Konsorsium Permampu: Peringati Hari Keluarga, Bangun Empati Intergenerasi

tangkapan layar (Foto Permampu)

PALEMBANG, WongKito.co - Memperingati Hari Keluarga, 29 Juni 2025 Konsorsium Permampu mengajak seluruh masyarakat untuk kembali menempatkan keluarga sebagai fondasi utama dalam pembangunan sebuah keluarga yang kecil, bahagia, dan sejahtera.

Perayaan Hari Keluarga yang diselenggarakan berlangsung secara hybrid pada delapan provinsi, mencakup 38 titik lokasi di tingkat kabupaten/kota, dengan mengangkat topik: "Membangun Empati Intergenerasi di Keluarga".

Dina Lumbantobing, Koordinator Konsorsium Permampu yang juga fellow Ashoka dimana Pesada menjadi salah satu co-founder dari keluarga Pembaharu, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (28/6/2025) mengatakan kegiatan tersebut dihadiri 572 peserta dari delapan perwakilan organisasi perempuan di Sumatera.

Ia mengungkapkan pendekatan berbasis keluarga bukanlah hal baru, terutama bagi Pesada.

Sebagai contoh, di tahun 1991, Pesada telah mendirikan Taman Bina Asuh Anak di Kecamatan Salak (yang sekarang menjadi Kabupaten Pakpak Bharat) dan membentuk kelompok orang tua.

Baca Juga:

Namun, karena pengaruh budaya dan stigma yang menyatakan bahwa perawatan anak adalah tanggung jawab ibu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan masih terbatas, tambah dia.

Dina menambahkan pemikiran ini terus berkembang sejak tahun 1991 hingga di tahun 2015 Pesada yang menjadi Pengelola Konsorsium Permampu mengembangkan Keluarga Peduli HKSR, dan berlanjut dengan ide baru berupa Keluarga Pembaharu yang melibatkan seluruh anggota Keluarga.

Sementara Virlyan Nurkristi sebagai perwakilan dari Inklusi yaitu Lembaga Kemitraan Australia Indonesia menuju Masyarakat Inklusif menyampaikan  dukungan penuh Inklusi atas ide inovatif Gerakan Keluarga Pembaharu untuk pembaharuan nilai menuju kesetaraan yang saling menghormati di dalam keluarga.

Hal ini telah disaksikan alam kunjungan monitoring ke  Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
 
Sedangkan, Nani Zulminarni mengajak peserta untuk melihat keluarga dari perspektif yang lebih jujur dan kritis.

Menurutnya, keluarga sering kali menjadi institusi yang sarat dengan ketidaksetaraan. Ketimpangan peran, status, dan kedudukan begitu lekat dalam keseharian keluarga, terutama dalam keluarga besar yang melibatkan banyak generasi seperti nenek-kakek, ayah-ibu, paman-tante, hingga anak-anak.

Ketidaksetaraan ini tak jarang melahirkan kesenjangan bukan hanya dalam hal tanggung jawab, tetapi juga dalam akses terhadap kesempatan, pengalaman hidup, keterampilan, informasi, hingga teknologi.

Maka dari itu, memperkuat nilai empati dan keadilan di dalam keluarga menjadi sangat penting, agar setiap anggotanya bisa tumbuh setara dan saling mendukung.

Perayaan Hari Keluarga Nasional tahun ini bukan hanya peringatan, tetapi juga panggilan: untuk menata kembali relasi dalam keluarga, membangun empati lintas generasi, dan menjadikan rumah sebagai ruang aman bagi semua anggotanya.

Semangat dan antusiasme terasa begitu kuat dari seluruh peserta yang mengikuti perayaan Hari Keluarga Nasional. Tak hanya sekadar seremonial, perayaan ini juga menjadi ruang refleksi dan diskusi kritis antar generasi yang menggugah kesadaran kolektif tentang pentingnya peran keluarga dalam membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Keluarga bukan hanya sekumpulan orang yang tinggal dalam satu atap. Lebih dari itu, keluarga adalah unit sosial terkecil yang menjadi sekolah pertama bagi anak-anak, tempat mereka belajar nilai, empati, dan kehidupan. Di sinilah sesungguhnya proses pencegahan terhadap berbagai persoalan sosial dimulai, seperti perkawinan anak di bawah usia 19 tahun, dan kekerasan terhadap perempuan.

Dalam masyarakat, struktur keluarga terdiri dari individu-individu yang beragam dari segi usia, jenis kelamin, peran, dan kemampuan. Mereka terikat dalam hubungan yang kompleks, saling bergantung dan saling membutuhkan. Dalam struktur ini, empati menjadi kunci.

Empati bukan sekadar rasa kasihan, tetapi kemampuan untuk benar-benar memahami dan merasakan apa yang dialami oleh anggota keluarga lainnya. Tanpa empati, relasi dalam keluarga mudah berubah menjadi timpang dan penuh ketegangan.

