KatoKito
Darurat Stunting dan Wasting di Kawasan Tambang: Ancaman Tersembunyi bagi Generasi Mendatang
Oleh: Najmah*, Anggun Wulandari**, Haniah Rafiah***, Rani Siska****
WILAYAH pertambangan di Indonesia sering kali menghadapi tantangan besar dalam ketahanan pangan. Aktivitas tambang yang bersifat ekstraktif dapat menyebabkan degradasi lahan, pencemaran lingkungan, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber pangan gizi.
Kondisi ini tentunya dapat berkontribusi terhadap peningkatan risiko terjadinya stunting dan wasting, terutama pada anak-anak di sekitar wilayah pertambangan. Stunting dan wasting merupakan dua masalah kesehatan utama di Indonesia, terutama di daerah dengan keterbatasan akses pangan bergizi.
Wilayah pertambangan yang sering kali mengalami penurunan kesuburan lahan dan keterbatasan sumber daya alam, menjadi salah satu daerah dengan risiko tinggi terhadap permasalahan gizi ini. Masalah stunting dan wasting di kawasan tambang merupakan isu multidimensi yang memerlukan pendekatan solusi yang terintegrasi.
Data terbaru dan studi kasus dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa tanpa adanya intervensi berbasis bukti serta regulasi yang mendukung masyarakat, industri pertambangan dapat berpotensi menjadi "kutukan" bagi generasi mendatang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat, guna memastikan bahwa kekayaan alam yang melimpah tidak lagi mengorbankan masa depan anak-anak Indonesia. Hanya dengan kerjasama yang erat dan kebijakan yang tepat, kita dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang bagi kesehatan dan kesejahteraan generasi mendatang.
Baca Juga:
- Cek Fakta: Program Saldo e-Toll Gratis Rp500.000
- Kampanye Pemasaran Berbasis, Telkomsel Rilis DigiAds Ramadan Insight 2025
- LQ45 pada 13 Februari 2025 Ditutup Turun ke 769,73, 2 Emiten Tambang Berkibar
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia pada tahun 2023, prevalensi stunting di tanah air masih berada pada angka 21,5%, dan wasting berada di angka 7,7%. Meskipun pemerintah menargetkan penurunan angka ini hingga 14% pada tahun 2024, stagnasi yang terjadi menunjukkan perlunya intervensi yang lebih agresif, terutama di wilayah-wilayah rentan seperti kawasan pertambangan.
Di sisi lain, kondisi wasting (kekurangan berat badan berdasarkan tinggi badan) juga menjadi perhatian serius, dengan prevalensi nasional mencapai 10,5% menurut Global Nutrition Report 2023. Di daerah-daerah yang menghadapi kerawanan pangan tinggi, seperti kawasan pertambangan terpencil, angka ini bahkan dapat melambung antara 15% hingga 20%.
Situasi ini menuntut tindakan segera dan terkoordinasi untuk mengatasi masalah gizi yang mengancam masa depan generasi muda kita.
Studi Kasus di Indonesia
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2023 di Kabupaten Mimika, Papua, menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan ekstrem yang mencapai 45% dari populasi merupakan salah satu faktor utama penyebab masalah ini, di mana prevalensi stunting mencapai 34%.
Aktivitas tambang skala besar malah memperburuk kesenjangan sosial, dengan 70% pekerja kontrak tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.
Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, pencemaran nikel telah menyebabkan dampak serius pada kualitas air minum yang digunakan oleh masyarakat.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2023, sekitar 35% anak di daerah ini mengalami anemia akibat terpapar logam berat, yang berhubungan langsung dengan penurunan kualitas gizi. Anemia dapat mengganggu proses perkembangan otak dan fisik anak, menjadikannya sebagai faktor risiko utama stunting selama masa kehamilan.
Situasi ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan anak-anak saat ini, tetapi juga berpotensi menghambat kemampuan mereka di masa depan nanti.
Sebuah studi terbaru di Sekotong, NTB, mengungkapkan kekhawatiran serius terkait pencemaran merkuri. Kadar merkuri dalam air tanah ditemukan mencapai 4,8 ppm, jauh melebihi batas aman yang ditetapkan oleh WHO sebesar 0,001 ppm. Pencemaran ini, yang disebabkan oleh aktivitas tambang emas ilegal, telah merusak ekosistem perikanan yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat setempat.
Dampaknya, sekitar 40% balita di wilayah tersebut mengalami defisiensi protein akut, yang dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental mereka.
