Kehilangan Udara Bersih dan Kebun akibat Eksploitasi Batu Bara Versus Energi Hijau

Sejumlah warga Desa Muara Maung memasang spanduk bertuliskan "Merdekakan Kami dari Debu Batu Bara" saat perayaan hari Kemerdekaan RI ke-78 di tengah jalan menuju sejumlah perusahaan tambang di kawasan Merapi, Lahat, Sumatera Selatan (Foto Yayasan Anak Padi)

AKTIVITAS rutin yang harus dilakukan warga Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan setiap pagi, siang dan sore menyapu dan mengepel lantai rumah, karena kalau tidak debu-debu akan memenuhi lantai dan lantai rumah pun berwarna hitam.

"Tak lama usai menyapu debu hitam masih saja tampak di lantai rumah," kata Rani (21) salah seorang warga Muara Maung, dibincangi, Senin (30/10/2023).

Tak hanya debu berwarna hitam di lantai rumah, debu-debu dengan partikel halus pun menempel di setiap perabot rumah tangga, seperti rak piring dan peralatan elektronik sehingga harus selalu diberi penutup khusus dari kain atau plastik.

Rani dan warga Desa Muara Maung lainnya harus rutin menyapu dan mengepel lantai yang terkena debu batu bara.(Foto Reza Yuliana)

Bukan tidak dibersihkan setiap hari. 

"Setiap kami bersihkan, tidak lama debu menempel lagi," ujar Rani.

Sofran (63)  tetua Desa Muara Maung mengungkapkan bahkan untuk menjemur pakaian pun warga kesulitan, karena kalau tidak pandai-pandai bukannya mendapatkan baju dan celana bersih tetapi justru penuh dengan debu.

Saat ini, kondisi tersebut semakin parah karena eksploitasi batu bara pun semakin meningkat. Tak hanya untuk menyuplai dua Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mengepung desa tersebut tetapi juga dijual ke daerah lain, kata dia.

Ketika berkendara melintasi kawasan Merapi yang dikenal dengan Bukit Tunjuk atau biasa  juga disebut Gunung Jempol bagi warga Pagar Alam,  pada masa lalu  seakan berada di surga yang menyajikan beragam buah-buahan. Karena di kawasan pegunungan pohon duku dan rambutan tidak tumbuh produktif,  berbanding terbalik dengan di Merapi.

Ahmad (60) warga Kota Pagar Alam, mengungkapkan dahulu lokasi yang paling jadi pilihan istirahat  setiap melakukan perjalanan ke Kota Palembang yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Kota Pagar Alam adalah Merapi.

"Ketika musim buah biasanya, banyak penjual buah menawarkan dagangan di sepanjang jalan di pondok-pondok bambu, tinggal pilih mau buah duku, durian, atau rambutan juga rambai yang biasanya dibeli untuk oleh-oleh," kata dia.

Namun, kondisi itu tidak lagi ditemui sejak eksploitasi besar-besaran batu bara di kawasan yang kini menjadi ladang paling "subur" untuk pengusaha batu  bara.

Sofran menambahkan kini pondok-pondok penjual buah telah berganti dengan truk-truk batu bara yang parkir di sepanjang kawasan Merapi pada siang hari. Kemudian menjelang malam, truk-truk penuh berisi batu bara berjalan melintasi jalan negara di wilayah Lahat dan Muara Enim menuju lokasi-lokasi pengepul sumber energi fosil di tepi Sungai Musi.

"Kami pun sudah tidak punya kebun buah lagi," ujar dia.

"Kebun kami sudah tidak produktif lagi, sungai kami pun kering di musim kemarau dan banjir saat musim hujan," kata Sofran lagi.

Warga Desa Muara Maung tak hanya tercemar debu, tapi saat musim hujan Sungai Kungkilan meluap menyebabkan rumah dan kebun warga kebanjiran.(Foto Syahwan)

Sentra Tambang dan PLTU

Kawasan Merapi terdiri dari tiga kecamatan yaitu Merapi Barat, Merapi Selatan, dan Merapi Timur merupakan salah satu sentra tambang batu bara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Sumatera Selatan.

Untuk tambang batu bara mayoritas milik perusahaan swasta, seperti PT Golden Great Borneo, PT Bara Alam Utama,  dan PT Muara Alam Sejahtera.

Sedangkan PLTU yang beroperasi di wilayah Merapi adalah PLTU Keban Agung 2x135 MW dan Banjar Sari 2x110 MW.

