Diperingati sebagai Hari Ibu, Tilik Sejarah Kongres Perempuan Indonesia Pertama 94 Tahun Lalu

Sejumlah pekerja rumah tangga perempuan melakukan aksi menuntut pengesahan UU PPRT (ist)

PALEMBANG, WongKito.co - Selamat hari Ibu! hari ini menjadi ucapan paling populer yang diterima kaum perempuan, khususnya perempuan yang sudah menikah.

Iya, Hari Ibu selalu diperingati setiap 22 Desember. Beragam apresiasi dan ekspresi masyarakat Indonesia untuk merayakan hari ibu.

Paling tidak, anak menyampaikan kepada sang ibu ucapan selamat hari ibu sembari memeluk dan memberikan kado.

Pun begitu, suami kepada istrinya juga mengucapkan selamat hari ibu.

Ada juga kolega yang mengirim link lagu "Mother, How Are You Today" dinyanyikan Maywood yang diliris tahun 1980.

Baca Juga:

Lalu, apakah benar hanya sebatas ekspresi kasih sayang belaka?.

Membaca sejumlah literasi, sejarah hari ibu sebenarnya tak bisa lepas dari awal mulanya perempuan berorganisasi dan tampil di dunia politik sebelum Indonesia merdeka.

Asal Usul Hari Ibu, 22 Desember

Kongres Perempuan Indonesia I dilaksanakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928 atau 94 tahun lalu.

Kongres berlangsung, pascasumpah pemuda pada Kongres Pemuda ke-2 yang diselenggarakan pada 28 Oktober 1928.

Kongres Perempuan Indonesi I tersebut diselenggarakan, oleh sejumlah organisasi diantaranya Wanita Aisyah, Perempuan Sarekat Islam, Wanita Katolik, Wanita Mulyo, Putri Indonesia, Wanita Utomo dan Darmo Laksmi, Perempuan Jon Java, Jon Islamten Bond dan Wanita Taman Siswa.

Tokoh-toko populer di dunia pergerakan pun, hadir dalam mendukung Kongres Perempuan Indonesia I tersebut, yaitu Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Soekiman Wirjosandjojo (Sarekat Islam), A.D.Haani (Walfadjri) dan Mr Singgih serta Dr.Soepomo.

Adapun kongres dipimpin oleh RA Soekonto yang didukung Nyi Hadjar Dewantara dan Soejatin sebagai wakil ketua.

Dalam sambutannya, yang dikutip dari buku karya Blackburn, RA Soekonto mengatakan zaman sekarang adalah zaman kemajuan.

"Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkay derajat kaum perempuan agar kita tidak dipaksa duduk di dapur saja. Kecuali haris menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum," kata dia.

"Artinya," lanjut RA.Soekonto, " perempuan tidak (lantas) menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan, seperti zaman dahulu."

Kongres berjalan sangat kondusif dan menghasilkan sejumlah rekomendasi.

Dimana peserta kongres memutuskan untuk membentuk organisasi gabungan perempuan yaitu Perikatan Perempuan Indonesia (PPI).

Kongres membahas sejumlah isu mulai dari kesetaraan pendidikan untuk perempuan sampai dengan membahas poligami dan perkawinan anak.

Baca Juga:

Selanjutnya, Kongres Perempuan Indonesia II berlangsung di Jakarta, pada 20-24 Juli 1935 dan kongres ke-3 di Bandung, pada 22 Desember 1938 yang menyepakati ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Dekrit Presiden Soekarno

Kongres perempuan dinilai telah berhasil membangun kesetaraan bagi kaum perempuan di masa sebelum kemerdekaan hingga Indonesia merdeka.

Akhirnya, Presiden Soekarno menerbitkan dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953 yang menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Sejak itu, setiap 22 Desember peringatan Hari Ibu dilakukan dengan terus menjaga ingatan bagaimana perempuan Indonesia, pertama kali berjuang dalam menyamakan persepsi tentang kesetaraan di Kongres Perempuan Indonesia I, dan dilanjutkan kongres ke-2 dan ke-3.

Namun, semuanya berubah ketika orde baru berkuasa.

Peringatan Hari Ibu hanya dijadikan simbol kasih sayang kepada seorang ibu atau perempuan saja.(Nila Ertina)
 

Editor: Nila Ertina

Related Stories