Sering kali, masalah wasting diabaikan dalam diskusi tentang stunting, meskipun keduanya saling berhubungan erat dan memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan anak. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, kombinasi antara polusi udara dengan kadar PM2.5 yang mencapai 75 µg/m³ dan kondisi sanitasi yang buruk telah menyebabkan 22% balita mengalami wasting, menurut data dari Dinas Kesehatan Kaltim pada tahun 2023. Wasting, yang ditandai oleh penurunan berat badan yang drastis, dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Selain itu, perluasan tambang batubara menyebabkan peningkatan 30% dalam kasus diare akut, yang semakin memperburuk penyerapan nutrisi.
Di Pulau Bangka Belitung, penelitian menunjukkan bahwa aktivitas tambang timah telah menyebabkan pencemaran air dan lahan, sehingga produksi pangan menurun drastis.
Sungai yang terletah di wilayah pertambangan timah cenderung mempunyai keanekaragaman ikan yang lebih rendah dibandingkan sungai yang normal. Jenis ikan atau biota lainnya dapat mempengaruhi ketersediaan pangan yang ada bagi masyarakat setempat yang berdampak pada kondisi gizi dan kesehatan. Survei kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa lebih dari 25% anak-anak mengalami stunting dengan salah satu penyebab nya yakni paparan bahan kimia berbahaya dari aktivitas pertambangan timah.
Faktor Penyebab Stunting di Kawasan Pertambangan
Berbagai studi kasus di Indonesia telah menyoroti masalah stunting di kawasan pertambangan, termasuk penelitian di Kalimantan Timur dan Papua.
Dimana, menunjukkan tingginya prevalensi stunting yang disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk kondisi lingkungan yang tercemar akibat aktivitas pertambangan, masalah ekonomi yang menghambat akses masyarakat terhadap makanan bergizi, dan keterbatasan layanan kesehatan.
Pertama, Pertambangan seringkali menghasilkan limbah berbahaya, seperti merkuri dan logam berat lainnya. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini dapat mencemari air dan tanah, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar, terutama ibu hamil dan anak-anak. Paparan merkuri pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin, yang meningkatkan risiko stunting pada anak. Penelitian oleh Agustia et al. (2018) dalam jurnal Biology, Medicine & Natural Product Chemistry melaporkan bahwa paparan merkuri di wilayah pertambangan emas Poboya, Palu, dikaitkan dengan meningkatnya risiko stunting pada anak-anak. Merkuri dapat mengganggu proses perkembangan otak dan fisik janin, serta menyebabkan masalah pertumbuhan pada anak-anak yang terpapar. Akibatnya, kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan individu, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang bagi perkembangan sosial dan ekonomi komunitas yang terpapar.
Kedua, Kawasan pertambangan biasanya menarik sejumlah pekerja dari daerah lain, yang dapat menyebabkan perubahan sosial dan ekonomi yang signifikan. Peningkatan kepadatan penduduk sering kali diikuti oleh perubahan pola mata pencaharian dan munculnya ketidaksetaraan ekonomi. Keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit mungkin kesulitan dalam mengakses makanan bergizi dan layanan kesehatan yang memadai, yang merupakan faktor risiko utama stunting. Dalam situasi ini, persaingan untuk sumber daya yang terbatas dapat mengakibatkan anak-anak dari keluarga kurang mampu tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang optimal. Selain itu, akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan membuat mereka rentan terhadap penyakit, yang semakin memperburuk kondisi gizi dan kesehatan secara keseluruhan.
Ketiga, Pertambangan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk merusak infrastruktur vital seperti sumber air bersih dan sistem sanitasi. Kondisi sanitasi yang buruk dan kurangnya akses terhadap air bersih meningkatkan risiko infeksi pada anak-anak, yang dapat mengganggu penyerapan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Ketika anak-anak terpapar infeksi, seperti diare, tubuh mereka memerlukan lebih banyak nutrisi untuk melawan penyakit, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap stunting.
Keempat, Kawasan pertambangan yang terpencil seringkali mengalami keterbatasan dalam akses layanan kesehatan, termasuk layanan antenatal care (ANC) dan posyandu. Ibu hamil yang tidak mendapatkan perawatan yang memadai selama kehamilan berisiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR merupakan salah satu faktor risiko utama stunting, karena bayi yang lahir dengan berat badan rendah cenderung mengalami kesulitan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Tanpa akses yang memadai ke layanan kesehatan, Ibu hamil mungkin tidak memperoleh informasi dan dukungan yang diperlukan untuk menjaga kesehatan diri dan janin mereka.
