Indonesia Fact-Checking Summit 2021 Bahas Stempel Hoaks dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Informasi Palsu

Indonesia Fact-Checking Summit 2021 Bahas Stempel Hoaks dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Informasi Palsu (ist)

JAKARTA, WongKito.co – Menarik Indonesia Fact-checking Summit 2021 membahas stempel hoaks pada karya jurnalistik yang dikeluarkan aparat menjadi sorotan dalam sesi berjudul “Menggugat Monopoli Kebenaran dalam Stempel Hoaks: Siapa yang Bisa Memeriksa Fakta”.

Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Gaib Maruto Sigit mengatakan label hoaks tidak bisa diberikan secara serampangan.

“Apalagi terhadap karya jurnalistik yang telah melalui proses verifikasi lapangan dan dikeluarkan oleh media kredibel,” ujarnya Kamis, 16 Desember 2021.

Ia menekankan yang bisa memberikan penilaian dari karya jurnalistik adalah Dewan Pers bukan instansi lain. Karena media yang memiliki conflict of interest dengan kepentingan bisnis, tidak melakukan pemeriksa fakta pada karya jurnalistik media lain.

"Tidak hanya soal stempel hoaks. Konten mis-disinformasi kerap beredar lebih cepat dan luas dibandingkan konten terverifikasi. Media massa serta pengecek fakta, yang memverifikasi konten, harus memiliki prioritas dan strategi distribusi yang tepat agar hoaks tersebut padam seketika," ujar dia.

Baca Juga:

Tim Cek Fakta TV-Kabar Makassar, Fritz V Wongkar mengungkapknya bersama rekan-rekannya di Kabar Makassar memilih format tayangan video via Youtube guna menangkal penyebaran hoaks sejak tiga bulan lalu. Publik dapat mengaksesnya via channel Kabar Makassar. Mereka sengaja memilih Youtube karena platform daring ini memiliki pengakses tertinggi di Indonesia, setidaknya berdasarkan survei HootSuite-We Are Social pada Januari 2021.


“Saat ini di newsroom kami hanya ada tujuh orang, jadi nanti ke depan, harapannya bisa lebih banyak (sumber daya),” ujar Fritz yang berencana menggelar pelatihan ke kampus-kampus agar bisa menjaring pengecek fakta potensial di wilayahnya.

Sementara Producer Podcast Cek Fakta KBR Widya Angga mengatakan kolaborasi pengecek fakta yang tergabung di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dengan Radio KBR memilih format suara dalam pembongkaran hoaks. Konten mereka itu ditayangkan setiap Senin dengan durasi 15 menit lewat siniar (podcast). Konten yang sama juga disiarkan secara daring via laman KBR.ID.

“Saat ini sudah ada 173 episode, setiap episode membahas lima hoaks,” kata Wydia dari KBR.

Pemilihan lima hoaks itu berdasarkan ranking hoaks yang paling riuh dari temuan Mafindo Co-founder and Fack Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia Aribowo memaparkan, kerja sama yang terjalin pasca Media Summit 2018 silam itu mulanya menggunakan format siaran namun semenjak pandemi berubah format karena pembatasan interaksi secara langsung dengan pengecek fakta di KBR.

“Kami ambil lima hoaks dengan engagement tertinggi dari pantauan Mafindo karena itu yang engagement-nya tertinggi, berarti jadi sorotan masyarakat,” kata dia seraya menambahkan penyebaran via siniar lebih mudah dibandingkan siaran radio yang sifatnya berlalu begitu saja.


Berdasarkan pengalamannya, konten bernada negatif dan berkaitan dengan isu politik merupakan yang paling sering muncul untuk dibahas dalam siniar Cek Fakta yang dikelola KBR. “Konten yang diplintir itu lebih sulit untuk dijelaskan karena terkadang publik menganggap foto atau videonya tidak dimodifikasi,” terang Aribowo.

Guna mensosialisasikan pentingnya menghentikan penyebaran hoaks, Aribowo dan Wydia memilih menyematkan jargon-jargon yang mudah diingat lewat siniar dan siaran. Misalnya, semboyan sharing yang penting bukan yang penting sharing, care with what you share. “Yang paling sering juga jaga emosi, tahan jari, verifikasi sebelum dibagi,” tambah Aribowo.


Dokter spesialis penyakit dalam, Adaninggar Prima Nariswari tergerak membuat konten cek fakta karena dirinya merasa semasa pandemi kerap beredar informasi yang menyesatkan di berbagai media sosial. Konten-konten menyesatkan itu semakin viral jika pesannya disampaikan oleh pejabat publik atau public figure. “Saya memilih buat meluruskan dari lingkungan terdekat dulu,” kata Adaninggar.

