Eksekusi Ganti Rugi Kasus Karhutla Butuh Ketegasan Negara

Eksekusi Ganti Rugi Kasus Karhutla Butuh Ketegasan Negara (Tangkapan layar)

PALEMBANG, WongKito.co - Pelaksanaan atau eksekusi putusan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sudah berkekuatan hukum atau inkrah dinilai butuh ketegasan negara. Triliunan dana ganti rugi yang harus dibayarkan perusahaan pelaku mestinya bisa digunakan untuk pemulihan hutan.

Hal ini disampaikan Marius Gunawan dari Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) dalam Media Briefing “Quick Wins Nusron Wahid Menteri ATR/BPN: Cabut HGU, Lindungi Gambut, Selamatkan Keanekaragaman Hayati” yang disimak secara daring, Rabu (30/10/2024).

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada periode 2015-2023, terdapat 31 kasus gugatan perdata yang diajukan oleh KLHK. Tercatat,  sebanyak 14 kasus di antaranya telah mencapai status inkrah dengan nilai ganti rugi hingga Rp20,7 Triliun yang harusnya masuk kas negara.

Baca Juga:

Marius menyebutkan beberapa contoh kasus, salah satunya kasus PT Waringin Agro Jaya di Sumatera Selatan yang berkaitan dengan pembukaan lahan melalui pembakaran untuk perkebunan kelapa sawit. Putusannya denda Rp466 miliar dan kewajiban pemulihan lingkungan.

Namun, status eksekusi diketahui pembayaran denda belum terealisasi dan pemulihan lingkungan belum dilakukan sepenuhnya. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengawasan serta dukungan teknis dan finansial yang diperlukan untuk eksekusi.

“Di tengah hutan sana, siapa yang mengawasi adanya perbaikan? Setelah putusan hukum tidak ada pengawasan yang melekat,” ulas Marius.

Hal yang sama juga terjadi pada kasus PT Bumi Mekar Hijau (BMH). Putusan awal untuk kasus pembakaran lahan yang melanggar aturan lingkungan itu awalnya divonis denda Rp7,9 triliun. Namun, angka tersebut turun dalam tingkat banding. Eksekusi putusan belum dilaksanakan. Hambatannya terutama muncul karena kondisi geografis yang sulit diakses dan upaya perusahaan untuk negosiasi pengurangan denda. “Bisa ada proses negosiasi itu saja perlu dipertanyakan,” kata dia.

Marius mengungkapkan, terkadang perusahaan pelaku seakan memiliki nilai tawar dengan alasan banyak warga sekitar yang bekerja dengan mereka. Sehingga, jika HGU dicabut atau mereka harus tutup dan pindah, warga akan kehilangan pekerjaan.

Menurutnya, hal seperti inilai perlu ada ketegasan untuk eksekusi pengadilan, perlu juga kerjasama banyak pihak dalam bentuk dukungan jejaring. Jika dibiarkan tidak ada eksekusi setelah bertahun-tahun putusan, perusahaan pelaku menjadi tidak takut. Mereka jadi tahu setelah inkrah tidak akan terjadi apa-apa.

“Karena itu, di momentum pemerintahan baru ini, kami mendorong penguatan sistem penegakan hukum. Misalnya pembaruan database yang transparan untuk pelaporan kasus dan pemantauan stasus eksekusi,” ujarnya.

Adapun untuk upaya pencegahan dan pengamanan, pihaknya merekomendasikan implementasi teknologi satelit dan drone untuk pengawasan hutan. Dia menambahkan, ketika ganti rugi dibayarkan ke kas negara tentu bisa membantu masyarakat memperbaiki area hutan yang rusak. Apalagi jika lahan rusak itu termasuk gambut yang butuh perhitungan lebih dalam.

Baca Juga:

Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia Anggi Prayoga mengatakan, tentu saja negara merugi jika putusan inkrah kasus karhutla tidak dibayarkan. Itu juga pertanda kebijakan konservasi tidak serius dalam hal pembiayaan.

Menurutnya, Pemda seharusnya bisa menjadi ujung tombak konservasi. Namun, apabila pusat tetap melakukan eksploitasi dalam hal izin HGU, maka konservasi hutan akan sulit diimplementasi. “Ketika HGU menempati kawasan ekosistem esensial (penting), maka HGU bisa saja diintervensi,” tukasnya. (yulia savitri)

Redaksi Wongkito

Redaksi Wongkito

Lihat semua artikel

Related Stories