KabarKito
ICW: RUU TNI Potensi Melanggengkan Impunitas Korupsi Militer
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, pembahasan Revisi UU TNI memberi peluang langgengnya impunitas bagi anggota militer yang terjerat korupsi. Untuk itu, ICW mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menghentikan proses pembahasannya karena dilakukan secara tertutup, tidak partisipatif, dan rawan politik transaksional.
“Anggota militer aktif harus kembali ke barak dan tidak boleh menempati jabatan sipil agar tidak ada konflik kepentingan dan melanggengkan impunitas,” tegas Peneliti ICW, Wana Alamsyah dalam keterangan tertulis, Selasa (18/03/2025).
Sepanjang 2014-2025, ICW mencatat sedikitnya terdapat 8 (delapan) kasus korupsi yang melibatkan 15 orang dengan latar belakang militer, baik purnawirawan ataupun tentara aktif, sebagai pelaku korupsi. Meski jumlah kasus dan pelaku terbilang kecil, korupsi militer ini menimbulkan kerugian negara mencapai Rp24,76 Triliun.
“Itu setara dengan 50% kerugian negara dalam tren vonis penindakan korupsi 2022 yang melibatkan 2.249 terdakwa,” sebutnya.
Selain menimbulkan kerugian negara fantastis, korupsi militer tersebut juga disertai nilai suap sebesar Rp89,35 miliar. Dari 15 pelaku, 13 orang di antaranya berpangkat perwira dan dua lainnya merupakan bintara. Dari 15 pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka, 10 diantaranya diproses hingga tahap persidangan. Pengadilan militer menyidangkan 6 orang anggota militer dan pengadilan tindak pidana korupsi menyidangkan 4 orang.
Dari seluruh anggota militer yang sedang atau telah menjalani proses persidangan, terdapat 5 anggota militer yang dihentikan penanganannya oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. 4 dari 5 anggota militer tersebut merupakan perwira militer. Proses pemeriksaan tersebut dihentikan dengan dalih kurang alat bukti. Kasus tersebut berkaitan dengan pengadaan helikopter AgustaWestland (AW)-101. Sedangkan, pelaku dari unsur sipil yang juga terlibat dalam kasus korupsi tersebut telah divonis selama 10 tahun penjara.
“Penghentian perkara ini patut diduga untuk menyelamatkan pihak lain dan semakin mempertebal adanya indikasi impunitas terhadap anggota tentara yang melakukan kejahatan di wilayah sipil,” ulas Wana.
Berkaitan dengan vonis, ICW menyimpulkan bahwa pengadilan militer tidak lebih tegas dibandingkan dengan pengadilan sipil yang menangani tindak pidana korupsi. Rata-rata vonis yang diberikan kepada anggota militer yang diproses di pengadilan tindak pidana korupsi sekitar 16 tahun penjara. Sedangkan, rata-rata vonis pada anggota militer di pengadilan militer sekitar 9 tahun.
Meski terdapat preseden pengenaan vonis seumur hidup terhadap personel TNI bintang satu, Teddy Hernayadi pada kasus korupsi pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan, namun tidak menggugurkan bahwa ada tebang pilih dalam proses penanganan perkara. Misal, dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan di Badan SAR Nasional (Basarnas) yang melibatkan Kepala Basarnas, Henri Alfiandi. Jenderal bintang tiga tersebut divonis penjara hanya dua tahun enam bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta.
“Adanya tebang pilih dalam penanganan perkara dan disparitas pengenaan vonis, menggambarkan bahwa pengadilan sipil lebih efektif dalam pemidanaan, dibanding pengadilan militer,” ungkapnya.
Dengan kondisi korupsi di tubuh militer yang cukup serius, dikebutnya Revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR dan Pemerintah tidak memberikan nilai tambah terhadap upaya pemberantasan korupsi. Revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup dan tidak partisipatif akan menimbulkan potensi kembalinya militer ke wilayah sipil tanpa menghilangkan impunitas yang melekat pada anggota militer.
Pembahasan aturan yang tertutup dan tidak partisipatif, selain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, juga akan membuka ruang adanya politik transaksional untuk kepentingan elit demi meloloskan aturan yang bermasalah. Alih-alih membuat anggota militer profesional, munculnya revisi UU TNI malah akan membuka ruang konflik kepentingan dan impunitas terhadap anggota militer yang terjerat kasus korupsi. (*)