Ketua Yayasan Anak Padi Lahat, Syahwan mengungkapkan banyak dampak buruk yang dirasakan warga di kawasan Merapi akibat eksploitasi batu bara dan beroperasinya dua unit PLTU.

Ia bercerita Sungai Kungkilan yang melintasi Desa Muara Maung dan desa-desa lain  yang berdekatan menjadi salah satu parameter dari dampak kerusakan alam di daerah tersebut.

Sungai Kungkilan, setidaknya 10 tahun lalu masih menjadi sumber mata air utama warga desanya kini tidak dapat digunakan lagi.

Padahal pada tahun 2014, warga masih menggunakan air Sungai Kungkilan untuk konsumsi dan mandi. Tapi kini, musim kemarau kering dan saat musim hujan bisa berkali-kali meluap.

Lumpur yang meluap dari Sungai Kungkilan biasanya bukan tanah biasa tetapi bercampur dengan limbah batu bara, juga limbah PLTU. 

"Sungguh kondisi ini sangat memprihatinkan," kata dia.

"Sungai rusak, air berwarna hitam dan bau serta kering saat kemarau akibatnya lahan perkebunan dan sawah kami pun rusak, tidak ada lagi yang produktif," kata dia lagi.

Penduduk Desa Muara Maung mencapai 415 kepala keluarga dan mayoritas selama ini mengandalkan hidup dari bercocok tanam dengan Sungai Kungkilan sebagai sumber air utama.

Tahun 2022, Syahwan menambahkan saat musim hujan pernah dalam 1x24 jam terjadi dua kali luapan air bercampur limbah batu bara.

Banjir tersebut terjadi sejak tahun 2020 hingga kini tiap musim hujan berulang kembali.

Sebab, tak hanya terjadi pendangkalan sungai tetapi hasil penelusuran juga diketahui sejumlah perusahaan sengaja memindahkan badan Sungai Kungkilan sesuai dengan kepentingan tambang tersebut.

Bahkan, Sungai Kili di desa tetangga yaitu Desa Kebur dan Desa Telatang kini sudah ditutup tambang batu bara, tidak ada lagi akses saluran air, tambah Syahwan.

Terkait dengan polusi udara, Reza Yuliana pengurus Yayasan Anak Padi mengungkapkan sudah  terjadi sejak tahun 2010.

Namun, pencemaran udara semakin buruk setelah dua PLTU beroperasi pada tahun 2012 dan tahun 2015, kata dia.

Ia mengungkapkan kini jarang sekali menemukan anak-anak yang tidak terpapar infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Hampir setiap hari ada anak yang batuk dan pilek bahkan sesak napas.

Pantauan Yayasan Anak Padi, dari 5 orang anak yang bermukim di desa setidaknya ada 3 orang yang terkena ISPA setiap bulannya. 

Begitu juga dengan kelompok lanjut usia (Lansia) yang terpapar sesak pernapasan menjadi masalah yang kian tak berujung. 

"Kondisi tersebut menggambarkan kesehatan anak-anak dan lansia sangat rentan terpapar penyakit di tengah kualitas udara yang sangat buruk," kata dia.

Mengutip Data United Nations Climate Action, adanya gas rumah kaca (GRK) yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas matahari penyebab utamanya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, berupa  batu bara, minyak, dan gas.

GRK berdampak pada krisis iklim yang terjadi secara global, diantaranya suhu menjadi lebih panas,  cuaca sulit diprediksi akibatnya ancaman bencana hidrometeorologi sulit untuk diantisipasi.

Secara global, pembakaran bahan bakar fosil memproduksi emisi sekitar 34 miliar ton (Gt) per tahun. 

Dari angka tersebut, emisi tertinggi berasal dari pembakaran batu bara, lalu 35 persen minyak bumi, lalu sekitar 20 persen dari gas.

Sedikit berbeda dengan peta dunia, di Indonesia penyumbang GRK terbesar merupakan bidang kehutanan dan tata guna lahan (Forest & Other Lans Use/FOLU) sedangkan energi bahan bakar fosil di posisi kedua, tetapi tren menunjukkan bahwa kontribusi dari sektor energi terhadap emisi terus meningkat.

Laporan Pembaruan Ketiga Indonesia kepada UNFCCC tahun 2021, total emisi GRK untuk tiga GRK utama (CO2, CH4 dan N2O) mencapai 1.845.067 GgCO2e. Sektor penyumbang utama adalah AFOLU, termasuk kebakaran lahan gambut (50,13%) yang diikuti oleh energi (34,49%), limbah (6,52%), dan IPPU  (3,15%). Emisi GRK (setara CO2) tersebar secara tidak merata antara ketiga gas tersebut, yakni masing-masing sebesar 85,51%, 10,86% dan 3,62% untuk CO2, CH4 dan N2O.

Penggunaan bakar bakar bakar fosil sampai kini, dipastikan digunakan untuk kebutuhan menghasilkan listrik, makin tinggi ketika kampanye penggunaan kendaraan listrik terus digaungkan dengan beragam insentif yang disiapkan pemerintah. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga 2023 Indonesia memiliki 253 PLTU. 

Ratusan PLTU tersebut tersebar di Nusantara, dimana sebanyak 26 unit PLTU beroperasi di Pulau Kalimantan dan Banten serta Jawa Timur memiliki masing-masing 22 unit PLTU.

Transisi energi dari yang berbahan  bakar fosil menjadi energi baru terbarukan mendesak untuk dilakukan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Suasana malam Kota Pagar Alam dari 1.336 Mdpl Gunung Dempo.(Foto Hakim)

Kota dengan Energi Hijau

Jarak dari kawasan Merapi, Lahat ke Kota Pagar Alam sekitar 70 kilometer atau butuh sekitar 1 jam lebih waktu tempuh untuk mencapai lokasi daerah yang kini dijuluki kota dengan energi hijau.

Sedangkan lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTMH) Endikat berada di wilayah perbatasan dua daerah tersebut yang masuk area Kabupaten Lahat, tepatnya di Desa Singapure kalau dari pusat Kota Pagar Alam membutuhkan waktu sekitar 37 menit menggunakan kendaraan roda empat.

Laiknya, perkampungan di kawasan pegunungan permukiman yang dilalui merupakan rumah-rumah penduduk yang khas, berbahan kayu dengan tiang atau biasa disebut rumah tinggi oleh warga lokal.

Tak hanya melewati perkampungan penduduk, menuju lokasi PLTMH juga melewati kebun, kolam, danau dan tentunya sejumlah aliran sungai, diantaranya Sungai Selangis, Sungai Lematang dan Sungai Lempaung.

Mendekati lokasi pembangkit, jalan pun menjadi sempit hanya bisa dilalui sebuah mobil dan berada di kawasan perbukitan yang salah satu bagian tepi jalannya merupakan jurang. Tak adalagi rumah-rumah penduduk karena sudah memasuki kawasan hutan.

Tiba di area PLTMH Endikat milik PT Green Lahat, disambut dengan hamparan batu-batu besar dan air jernih yang tampak terlihat debitnya sedang berkurang serta pekerja melakukan aktivitas galian C.

"Aku pertama kali keliling lokasi ini, merasa seperti bukan di daerah kita," kata Wawan salah seorang jurnalis yang bertugas di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, saat berkunjung ke area pembangkit listrik alternatif tersebut, belum lama ini.

Iya mengakui, awalnya belum sama sekali mengetahui informasi terkait beroperasinya PLTMH di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Endikat tersebut.

Sampai akhirnya, kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Kota Pagar Alam, pada Senin (24/1/2022) yang diantaranya saat berpidato mengungkapkan rasa bangga karena kini kota yang berada di kaki Gunung Dempo tersebut telah dialiri listrik dari energi baru terbarukan (EBT) yang berasal dari PLTMH Endikat.

Sebagai jurnalis, ia mengaku segera mencari tahu bagaimana caranya untuk bisa melakukan reportase dengan mendatangi lokasi PLTMH milik perusahaan swasta tersebut.

Sampai akhirnya, ia pun bertemu dengan humas perusahaan dan berkesempatan diajak keliling lokasi PLTMH.

"Lokasi PLTMH yang berada di antara dua bukit dan sangat luas membuat aku berpikir ini bukan di Pagar Alam ataupun di Lahat," kata dia lagi.

Bendungan besar, aliran air yang tertata, pipa berukuran raksasa dan turbin-turbin pembangkit listrik menjadikan pemandangan  baru di tengah hutan tersebut. Tak  hanya itu, di lokasi PLTMH Endikat juga terdapat mess atau tempat tinggal karyawan perusahaan tersebut.

Muslimah (60) warga Pagar Alam mengakui kini tidak pernah terjadi biarpet atau pemadaman bergilir yang dulu kalau padam bisa semalam atau bahkan pernah sampai 24 jam.