 

Sementara itu pada sesi ketiga, narasumber banyak menyoroti soal peredaran iklan digital (programmatic ads) dari perusahaan teknologi digital yang kontennya memuat informasi palsu. Kondisi ini memprihatinkan karena pada sisi lain, media daring memerlukan pemasukan.


Guna mengatasi kondisi tersebut, para pemantik serta penanggap dalam diskusi bertajuk “​​Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/Disinformasi” mendorong perlunya menciptakan ekosistem bisnis yang sehat. Media tetap menjaga kualitas dengan menayangkan iklan yang mematuhi kode etik periklanan dan tidak menyebarkan kebohongan. 
 

Putus Kerja Sama dengan Penyedia Konten Palsu

Managing Editor Kompas.com, Heru Margianto menyatakan, pihaknya memutus kerja sama dengan MGID Indonesia karena konten-konten programmatic ads dari perusahaan tersebut kental dengan hoaks. Pelatih pengecek fakta ini memberikan contoh konten iklan produk penurun berat badan yang menggunakan foto hasil comotan dari internet dan narasi yang difabrikasi.

Baca Juga:


Pengiklan membalut produknya dengan cerita fiksi terkait temuan produk penurun berat badan hingga 15 kilogram dalam satu pekan oleh Rini Kusumastuti. “Yang brutal, sampai-sampai (konten dibuat seolah-olah) Menteri Sosial Risma memberikan penghargaan dan mendukung produk itu,” tegas Heru sembari menegaskan hasil pengecekan fakta tidak menemukan informasi soal temuan perempuan tersebut tidaklah benar adanya.  


Alih-alih memutus kerja sama dengan MGID, pengelola programmatic ads, Fakhrurrodzi Baidi menyatakan, pihaknya terus memberikan kritik dan masukan kepada MGID. “Kami kirim via email kepada mereka. Kalau tidak membaik juga maka kredibilitas media juga ikut memburuk. Kalau begitu mungkin kami akan putus kerjasama sementara,” kata Fakhrurrodzi menambahkan.


Menyoal praktik buruk programmatic ads tersebut, Lilik Dwi Mardjianto mengusulkan agar pengiklan, agensi periklanan, perusahaan penyedia teknologi iklan, serta publisher atau media berkolaborasi guna membahas penyelesaiannya. “Ini klise dan pasti lama,” ujar Lilix.


Pihak media, sambung Lilix, mau tidak mau perlu melakukan terobosan dengan mengedepankan prinsip konten aman baru memikirkan profit. Bisa dengan membentuk tim guna verifikasi konten programmatic ads. Selain itu mengedepankan kerjasama dengan perusahaan teknologi yang mengutamakan kualitas konten iklan.


Dewan Periklanan Indonesia juga perlu memastikan seluruh penyelenggara periklanan tunduk pada etika pariwara Indonesia. Prinsip swakrama yang dasarnya dibentuk oleh komunitas periklanan itu sendiri perlu dipegang teguh. “Sudah ada anjuran agar pelaku periklanan melakukan konfirmasi ulang jika menemui informasi yang diduga tidak benar atau tidak tepat,” tambah Lilix.


Menanggapi berbagai kritikan tersebut, Moch. Rifki sebagai perwakilan MGID mengaku sudah melakukan pembenahan bertahap ke manajemen dan tim kontennya. Mereka juga memanfaatkan piranti verifikasi serta pengecekan informasi secara manual guna mengeliminir konten-konten iklan yang diduga disinformasi.


“Di internal kami lakukan edukasi untuk mekanisme advertorial yang benar. Kepada manajemen juga kami sampaikan edukasi terkait pendekatan kepada market Indonesia ada hal-hal yang penting diperhatikan dari sisi konten,” tutur Rifki yang menggunakan skema High Safety Ranking kepada iklan-iklan yang masuk ke MGID dari pengiklan.


Korban dari penggunaan konten di media sosial yang tidak bertanggungjawab untuk pariwara, Denia Isetianti mengapresiasi media massa dan MGID yang menyatakan permohonan maaf secara terbuka usai memuat foto tanpa izin dibalut narasi yang tidak benar.


Warganet bisa mengikuti langkah Denia dengan mengirimkan somasi kepada media massa jika ada foto atau dokumen elektronik miliknya tanpa izin. “Yang jadi catatan saya adalah ketika iklan (yang memuat foto saya) sudah diturunkan, ada lagi iklan dengan foto orang lain. Itu harus diperhitungkan lebih lanjut (oleh media massa) karena jika dipermasalahkan ke polisi dan gugatan pasti panjang urusannya. Denda paling banyak Rp12 miliar dan pasalnya tidak mengharuskan ada kerugian (dari pelapor),” kata Denia.(ril)

 


Related Stories