Kelima, Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan (MPASI) yang tepat dapat mengakibatkan anak-anak tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan mereka. Situasi ini sering kali diperburuk oleh keterbatasan ekonomi dan akses terhadap makanan bergizi di kawasan pertambangan. Penelitian oleh Agustia et al. (2018) dalam jurnal Biology, Medicine & Natural Product Chemistry melaporkan bahwa paparan merkuri pada anak-anak di wilayah pertambangan emas Poboya, Palu, dikaitkan dengan meningkatnya risiko stunting. Merkuri tidak hanya dapat mengganggu perkembangan janin, tetapi juga dapat menyebabkan masalah pertumbuhan pada anak-anak yang terpapar. Kekurangan gizi yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan akses makanan yang berkualitas, dikombinasikan dengan efek merugikan dari paparan merkuri, menciptakan risiko yang signifikan bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak di daerah tersebut.
Dampak bagi Generasi Mendatang
Mengapa stunting dan wasting berbahaya bagi generasi mendatang? Stunting dan wasting bukan hanya masalah kesehatan untuk jangka pendek. Anak-anak yang mengalami masalah gizi ini berisiko mengalami gangguan pertumbuhan, penurunan fungsi kognitif, dan rendahnya produktivitas saat dewasa.
Dalam jangka panjang, generasi yang tumbuh dengan kondisi gizi buruk akan mengalami kendala dalam bersaing di dunia kerja dan berkontribusi secara optimal bagi pembangunan bangsa.
Ironisnya, masalah ini sering kali tersembunyi dan kurang mendapat perhatian dibandingkan isu lingkungan lainnya. Padahal, tanpa intervensi segera, Kawasan tambang dapat menjadi “Pusat Krisis Gizi” yang berdampak pada generasi mendatang.
Baca Juga:
- Cek Fakta: Program Saldo e-Toll Gratis Rp500.000
- Kampanye Pemasaran Berbasis, Telkomsel Rilis DigiAds Ramadan Insight 2025
- LQ45 pada 13 Februari 2025 Ditutup Turun ke 769,73, 2 Emiten Tambang Berkibar
Mengatasi stunting dan wasting di Kawasan tambang membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melibatkan pemerintah, tenaga kesehatan, serta masyarakat setempat. Beberapa solusi yang bisa diambbil antara lain :
Pertama, lahan bekas tambang perlu direklamasi menjadi Kawasan pertanian atau tambak ikan untuk memastikan ketersediaan pangan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar.
Kedua, pencemaran lingkungan akibat tambang harus dikendalikan dengan ketat, termasuk melalui pemantauan kualitas air dan tanah agar tidak berdampak pada kesehatan masyarakat.
Ketiga, Program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan tambang harus di fokuskan pada pembangunan infrastruktur kesehatan dan gizi bagi masyarakat sekitar.
Keempat, puskesmas dan tenaga kesehatan harus diperkuat untuk melakukan deteksi dini terhadap kasus stunting dan wasting serta memberikan edukasi gizi kepada keluarga.
Kesimpulan :
Darurat stunting dan wasting di Kawasan tambang menjadi krisis yang tersembunyi, namun berdampak luas bagi generasi mendatang. Jika tidak segera diatasi, Indonesia akan kehilangan potensi sumber daya manusia yang sehat dan produktif.
Oleh karena itu, intervensi cepat dan kolaboratif harus dilakukan untuk memastikan bahwa anak-anak serta masyarakat lain yang tumbuh di sekitar Kawasan tambang tetap mendapatkan ha katas gizi yang cukup, kesehatan yang terjamin dan masa depan yang lebih cerah.
* Dosen FKM Unsri
** Mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat, FKM UNSRI
*** Alumni Prodi Gizi, FKM UNSRI
**** Yayasan Anak Padi
Referensi :
Efrizal, W. (2020) ‘Dampak Ekologis Bangka Belitung Terhadap Keadaan Gizi dan Kesehatan'
https://jurnal.umitra.ac.id/index.php/JIGZI/article/download/537/506
Survel Kesehatan Indonesia (2023), Prevalensi Stunting.
https://dinkes.jatimprov.go.id/userfile/dokumen/SKI%202023%20DALAM%20ANGKA_BKPK_KEMENKES_OK.pdf