Beberapa tahun lalu, ia bercerita kalau giliran ada pemadaman listrik paling cepat berlangsung 3 jam baru kembali menyala.

Namun, sejak dua tahun ini tidak adalagi pemadaman serupa.

"Kalaupun padam paling  sekejap saja, dan paling lama sekitar 5 menit,"  kata dia.

Ia mengungkapkan sangat merasakan perbedaan pelayanan listrik PLN beberapa tahun ini.

Untuk tarif listrik atau bayarannya pun tidak berubah, setiap bulan berkisar Rp 70 ribu bahkan selama pandemi COVID-19 lalu gratis membayar beban pemakaian listrik karena daya listrik di rumah hanya 450 watt, tambahnya.

Peta PLTMH milik PT Green Lahat dari tangkapan layar Google Map

100 persen EBT

Operasional PLTMH Endikat, di wilayah DAS Desa Singapure Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan tersebut diawali dengan penandatanganan kontrak perjanjian jual beli listrik atau PPA dan  dan kontrak pembelian excess power oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN persero) dengan pengembang pembangkit energi baru terbarukan (EBT) tersebar di Regional Sumatera dengan total kapasitas 115,6 megawatt (MW).

Penandatanganan nota kesepahaman kala itu, pada Senin (30/5/2016) di Jakarta menjadi langkah penting bagi pemerintah untuk mencapai target transisi energi berkelanjutan hingga 25 persen pada tahun 2025.

Selain pembangkit listrik di Sumatera Selatan, sejumlah provinsi lain yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu dan Lampung serta Bangka Belitung juga termasuk dalam PPA dengan PT PLN tersebut.

PLN mengungkapkan beban listrik di Sumatera mencapai 5.250 MW. Hingga kini energi listrik mayoritas dipasok dari pembangkit listrik gas dan batu bara yang mencapai lebih dari 60 persen.

Team Leader Pelayanan Administrasi ULP PLN Kota Pagar Alam, Wella Datika mengakui sejak bergantinya pasokan listrik dari pembangkit batu bara atau PLTU ke PLTMH layananan kepada pelanggan lebih optimal.

"Sekarang ini tidak ada lagi biarpet dengan beban puncak berkisar 7 Megawatt (MW), kalaupun ada pemadaman biasanya karena memang sedang ada pekerjaan pemeliharaan jaringan dan tidak serentak pada semua pelanggan," kata dia ketika dijumpai di Kantor PLN Pagar Alam, Kamis (19/10/2023).

Ia menjelaskan saat ini PLN ULP Pagar Alam melayani sebanyak 64.173 pelanggan yang mayoritas merupakan rumah tangga.

"Kalau dulu kan pasokan listrik ke Pagar Alam berasal dari sistem interkoneksi listrik Sumatera dari pembangkit-pembangkit batu bara yang terdekat di Kabupaten Lahat sehingga saat beban puncak hampir terjadi penurunan pasokan."

"Hampir setiap waktu, dulu kami mendapat komplain dari pelanggan, kini sejak beralihnya pasokan listrik ke PLTMH masalah biarpet dan kekurangan daya sudah dapat teratasi," ujar dia.  

Salah satu rumah turbin milik PT Green Lahat di kawasan DAS Endikat, Desa Singapure, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan

Produksi 10 MW

Berlokasi di wilayah DAS Endikat, PLTMH milik perusahaan swasta PT Green Lahat tersebut tergabung dalam Independent Power Producer (IPP) beroperasi sejak tahun 2015 tidak jauh dari kawasan yang termasuk dalam wilayah Bukit Barisan Sumatera, tepatnya Bukit Jambul Gunung Patah, di Desa Singapure, Kota Agung, Kabupaten Lahat.

Kepala Desa Singapure, Arsito mengungkapkan PT Green Lahat beroperasi sekitar 300 hingga 400 meter dari hutan lindung di kawasan tersebut.

"Area pembangkit itu tidak termasuk dalam kawasan hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah tapi memang jaraknya lumayan dekat," kata dia ketika diwawancara pada Rabu (25/10/2023).

Ia bercerita meskipun secara geografis dan administratif Desa Singapure berada di Kabupaten Lahat, tetapi  berbatasan langsung dengan Desa Bandar yang masuk Kota Pagar Alam, karenanya selama ini kondisi pasokan energi listrik di daerah tersebut persis dengan pelanggan PLN di kawasan Lembah Dempo alias Pagar Alam.

