Dampak Sistemik Jika Potongan Tarif Driver Grab Diturunkan ke 10 Persen

Aksi ojol di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin, 21 Juli 2025. (ist/TrenAsia/Idham Nur Indrajaya)

JAKARTA, WongKito.co – Menanggapi aksi unjuk rasa ribuan pengemudi ojek online (ojol) pada 21 Juli 2025 yang menuntut penurunan komisi aplikasi menjadi 10%, Grab Indonesia menyampaikan sikap terbuka terhadap aspirasi mitranya. Namun, perusahaan menegaskan bahwa usulan tersebut tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan layanan transportasi daring secara keseluruhan.

Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menyatakan bahwa pihaknya menghormati hak mitra pengemudi untuk menyampaikan aspirasi secara damai dan sesuai hukum. 

“Kami mengimbau seluruh mitra untuk tetap menjaga keselamatan, mengedepankan ketertiban, dan menghindari tindakan yang dapat merugikan pihak lain,” ujarnya.

Menurut Tirza, meskipun aksi berlangsung di sejumlah kota besar, operasional Grab tetap berjalan normal. Perusahaan mencatat bahwa 99% mitra pengemudi tetap aktif menjalankan layanan selama aksi berlangsung. Jika terjadi kendala di lapangan, sistem Grab secara otomatis mengalihkan permintaan layanan ke mitra pengemudi lain yang tersedia.

Grab juga memastikan pihaknya terus berkoordinasi dengan instansi pemerintah, terutama Kementerian Perhubungan, untuk mendukung kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mitra pengemudi dan kenyamanan pengguna.

Komitmen pada Ekosistem Transportasi yang Inklusif

Grab menyambut baik langkah pemerintah untuk meninjau kembali struktur biaya jasa transportasi daring, mengingat belum adanya penyesuaian signifikan dalam tiga tahun terakhir, meski biaya hidup dan operasional mitra pengemudi terus meningkat.

“Grab melihat bahwa kajian penyesuaian biaya jasa merupakan langkah yang tepat untuk membangun ekosistem transportasi yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengayomi semua pihak,” tutur Tirza melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, Senin, 21 Juli 2025. 

Namun demikian, Grab menilai bahwa tuntutan penurunan komisi menjadi 10% tidak sejalan dengan kebutuhan untuk menjaga keberlangsungan sistem yang mendukung jutaan mitra pengemudi dan pengguna.

Komisi yang diberlakukan oleh Grab, menurut perusahaan, tidak hanya mencakup biaya penggunaan aplikasi, tetapi juga mendanai sejumlah program dan layanan penting, antara lain:

  • Layanan bantuan operasional dan darurat 24 jam,
  • Asuransi kecelakaan untuk mitra dan pengguna,
  • Program edukasi dan pengembangan kapasitas seperti GrabAcademy,
  • Inisiatif kesejahteraan sukarela seperti GrabBenefits, GrabScholar, dan pelatihan kewirausahaan.

Persaingan Terbuka, Pilihan di Tangan Mitra

Grab menekankan bahwa dalam ekosistem yang terbuka dan kompetitif, mitra pengemudi memiliki kebebasan untuk memilih platform yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensinya.

“Saat ini tersedia berbagai platform dengan struktur komisi yang berbeda, bahkan ada yang menawarkan skema di bawah 20%,” kata Tirza. Namun, ia menambahkan bahwa kualitas layanan, keberlanjutan dukungan, dan komitmen terhadap kesejahteraan mitra akan menjadi pembeda utama dalam jangka panjang.

Grab juga mengklaim telah berupaya menjaga keterjangkauan tarif bagi masyarakat di tengah tekanan biaya, melalui berbagai skema seperti subsidi tarif, program diskon, dan loyalitas pelanggan. Langkah ini diambil untuk memastikan permintaan tetap tinggi, sekaligus membuka ruang bagi peningkatan penghasilan mitra pengemudi.

Ajakan untuk Dialog dan Solusi Jangka Panjang

Dalam pernyataan penutupnya, Grab menegaskan komitmen untuk terus menjadi mitra pemerintah dan masyarakat dalam membangun transportasi daring yang tangguh dan adil.

“Solusi terbaik hanya dapat dicapai melalui dialog terbuka, empati terhadap kondisi masing-masing pihak, dan komitmen untuk saling mendukung dalam jangka panjang,” ujar Tirza.

Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya tekanan dari asosiasi pengemudi dan serikat digital nasional yang menuntut transparansi algoritma, jaminan pendapatan layak, dan revisi regulasi komisi. Aksi 21 Juli 2025 menjadi penanda bahwa tuntutan terhadap keadilan digital dalam ekonomi platform tidak lagi bisa diabaikan.

Garda: Seruan Reformasi Struktural dan Potongan Komisi 10%

Pada Senin, 21 Juli 2025, Garda memimpin aksi yang diikuti puluhan pengemudi ojol di kawasan Monas dan Patung Kuda. Dengan lima tuntutan utama, mereka menekan pemerintah dan aplikator untuk mereformasi sistem secara struktural:

  1. Perppu Transportasi Online
  2. Potongan maksimal 10% dari total biaya layanan
  3. Regulasi tarif layanan makanan dan barang
  4. Audit investigatif terhadap aplikator
  5. Penghapusan sistem aceng, slot, hub, multi-order, dan membership

Menurut Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Garda, sistem potongan saat ini—yang bisa mencapai 50%—telah melanggar regulasi dan memberatkan mitra. Ia menilai pemerintah gagal mengawasi pelanggaran oleh perusahaan aplikator, dan karenanya mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Perppu sebagai solusi jangka pendek.

Garda juga mengklaim bahwa tuntutan potongan 10% telah mereka kaji sejak 2020, baik secara akademik maupun empiris. Bahkan, pada masa lalu, usulan ini pernah ditanggapi positif hingga disabotase oleh regulasi baru yang memperbesar kembali potongan.

 “Dengan 10%, seharusnya aplikator tetap untung,” ujar Igun saat ditemui wartawan di lokasi aksi, Senin, 21 Juli 2025.

URC: Potongan 20% Justru Memberi Manfaat

Empat hari sebelumnya, pada Kamis, 17 Juli 2025, aksi berbeda digelar oleh aliansi ojol di bawah naungan Unit Reaksi Cepat (URC). Sekitar 200 pengemudi ojol longmarch dari Lapangan Banteng ke Patung Kuda dengan tiga tuntutan utama:

  1. Menolak status sebagai buruh atau karyawan tetap
  2. Menolak potongan aplikasi sebesar 10%, mempertahankan 20%
  3. Mendesak Perppu Transportasi Online diterbitkan segera

Menurut Achsanul Solihin, Jenderal Lapangan URC, pemberlakuan status buruh dikhawatirkan justru membuat aplikator melakukan efisiensi besar-besaran, terutama dengan membatasi usia dan latar belakang pendidikan mitra. 

Ia menyebut sistem kemitraan yang fleksibel telah memberi ruang ekonomi bagi ribuan pengemudi berusia lanjut dan berpendidikan nonformal.URC secara terbuka menolak tuntutan potongan 10% yang diajukan Garda.

“Potongan 20% itu menopang asuransi tambahan, pelatihan, pulsa, dan fasilitas kesehatan. Kalau dikurangi, ekosistem rusak,” ujar Juwi, perwakilan URC Bogor.

Namun, URC tetap mendorong transparansi penggunaan 5% dari potongan untuk kesejahteraan mitra—bagian yang selama ini belum pernah diaudit terbuka.

Disonansi di Tengah Ketidakpastian

Gerakan ojol telah bertransformasi dari advokasi perorangan menjadi mobilisasi kolektif, namun dengan spektrum strategi yang berbeda. Garda menginginkan regulasi struktural dan restrukturisasi potongan, sedangkan URC mempertahankan status quo sambil menuntut kejelasan posisi hukum dan transparansi internal.

Pemerintah telah menjadwalkan Focus Group Discussion (FGD) pada pekan depan, mempertemukan URC, Garda, dan pihak aplikator. Ini menjadi peluang langka untuk membentuk konsensus regulatif yang selama ini gagal dicapai melalui jalur formal.

“Mudah-mudahan argumen-argumen dari semua pihak bisa bertemu,” kata Juwi.

Tanpa UU atau Perppu yang tegas, pengemudi ojol seperti hidup dalam ketidakpastian. Tumpang tindih yurisdiksi antara Kemenhub, Kemenaker, dan Kominfo menciptakan kebingungan administratif.

Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 21 Juli 2025.

Editor: Redaksi Wongkito
Bagikan
Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories