Ragam
Intip Yuk Profil Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia
JAKARTA – Film animasi Merah Putih: One for All resmi dirilis di bioskop pada Kamis, 14 Agustus 2025. Namun, jumlah layarnya terbatas dibandingkan film nasional pada umumnya, yakni hanya diputar di 16 layar di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, film Merah Putih: One For All batal tayang di seluruh jaringan bioskop Cinepolis Indonesia. Informasi tersebut disampaikan melalui Instagram.
“Film #MerahPutih: One For All, yang sebelumnya dijadwalkan tayang untuk menyambut momen kemerdekaan, resmi tidak jadi ditayangkan di seluruh jaringan Cinépolis Indonesia,” tulis Cinepolis Indonesia, Kamis, 14 Agustus 2025.
Baca juga:
- LRT Sumsel Hadirkan Tarif Promo Rp80 untuk Rayakan HUT RI dan Festival Perahu Bidar
- Tokoh Muda Perubahan Iklim Indonesia Bergabung dengan Kelompok Penasihat Muda Sekjen PBB
- XLSMART Hadirkan Beragam Promo Spesial Kemerdekaan
Meski batal tayang di Cinepolis, film Merah Putih: One For All tetap tayang secara terbatas melalui jaringan bioskop lain. Film ini hanya hadir di 16 layar di seluruh Indonesia, mencakup jaringan XXI dan Sam’s Studio.
Sutradara ternama Hanung Bramantyo secara terbuka menyuarakan pendapatnya setelah menonton film animasi tersebut. Menurutnya, kualitas film tersebut belum layak untuk ditayangkan kepada penonton di layar lebar bioskop.
Menurutnya, film yang diputar di jaringan bioskop besar seharusnya merupakan produk akhir yang telah matang. Ia heran bagaimana film yang masih mentah ini bisa mendapatkan slot penayangan.
Bicara soal film, ada sosok yang berperan sebagai sutradara yang penuh semangat, bertekad menghasilkan karya yang bukan sekadar menghibur. Sosok tersebut dijuluki Bapak Perfilman Indonesia.
Profil Usmar Ismail
Kalian pasti tak asing dengan nama yang satu ini, sosok ini dijuluki sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Usmar Ismail telah menorehkan warisan berharga yang tak lekang oleh waktu dalam sejarah perfilman tanah air.
Sosoknya yang visioner dan penuh semangat, ia berhasil membawa perfilman Indonesia memasuki babak baru, menjadikannya bukan sekadar sarana hiburan, tetapi juga media yang mencerminkan nilai-nilai budaya serta kemanusiaan.
Dilansir dari muspen.komdigi.go.id, ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921. Sejak kecil, ia telah menunjukkan bakat dan minatnya pada seni dan sastra.
Ayahnya, Datuk Tumenggung Ismail, merupakan seorang pengajar di Sekolah Kedokteran Padang yang memiliki kegemaran membaca dan menulis. Sementara, ibunya, Siti Fatimah, adalah sosok ibu rumah tangga yang penuh kasih sayang dan senantiasa memberi dukungan terhadap bakat anak-anaknya.
Usmar menempuh pendidikan di HIS Batusangkar, MULO Simpang Haru, Padang, sebelum akhirnya melanjutkan studi ke AMS-A Yogyakarta (SMA Negeri 1 Yogyakarta). Selama di AMS, ia terlibat aktif dalam beragam kegiatan seni, mulai dari drama, sastra, hingga jurnalistik.
Masa penjajahan Belanda menjadi masa penting dalam kehidupan Usmar Ismail. Melihat penindasan dan perlakuan tidak adil yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah membangkitkan rasa nasionalisme dalam dirinya, sekaligus menggerakkannya untuk menjadikan seni dan sastra sebagai sarana perjuangan.
Tahun 1942, Usmar Ismail pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai jurnalis di sejumlah surat kabar. Di kota ini, ia mulai berkenalan dengan dunia perfilman dan turut ambil bagian dalam berbagai proyek film pendek.
Dari pengalamannya itu, ia menyadari film memiliki kekuatan besar sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Dilansir dari Badan Perfilman Indonesia, bakat Usmar semakin terasah ketika ia bekerja di Keimin Bunka Shidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang) dan menggelar pementasan drama bersama Armijn Pane serta sejumlah budayawan lainnya.
Pada 1943, ia mendirikan kelompok sandiwara Maya bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, dan tokoh-tokoh lainnya.
Kelompok Maya menampilkan berbagai karya, di antaranya Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail), yang kemudian menjadi tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.
Usmar bergabung dalam dinas kemiliteran setelah Proklamasi Kemerdekaan dan bersama Sjamsuddin Sutan Makmur serta Rinto Alwi mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika Jakarta kembali diduduki sekutu pada September 1945, ia bersama rekan-rekannya mengungsi ke Yogyakarta, lalu mendirikan harian Patriot dan majalah bulanan Arena.