Arsito menambahkan sejak mendapatkan pasokan listrik dari PLTMH Endikat, desa-desa di sekitar pembangkit tersebut tidak lagi terdampak biarpet. Listrik menyala selama 24 jam.

Selain Desa Singapure, setidaknya ada lima desa lainnya yang menerima pasokan listrik dari PT Green Lahat yaitu Desa Bangke, Desa Tebat Langsat, Desa Gunung Liwat dan Desa Kebun  Jati serta Desa Tanjung Raman yang semuanya masuk wilayah Kecamatan Kota Agung.

PLTMH Endikat beroperasi di kawasan DAS dengan luas 284,32 kilometer persegi dengan panjang sungai 41 kilometer dan rata-rata curah hujan tahunan 222,17 milimeter serta debit air rata-rata 13.217 meter kubik per sekon dengan head netto sebesar 89,21 meter. 

Humas PT Green Lahat, Victor Rogo menjelaskan sebenarnya perusahaan tersebut  telah mengoperasikan dua PLTMH yaitu PLTMH I dan PLTMH II di area yang berjarak ratusan meter saja di DAS Endikat.

Tetapi PLTMH Endikat I atau Lahat I telah beroperasi lebih dahulu dengan kapasitas 10 MW, dimana 70 persen atau 7 MW didistribusikan ke Kota Pagar Alam dan sisanya listrik disalurkan untuk Kabupaten Lahat.  

Penyaluran dilakukan ke Gardu Hubung Lahat dengan panjang jaringan mencapai 55 kilometer  terinterkoneksi dengan gardu induk Lahat. 

Sedangkan PLTMH II, mulai dibangun pada tahun 2022, dengan produksi listrik mencapai 8 MW dan secara khusus 100 persen disalurkan untuk pelanggan PLN di wilayah Kabupaten Lahat.

Victor yang merupakan warga Desa Singapure mengatakan produksi energi listrik dengan memanfaatkan air tersebut selama ini sangat tergantung dengan debit air, tetapi sejauh ini bisa dipastikan debit air sangat stabil.

Hal itu, tentunya tidak lepas dari tahapan pembangunan proyek PLTMH Endikat yang telah berlangsung sejak tahun 2010.

Dimulai dari tahap perencanaan, studi kelayakan, perancangan detail, konstruksi dan hingga sekarang tahap pemeliharaan yang terus dilakukan sesuai standar dan ketentuan berlaku.

Di sisi lain, ia juga menjelaskan aspek lingkungan menjadi salah satu konsentrasi yang dilakukan perusahaan sehingga bisa dipastikan operasional PT Green Lahat tidak berdampak pada kerusakan lingkungan.

"Setiap pohon yang terpaksa ditebang, langsung kami menganti dengan menanam pohon baru, itu konsekuensi sebagai cara tetap menjaga lingkungan operasional pembangkit listrik bertenaga air," tegas dia.

Tak hanya itu, warga lokal yang bermukim di desa-desa sekitar PT Green Lahat juga direkrut untuk bekerja di perusahaan tersebut. "Termasuk saya," kata Victor.

Area bendungan di PT Green Lahat. Foto istimewa

Belum Transparan

Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sriwijaya (Unsri) DR. Muhammad Subardin mengatakan transisi energi menjadi energi baru terbarukan atau energi hijau menjadi kebutuhan mendesak, tetapi tetap saja dalam setiap upaya membangun infrastruktur harus mengedepankan aspek melestarikan lingkungan, tata kelola yang akuntabel, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal.

"Jangan sampai menghasilkan energi hijau, tapi prosesnya malah merusak lingkungan, karenanya kajian lingkungan yang komprehensif menjadi mutlak," kata dia ketika diwawancarai, Senin (23/10/2023).

Ia mencontohkan pembangunan PLTMH di kawasan DAS Endikat tersebut tentunya harus dipastikan tidak merusak bentang alam.

Diakuinya, bisa saja bentang alam tampak tidak mengalami kerusakan tetapi tetap saja ada dampak permasalahan lingkungan meskipun tergolong mikro. Seperti menganggu habitat ikan yang biasanya memijah atau berkembang biak harus ke bagian hulu sungai tetapi karena dibuat bendungan ikan tidak bisa lagi ke hulu.

"Itu contoh yang paling mikro, ketika sungai berubah fungsi," tegas dia.

Apalagi, jika terjadi perubahan struktur hutan atau DAS menjadi area terbuka atau kawasan baru. Tentunya, secara kasat mata berdampak pada berkurangnya tutupan hutan di kawasan tersebut.

