Ini Alasan Aktivis Lingkungan Protes Pembiayaan Perusahaan Batu Bara

Protes pembiayaan perusahaan batu bara. (istimewa)

JAKARTA, WongKito.co - Sejumlah aktivis melakukan aksi teatrikal dan mengirimkan karangan bunga di depan kantor Adaro Energy Jakarta, Senin 3 Mei lalu. Karangan bunga tersebut disebut sebagai tanda duka cita mendalam sekaligus ucapan selamat atas  berhasilnya perusahaan batu bara itu mendapatkan pinjaman dana dari perbankan.

Diketahui, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) baru saja mendapatkan fasilitas pinjaman senilai US$400 juta atau setara Rp5,79 triliun (kurs 1$ = Rp14.475) melalui sindikasi pinjaman dari sejumlah bank.

Berdasarkan laporan keterbukaan informasi yang disampaikan ADRO ke OJK dan BEI, pinjaman berjangka waktu 5 tahun tersebut akan digunakan untuk melakukan pelunasan lebih awal atas seluruh saldo pinjaman terutang yang dimiliki salah satu anak perusahaan ADRO, Adaro Indonesia, yang merupakan lini bisnis utama pertambangan batu bara milik perseroan.

“Perbankan tidak seharusnya mendanai proyek-proyek yang malah memperburuk krisis iklim dan membawa lebih jauh menuju keruntuhan ekologis dan kepunahan massal,” tegas partisipan aksi dari Extinction Rebellion Indonesia, Melissa Kowara.

Ia menyatakan, dalam mengatasi krisis iklim saat ini, dibutuhkan peran dari semua masyarakat termasuk lembaga keuangan sebagai pemberi modal. Diketahui, Bank BUMN yang termasuk di dalam sindikasi tersebut di antaranya adalah Bank Mandiri, BNI dan BRI. Hal ini menunjukkan masih nihilnya komitmen keuangan berkelanjutan dari bank-bank BUMN.

Dalam diskusi Green Finance: Tren Global dan Arah Lembaga Keuangan Nasional, Selasa (20/4) lalu, Ekonom Faisal Basri mengatakan, bank yang masih memberikan pinjaman untuk proyek energi kotor tidak berkomitmen mewujudkan ekonomi hijau. Sementara, bank-bank dalam negeri, termasuk BUMN, masih ada yang memberikan pinjaman (batubara). “Komitmen mereka tidak murni green financing tapi greenwashing atau berdiri dua kaki dengan membiayai proyek energi bersih, tapi di waktu bersama masih membiayai perusahaan batu bara,” ulasnya.

Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia menyatakan, terdapat indikasi konflik kepentingan yang begitu kuat di balik keputusan problematik sejumlah bank BUMN mendanai bisnis energi kotor batu bara Adaro Energy. Bank Mandiri, BNI, BRI yang secara serempak memutuskan untuk memberi dana berada dalam naungan Kementerian BUMN yang dipimpin oleh Erick Thohir, adik kandung dari CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir.

Kelindan kepentingan ini lantas menyebabkan prinsip pendanaan berwawasan lingkungan menjadi diabaikan. Dalam kerangka kebijakan yang lebih besar (Grand Policy) ini juga semakin menggenapi paket keistimewaan yang diperoleh Adaro Energy dari rezim pemerintahan saat ini setelah dalam UU Minerba terbaru mereka mendapatkan jaminan kepastian perpanjangan izin operasi secara otomatis.

Di regional, bank-bank dari Malaysia, yaitu CIMB dan Maybank dan bank asal Singapura, UOB juga terlibat dalam sindikasi ini. Padahal, CIMB tahun lalu baru saja mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi pembiayaan di sektor batubara. “Keputusan CIMB untuk tetap membiayai ADRO sangat bertolak belakang dengan komitmen CIMB untuk mengurangi asset produktifnya pada sektor batu bara”, ujar Pius Ginting, koordinator perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER).

“Banyaknya lembaga keuangan berbasis Malaysia dan Singapura yang berikan dukungan keuangan bagi industri batu bara adalah ironi. Sebagai negara yang terpengaruh oleh kejadian asap dan badai, kegiatan investasi pendanaan di Malaysia dan Singapura merugikan rakyatnya dan juga merugikan rakyat Indonesia yang rentan bencana terkait perubahan iklim,” tegas Pius.

Tidak hanya bank BUMN dan bank regional yang tidak konsisten dengan komitmennya, bank asal Inggris, Standard Chartered dan HSBC juga terlibat dalam sindikasi bank ini. “Standard Chartered dapat mengatakan bahwa mereka peduli dengan perubahan iklim, atau mengakui bahwa mereka akan tetap mendanai perusahaan batubara yang memperburuk perubahan iklim, tapi jelas Standard Chartered tidak dapat melakukan keduanya secara bersamaan,” kata Binbin Mariana, Indonesia Energy Finance Campaigner dari Market Forces.

Indonesia Team Leader 350.org, Sisilia Nurmala Dewi, menambahkan, masyarakat Indonesia terutama anak muda sudah semakin cerdas terhadap bahaya krisis iklim. Tidak perlu seorang jenius untuk melihat sentimen pasar yang haus akan pembangunan berkelanjutan.

“Bank dan investor harus memilih apakah akan membangun untuk keselamatan umat manusia atau menyelamatkan elite batu bara. Kami menunggu komitmen institusi keuangan dan para investor untuk segera berhenti mendanai energi fosil,” tukas Sisilia. (tri)

Bagikan

Related Stories