Ragam
Giliran Selandia Baru Batasi Medsos untuk Anak
JAKARTA - Pemerintah Selandia Baru tengah merancang undang-undang baru yang akan membatasi akses media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun. Langkah ini didorong oleh meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak buruk media sosial terhadap kesehatan mental dan keamanan anak-anak.
Rancangan undang-undang ini diusulkan oleh anggota parlemen dari partai berkuasa, Catherine Wedd. Tujuannya sederhana namun penting, yaitu melindungi anak-anak dari bahaya digital yang semakin nyata di era media sosial.
Dalam penjelasannya, para pembuat kebijakan menyoroti berbagai risiko yang mengintai generasi muda di dunia maya, mulai dari perundungan siber (cyberbullying), paparan konten tidak pantas, hingga eksploitasi seksual daring.
Anak-anak, menurut mereka, masih rentan terhadap tekanan sosial yang ditimbulkan oleh platform digital, yang berpotensi memicu gangguan kecemasan dan depresi.
Kebijakan ini juga muncul sebagai respon langsung terhadap keresahan para orang tua dan pendidik. Banyak yang mengaku kewalahan mengawasi aktivitas daring anak-anak mereka. Pemerintah pun berupaya mengambil alih sebagian tanggung jawab itu melalui regulasi yang lebih ketat.
“Langkah ini bukan untuk membatasi, tetapi untuk melindungi anak-anak kita. Kita ingin memastikan bahwa perusahaan media sosial turut ambil bagian dalam menciptakan lingkungan daring yang aman bagi mereka,” jelas Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon dikutip The Guardian, Jumat, 24 Oktober 2025.
Menariknya, Selandia Baru tidak berjalan sendiri. Negara ini terinspirasi dari kebijakan Australia yang sudah lebih dulu menerapkan larangan bagi anak di bawah 16 tahun untuk memiliki akun media sosial.
Jika rancangan ini disahkan, platform digital akan diwajibkan melakukan verifikasi usia pengguna dan bisa dikenai denda hingga Rp19 miliar jika melanggar.
Baca juga :
- Pajak Digital Indonesia Tembus Rp 42,53 Triliun Hingga September 2025
- Gelar OCBC Business Forum 2025, OCBC Dorong Strategi Bisnis Resilien
- Kapasitas Produksi Polytam Meningkat, Distribusi Cakup Enam Unit Pemasaran Utama
Situasi dan Regulasi Terkini di Indonesia
Berbeda dengan pendekatan keras Selandia Baru, Indonesia memilih jalur edukatif dan partisipatif. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau yang dikenal dengan sebutan PP TUNAS, pemerintah menekankan pentingnya pengawasan orang tua dan tanggung jawab platform digital.
PP TUNAS tidak melarang anak mengakses media sosial. Namun, platform diwajibkan menyediakan fitur keamanan dan pengaturan akses berdasarkan usia, dengan persetujuan orang tua sebagai prasyarat utama.
Dalam kebijakan ini, terdapat pembagian klasifikasi usia yang cukup jelas. Anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah dengan izin orang tua.
Anak berusia 13-15 tahun masih memerlukan persetujuan orang tua untuk platform yang sama. Sementara itu, usia 16–18 tahun diperbolehkan mengakses platform berisiko tinggi tetapi tetap dengan izin orang tua.
Adapun pengguna di atas 18 tahun dapat mengakses media sosial tanpa batas. Pendekatan ini dipilih karena tingginya tingkat partisipasi anak di dunia digital Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan bahwa anak berusia lima tahun ke atas sudah mulai menggunakan media sosial. Oleh sebab itu, pemerintah menilai pelarangan total tidak realistis dan lebih memilih menciptakan ekosistem digital yang aman dan mendidik.
Baca juga : Pesaing Google Chrome? Ini 5 Hal yang Perlu Kamu Tahu Tentang ChatGPT Atlas

Perbandingan Kebijakan
Secara umum, Selandia Baru dan Indonesia memiliki kesamaan tujuan, yaitu melindungi anak dari dampak negatif media sosial, tetapi pendekatannya berbeda. Selandia Baru mengusulkan larangan akses media sosial untuk anak di bawah 16 tahun, sementara Indonesia menerapkan klasifikasi usia dan persetujuan orang tua.
Pemerintah Selandia Baru menekankan perlindungan dari perundungan, konten tidak pantas, dan kecanduan, sedangkan Indonesia lebih fokus menjaga keseimbangan antara perlindungan dan hak anak untuk mengakses informasi.
Dalam hal tanggung jawab, platform di Selandia Baru wajib memverifikasi usia pengguna, sementara di Indonesia diwajibkan menyediakan fitur keamanan sesuai usia dan meminta izin orang tua.
Sanksinya pun berbeda, di mana Selandia Baru menetapkan denda hingga Rp19 miliar bagi platform yang lalai, sedangkan Indonesia mengatur sanksi tegas dalam peraturan pemerintah bagi penyedia layanan yang melanggar.
Baik Selandia Baru maupun Indonesia sejatinya memiliki tujuan yang sama, melindungi generasi muda dari sisi gelap dunia maya. Namun, pendekatannya berbeda.
Peran keluarga, sekolah, dan penyedia platform menjadi krusial untuk memastikan bahwa anak-anak tidak hanya aman, tetapi juga mampu menggunakan media sosial secara sehat dan produktif.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 24 Oct 2025

