasional dari para kaum buruh, kalangan dunia usaha justru menyambut baik dan memberikan apresiasi atas pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani menilai UU Cipta Kerja dapat mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.

Baginya, UU tersebut mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan membuka lapangan kerja.

“Hal itu diwujudkan melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga tercipta lapangan kerja yang semakin besar untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah” ucapnya melalui keterangan resmi yang diterima TrenAsia.com, Senin 5 Oktober 2020.

Rosan menambahkan, dengan dinamika perubahan ekonomi global saat ini, perlu adanya respons cepat dan tepat. Tanpa reformasi struktural, menurutnya pertumbuhan ekonomi akan tetap melambat.

“Penciptaan lapangan kerja harus dilakukan, yakni dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6-7 persen untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha eksisting. Pada akhirnya akan mendorong peningkatan konsumsi di kisaran 5,4 hingga 5,6 persen,” ujar Rosan.

Selain itu, ia berpandangan bahwa pengesahan aturan baru itu dapat mendukung program pemberdayaan UMKM dan Koperasi. Diharapkan ada peningkatan kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 65% dan peningkatan kontribusi Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5%.

Tidak hanya itu, Rosan bilang apabila UU Cipta Kerja dilakukan maka akan meningkatkan daya saing Indonesia dan mendorong investasi masuk. Sehingga, akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan mempercepat pemulihan perekonomian nasional.(SKO)

Bagikan

Related Stories