Konsekuensi dari pembukaan hutan seperti diketahui menjadi penyumbang tertinggi emisi GRK di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi, EBT energi yang bersumber dari alam yang dapat digunakan kembali dengan bebas, dapat diperbarui terus-menerus, dan tak terbatas, contohnya angin, air, matahari, gelombang, dan pasang surut air laut.

Undang-undang energi juga mengatur antara lain, hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan energi.

"Idealnya, EBT dibangun dengan melibatkan komunitas bukan berskala industri," kata Subardin lagi.

Tak hanya itu, produksi energi hijau juga hendaknya berbiaya terjangkau dengan teknologi yang murah, tambah dia.

Kembali ia mencontohkan masyarakat di daerah yang perbatasan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat di kawasan Rantau Dedap, Desa Segamit telah secara berkelanjutan menghasilkan energi listrik menggunakan kincir air.

Dimana, setiap kelompok beranggotakan 10 sampai 25 orang warga desa dan terdapat 10 unit turbin yang hingga kini masih beroperasi optimal. Turbin tersebut rata-rata menghasilkan daya listrik mulai dari 1.000 watt hingga 10.000 watt tergantung besar turbin yang dioperasikan masyarakat.

"Praktik itu, tentu menjadi contoh ril bahwa produksi energi listrik berbasis komunitas dan murah telah dilakukan masyarakat yang patut diapresiasi pemerintah dan diberikan dukungan sehingga kegiatan serupa bisa dilaksanakan di daerah lain," ujar dia.

Faktanya, pemerintah masih memandang sebelah mata tetapi  justru menghadirkan energi hijau berbasis industri yang notabene berbiaya mahal.

Hasil penilikan pun, hingga kini belum ada transparansi terhadap aktivitas perusahaan penghasil EBT yang menyuplai energi listrik ke PLN di Sumatera Selatan.

Di era keterbukaan informasi ini, tambah Subardin perusahaan wajib memublikasikan aktivitas usaha, termasuk investasi dari mana, besaran investasi termasuk juga laporan neraca perusahaan secara berkala.

Guna meminimalisir eksternalitas negatif, menurut dia tidak ada kata terlambat bagi perusahaan dan pemerintah dalam menyampaikan keterbukaan informasi publik.

Ia menyarankan agar perusahaan yang berkolaborasi dengan PLN mengajak kaum profesional, akademisi, masyarakat, media membangun komunikasi secara umum untuk kepentingan publik.

DAS Endikat termasuk kawasan yang  menjadi area jelajah satwa liar, seperti Harimau Sumatera yang mendiami wilayah Bukit Barisan. (Foto:NIla Ertina FM)

Asas Keadilan dan Keberlanjutan

Implementasi transisi energi baru terbarukan yang dilakukan pemerintah hendaknya tetap berpegang pada asas keadilan dan keberlanjutan baik bagi masyarakat lokal maupun satwa liar.

Boni Bangun dari Hutan Kita Institute (HAKI) mengungkapkan pembangunan proyek EBT, PLTMH milik PT Green Lahat tersebut telah berdampak berkurang aliran air sungai untuk sawah masyarakat.

Karena diketahui, ada aliran sungai yang dipindahkan untuk membuat bendungan pembangkit listrik tersebut, kata dia, Senin (30/10/2023).

Pemindahan aliran air sungai tersebut menjadi salah satu bentuk menghilangkan secara paksa hak masyarakat terhadap air yang merupakan tindakan menepis asas keadilan.

Begitu pula dengan perubahan bentang alam yang dilakukan untuk membangun infrastruktur berdampak pada rusaknya ekosistem dimana kawasan DAS Endikat sebagai bagian dari gugusan Bukit Barisan Sumatera memiliki kekayaan flora dan fauna yang khas dan langka.

Kawasan tersebut juga menjadi salah satu wilayah jelajah Harimau Sumatera dan hewan liar lainnya, yang kini telah beralih fungsi berarti akan berdampak pada kesulitan hewan-hewan tersebut memenuhi kebutuhan makanan maupun area berlindung mereka.

Satwa liar yang terganggu sejak beberapa tahun ini, telah menyebabkan terjadi konflik antara hewan  dan masyarakat, seperti harimau dan beruang masuk perkampungan dan menyerang manusia.(Nila Ertina FM)

Liputan ini merupakan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangka fellowship “Pentingnya Coal Phase-Out dalam Upaya Krisis Iklim di Indonesia"

Editor: Susilawati

Related Stories