KabarKito
Koalisi Minta Presiden Perpanjang dan Perkuat Inpres Moratorium Sawit
PALEMBANG, WongKito.co - Sejumlah aktivis dan peneliti yang tergabung dalam Koalisi Moratorium Sawit mendesak agar Inpres Moratorium Sawit yang akan berakhir pada 19 September 2021 bisa diperpanjang dan diperkuat untuk mewujudkan tata kelola sawit berkelanjutan.
Peneliti dari The Institute for Ecosoc Right, Sri Palupi mengatakan, Inpres tersebut memang belum tuntas dilaksanakan dan belum sepenuhnya mencapai tujuannya. Namun dampak positif dari pelaksanaan Inpres sudah tampak di beberapa daerah yang memberikan respon positif terhadap pelaksanaan Inpres tersebut.
“Karena itulah Inpres Moratorium Sawit penting dan mendesak bukan hanya untuk diperpanjang tetapi juga untuk diperkuat agar dapat mencapai tujuan,” ujar Sri dalam keterangannya, Selasa (6/7).
Menurutnya, kebijakan ini sangat strategis, hanya saja belum optimal dalam tataran implementasi. Selain itu, diperlukan penguatan produk hukum dengan disertai target yang spesifik, seperti peningkatan produktivitas maupun review izin yang jelas.
Rahmadha, Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak menyampaikan, peluang strategis Indonesia di pasar global berpeluang hilang jika aturan ini tidak diperpanjang. Persoalan seperti review izin dan konflik sosial yang belum tuntas dapat menciptakan sentimen negatif. Apalagi proyeksi konsumsi sawit Indonesia sampai tahun 2024 masih didominasi oleh pasar ekspor.
Kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak sawit Indonesia yang berkelanjutan adalah hal terpenting yang terus dijaga dan ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia. Mengingat setiap tahunnya, sebesar 19% konsumsi dan permintaan dari total CPO global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan, perpanjangan moratorium sawit juga dibutuhkan oleh daerah untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. Salah satu langkah yang perlu diapresiasi adalah komitmen Pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah kaji ulang terhadap izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir.
Hasilnya, pencabutan 14 izin perusahaan sawit oleh Bupati dan rencana mencabut izin empat perusahaan di provinsi konservasi tersebut. Dia menilai, langkah ini juga semestinya dapat dilakukan pemerintah daerah lain untuk mengurai permasalahan serupa.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, lebih dari semata pencabutan izin, kebijakan Moratorium Sawit mendatang sudah semestinya menjadi langkah korektif bagi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Salah satunya meminta semua tutupan hutan tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai HCV atau melalui skema hutan adat.
“Hal yang perlu ditekankan lagi ialah kebijakan Moratorium mendatang tidak hanya dilaporkan pada Presiden tetapi juga harus dipublikasi ke publik untuk menjamin keterbukaan informasi,” terang Arie. (tri)