Pada 1946-1947, ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saat bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan meliput perundingan Belanda–RI di Jakarta pada 1948, Usmar ditangkap oleh Belanda dengan tuduhan terlibat dalam kegiatan subversi.
Usmar ditahan sambil dipekerjakan di South Pacific Corporation, perusahaan produksi film milik Belanda. Ia sempat membantu Andjar Asmara menyutradarai Gadis Desa, sebelum akhirnya menerima ajakan Andjar untuk terlibat dalam pembuatan film-film produksi perusahaan tersebut.
Dalam kurun satu tahun, Usmar berhasil menyutradarai dan merilis dua film perdananya, yakni Harta Karun dan Tjitra. Namun, keduanya tidak memberi kepuasan batin baginya karena ia merasa kebebasan kreativitasnya terkekang.
Bersama tokoh-tokoh film lainnya, seperti Rosihan Anwar dan Soegeng Suryahadi, ia mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada30 Maret 1950.
Kehadiran Perfini menjadi tonggak penting dalam sejarah perfilman tanah air, menghasilkan film-film berkualitas yang tidak hanya menghibur, tetapi juga kaya akan makna serta pesan moral.
Perfini tercatat sebagai perusahaan film pertama milik pribumi yang berdiri di Jakarta. Pada hari yang sama, Usmar Ismail sekaligus memulai pengambilan gambar film Darah dan Doa, karya yang menjadi film Indonesia pertama yang seluruh prosesnya digarap oleh anak bangsa.
Peristiwa bersejarah ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Untuk memperdalam keahliannya di dunia perfilman, pada 1952 Usmar melanjutkan studi di Amerika Serikat dan meraih kelulusan dari jurusan Film, Universitas California, Los Angeles.
Setelah kembali ke Tanah Air, ia dihadapkan pada situasi politik yang memanas menjelang Pemilu 1955, yang turut memengaruhi dunia perfilman. Kondisi perfilman saat itu juga memprihatinkan akibat ketatnya persaingan dengan film-film asal Malaya dan India, ditambah penolakan bioskop kelas satu yang dikuasai oleh film Amerika.
Penayangan film asing menjadi prioritas, sementara film Indonesia hanya memperoleh jatah kurang dari 15%, terkadang tidak mendapat kesempatan tayang sama sekali. Situasi ini membuat era 1950-an kerap disebut sebagai masa kelam perfilman nasional. Terlebih, para pejabat kala itu ramai membicarakan film-film Barat, khususnya yang bertema koboi.
Keadaan semakin memburuk ketika film-film Barat nyaris memonopoli bioskop kelas satu, sehingga tidak ada ruang bagi film Indonesia. Kondisi tersebut mengancam keberlangsungan perfilman nasional dan menghapus peluang untuk memperkenalkan karya para insan film Tanah Air.
Pada 1955, Usmar Ismail bersama Djamaluddin Malik memelopori penyelenggaraan festival film yang menyatukan para produser dan menjadi ajang tertinggi bagi insan perfilman Indonesia. Festival inilah yang kemudian dikenal hingga kini sebagai Festival Film Indonesia.
Di tengah aksi boikot film-film Amerika dan gencarnya serangan kelompok kiri terhadap Umar, kondisi keuangan Perfini mulai goyah hingga tak lagi mampu menopang operasional perusahaan. Meski beberapa karyanya sempat meraih sukses secara komersial, Usmar tetap tak dapat menyelamatkan Perfini dari krisis finansial.
Pada 1960, ia terpaksa menutup studio Perfini di Mampang. Setelah itu, ia masih sesekali memproduksi film melalui afiliasi dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama, serta sejumlah instansi pemerintah.
Namun, upayanya untuk kembali menancapkan kaki di industri film sepanjang dekade 1960-an selalu gagal.
Usmar meninggal pada 2 Januari 1971 dalam usia yang belum genap 50 tahun. Kepergiannya diwarnai kekecewaan mendalam terkait masalah kerja sama antara Perfini dan perusahaan film internasional asal Italia dalam produksi Adventures in Bali
Sepanjang hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 30 film. Beberapa karya layar lebar yang ia sutradarai antara lain Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Yogya (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Asrama Dara (1958), Pedjuang (1960), dan Big Village (1969).
Usmar Ismail dikenal sebagai sutradara yang penuh semangat. Ia bertekad menghasilkan karya yang bukan sekadar menghibur, tetapi juga merefleksikan realitas sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Karya-karyanya kerap mengusung tema perjuangan kemerdekaan, kemiskinan, kesenjangan sosial, serta kritik terhadap budaya materialistis.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 16 Aug 2025