Ragam
FJPI Sumsel Dorong Penguatan Jurnalisme Inklusif untuk Kebebasan Berekspresi Jurnalis Perempuan
PALEMBANG, WongKito.co – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) cabang Sumatera Selatan mendorong penguatan praktik jurnalisme inklusif sebagai salah satu kunci kebebasan berekspresi, khususnya bagi jurnalis perempuan.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi publik bertema “Urgensi Penguatan Jurnalisme Inklusif untuk Kebebasan Berekspresi bagi Jurnalis Perempuan” di Palembang, Selasa (12/8)
Diskusi publik tersebut menghadirkan para jurnalis, akademisi, aktivis media, dan pegiat perempuan untuk membahas tantangan sekaligus peluang menciptakan ruang media yang aman, setara, dan bebas diskriminasi gender.
Baca juga:
- Pengurus Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Sumatera Selatan Dilantik, Cabang ke-18
- Semester I-2025 Sektor Migas Moncer, Produksi Gas Lampaui Target 119 Persen
- Agung Podomoro Dukung Pendidikan Global Lewat Kehadiran BINUS University di Podomoro City Deli Medan
Topik yang diangkat meliputi bias gender dalam liputan dan ruang redaksi, perlindungan hukum bagi jurnalis perempuan, praktik terbaik membangun jurnalisme berkeadilan gender, hingga peran media dalam memperkuat narasi keberagaman.
Dua narasumber utama dihadirkan, yakni Sekretaris Jenderal FJPI Pusat, Tri Rizki Ambarwatie, dan Kepala Program Studi Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Jufrizal dan moderator Pemred WongKito.co yang juga Penasihat FJPI Sumsel, Nila Ertina.
Dalam penyampaian materi, Tri menegaskan, jurnalisme inklusif menjadi pilar penting dalam menjamin kebebasan berekspresi bagi jurnalis perempuan yang masih menghadapi hambatan di lapangan.
Ia menilai, bias gender di ruang-ruang redaksi masih kerap memengaruhi peluang kerja, penugasan liputan, hingga penentuan ide atau angle berita.
Dalam banyak kasus, isu perempuan dan keberagaman tidak mendapat porsi yang setara atau diberitakan tanpa perspektif yang tepat. Sehingga menimbulkan banyak perspektif seperti bias gender. “Masih banyak perempuan yang belum bebas dalam kerja jurnalistik, bahkan mengalami diskriminasi di ruang redaksi," ujarnya.
Tak hanya dalam ruang redaksi, jurnalis perempuan juga kerap dihadapkan dengan gangguan-gangguan lain saat menyampaikan pemberitaan ke masyarakat luas. "Seperti kasus pengiriman kepala babi kepada jurnalis perempuan dan kasus lain yang pernah diadvokasi FJPI,” tuturnya.
Menurut dia, penerapan jurnalisme inklusif memberi kesempatan yang sama, suara setara, dan perlindungan memadai bagi jurnalis perempuan, baik dari kekerasan daring maupun luring. Baik di ruang redaksi maupun luar redaksi.
“Perspektif gender perlu dipahami jurnalis dan dipraktikkan di ruang redaksi, agar pemberitaan tidak bias dan semua suara mendapat tempat yang adil,” tegasnya.
"Juga menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan saat menyampaikan sebuah berita. Sehingga memang butuh peran berbagai pihak untuk mendukung jurnalisme inklusif," katanya pula.
Sementara itu, Jufrizal menjelaskan bahwa jurnalisme inklusif adalah praktik jurnalistik yang tidak memandang suku, ras, agama, maupun gender dalam proses kerja pemberitaan. Ia menyoroti bahwa di dunia media, penerapan jurnalisme inklusif masih minim dan sering terhambat oleh pola pikir atau kebijakan redaksi yang belum berubah.
“Jurnalisme inklusif menghasilkan karya yang dapat diterima semua kalangan, karena tidak membatasi pada unsur-unsur tertentu,” katanya.
Namun, dalam pengamatannya sebagai akademisi yang berkecimpung di dunia jurnalistik, masih banyak berita yang bias gender, menyinggung isu agama, atau menggunakan judul provokatif. Bahkan, beberapa upaya jurnalis untuk menulis secara inklusif kerap terhenti di meja redaksi.
“Banyak jurnalis sudah mencoba menulis secara inklusif, tetapi belum didukung kebijakan redaksi," jelasnya.
Sehingga, dengan adanya penerapan jurnalisme inklusi yang dimulai dari ruang-ruang redaksi bisa meminimalisir kasus-kasus berita bias gender dan memberi ruang bagi jurnalis untuk bebas berekspresi untuk menuliskan pemberitaannya.
"Kami rasa ini poin yang sangat penting, sehingga jurnalisme inklusif ini bisa diterapkan," katanya.