Ragam
Hemat Impor BBM dan Ramah Lingkungan, Kompresor Gas PLTG Maleo Gorontalo
JAKARTA - Penggunaan gas bumi bakal menjadi transisi Indonesia menuju penggunaan energi ramah lingkungan.
Untuk mendukung kebijakan ini, pemerintah mengoperasian proyek fasilitas jasa kompresi gas Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Maleo, Gorontalo, yang bakal menghemat impor bahan bakar minyak (BBM) dan makin ramah lingkungan.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan penggunaan energi gas lebih ramah lingkungan dan lebih hemat bila dibandingkan dengan energi baru terbarukan (EBT) yang lain.
"Gas alam termasuk energi primer yang cukup bersih," kata dia saat dihubungi wartawan belum lama ini.
Baca Juga :
- Formula E Segera Digelar, ini Fakta Menariknya
- Simak 7 Keajaiban Dunia yang Hingga Kini masih Kokoh dan jadi Magnet Wisatawan
- Buruan Daftar! Telkom Buka 250 Lowongan Kerja
Mamit menjelaskan sebenarnya Indonesia mempunyai cadangan gas yang cukup besar. Indonesia, kata dia, bisa melakukan optimalisasi terhadap produk gas. Namun, kendala terbesar pada harga gas yang cenderung lebih mahal dari pada komoditas batu bara.
"Hal ini membuat biaya pokok produksi penyediaan listrik menjadi bertambah," jelasnya.
Padahal, menurut dia, Indonesia sudah menuju net zero emission (NZE) pada 2060. Pemerintah juga akan menghentikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS) untuk mengurangi emisi karbon.
Melihat target 2060 pada NZE yang dipilih Indonesia, sambungnya, ada target yang lebih dekat yaitu nationally determined contribution (NDC). NDC ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 29% pada 2030.
Untuk merealisasikan PLTU gas yang ramah lingkungan, PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG) bersama Pelayanan Energi Batam (PEB) dengan Kerja Sama Operasi (KSO) PT Atamora Tehnik Makmur - PT Sinergi Pratama Sukses (SPS) mengoperasikan proyek fasilitas jasa kompresi gas PLTG Maleo, Gorontalo. Gas liquefied natural gas (LNG) dipasok dari Bontang untuk PLTG 100 Megawatt.
Proyek tersebut memiliki kemampuan output 24 standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MSCFD) untuk membangkitkan PLTG Maleo dengan kapasitas 100 MW. Proyek ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 13 Tahun 2020 dan diperbarui dengan Kepmen ESDM Nomor 2 Tahun 2022.
Direktur Utama PLN GG Mohammad Riza Affiandi sebelumnya mengatakan infrastruktur tersebut merupakan fasilitas konversi BBM menjadi LNG untuk pasokan listrik di PLTG Maleo. Kontrak dimulai pada Juli-Agustus 2021.
Proyek strategis ini merupakan yang pertama dibangun setelah diketok palu aturan Kepmen ESDM 13/2020 dan Kepmen ESDM 2/2020 oleh anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan konsorsium nasional.
Dia menjelaskan, konversi BBM High Speed Diesel (HSD) menjadi gas dapat menurunkan biaya produksi PLTG sekaligus lebih ramah lingkungan. Selain itu, kata dia, dapat membantu mengurangi impor BBM.
Sementara itu, Direktur Proyek KSO Atamora-SPS Doliano M. Siregar menyampaikan, gas dari LNG cargo yang ditransfer ke Floating Storage Regasification Unit (FSRU), disalurkan ke Pembangkit 100 MW lewat fasilitas kompresi milik KSO ATM-SPS.
Menurut dia, LNG untuk regasifikasi merupakan produksi dari sumur-sumur gas dalam negeri. Cadangannya masih berlimpah. PLTG Maleo sendiri berfungsi untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.
Adapun, Kunjungan kerja ke PLTG Maleo yang dilakukan pada Selasa, 29 Maret 2022, turut dihadiri oleh Direktur PLN GG Yudistian Yunis, Direktur Pelayanan Energi Batam Suwadi Nanra, Komisaris Pelayanan Energi Batam M. Arief Rachman dan Direktur Operasi KSO Atamora-SPS Irvan N. Tarigan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 20 Apr 2022