Keluarga sebagai Ekosistem dengan Empati sebagai Fondasi

Gerakan Keluarga Pembaharu hadir membawa semangat baru sebuah upaya untuk membentuk ekosistem yang memungkinkan setiap anggota keluarga menjadi agen perubahan.

Gerakan ini bertujuan mendorong setiap individu untuk terus berkontribusi sepanjang hayat, melindungi hak untuk memberi, dan menciptakan ruang tumbuh yang saling mendukung. Dalam paparannya, Nani Zulminarni menekankan bahwa untuk mewujudkan gerakan ini, dibutuhkan perubahan paradigma dalam memandang keluarga.

Paradigma baru itu merumuskan bahwa keluarga adalah sebuah tim, relasi antar generasi berbentuk orbital atau oval, tidak lagi hierarkis dan seluruh relasi dalam keluarga harus berpijak pada empati. Untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, Gerakan Keluarga Pembaharu dibangun di atas empat pilar utama yaitu: Empati, Kerja sama tim yang kolaboratif, tindakan nyata untuk perubahan dan Kepemimpinan baru

Empati, menurut Nani, adalah fondasi yang tak tergantikan. Ia adalah kemampuan untuk melihat dan merasakan tantangan yang dihadapi oleh anggota keluarga lain terlepas dari usia, gender, disabilitas, maupun latar belakang mereka.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam keluarga intergenerasi adalah soal komunikasi. Untuk itu, Nani menawarkan komunikasi tanpa kekerasan sebagai pendekatan yang dapat meningkatkan rasa empati dan memperkuat ikatan emosional antar anggota keluarga.

Di akhir sesinya, Nani menyoroti bahwa tantangan terbesar dalam keluarga intergenerasi adalah menjadikan keluarga sebagai ekosistem yang mendukung pertumbuhan setiap orang.

"Keluarga seringkali terjebak dalam pola lama yang penuh ketimpangan, sebuah struktur hierarkis di mana suara anak, perempuan, atau lansia sering kali terpinggirkan." kata dia.

Karenanya perlu ada refleksi mendalam tentang bagaimana setiap anggota keluarga diberi ruang untuk bersuara dan menjadi dirinya sendiri.

"Kita perlu mengenali emosi, belajar mengendalikannya, dan menciptakan ruang aman di mana setiap orang dapat mengekspresikan perasaannya tanpa rasa takut," kata dia lagi.

Sesi diskusi menjadi semakin hidup ketika peserta mulai mengangkat persoalan nyata yang mereka hadapi. Salah satu pertanyaan yang banyak muncul adalah: bagaimana menghadapi anak yang cenderung terlalu sering menggunakan ponsel? Menanggapi hal ini, Nani menyampaikan bahwa kita tak bisa sepenuhnya mencegah kebutuhan anak terhadap gadget.

Namun, kita bisa menawarkan alternatif: aktivitas yang lebih dekat dengan alam. Di banyak wilayah tempat Ashoka bekerja, kegiatan seperti berkebun dan bercocok tanam di tingkat keluarga terbukti berhasil mengurangi ketergantungan anak pada layar.

Selain itu, membangun komunitas orang tua yang menghadapi tantangan serupa juga menjadi kunci. Di sana, anak-anak bisa diajak untuk beraktivitas di luar ruangan bersama. Orang tua juga disarankan untuk menetapkan zero screening bagi balita, atau membatasi penggunaan gadget pada usia tertentu.

Nani juga menekankan bahwa hukuman, terutama yang disertai kekerasan verbal atau pengabaian emosional, dapat meninggalkan luka batin mendalam. Luka masa kecil ini, meskipun tersembunyi dalam alam bawah sadar, sering muncul kembali di usia dewasa dan berdampak panjang terhadap kesehatan mental.

Pentingnya Komunikasi Terbuka, Jujur, Penuh Kasih Sayang
Diskusi kemudian diperdalam oleh Dina Lumbantobing, yang memandu para peserta untuk menggali lebih dalam tantangan komunikasi dalam keluarga dan saran untuk mengatasinya. Hasil diskusi dirangkum oleh Ramida Sinaga ssebagai Penanggung-jawab Host Konsorsium Permampu yang menyampaikan bahwa banyak anak merasa takut berbicara kepada orang tua, terutama saat terjadi konflik.

Sementara para perempuan muda menyatakan bahwa perbedaan generasi dan latar belakang pendidikan seringkali menciptakan jarak emosional. Kelompok ibu mengeluhkan kesibukan yang menyita waktu komunikasi.

Di lain pihak kelompok lansia merasa terpinggirkan, dan para ayah menyampaikan bahwa sering terjadi ketidakharmonisan karena masing-masing bertindak menurut kehendaknya sendiri.

Namun dari refleksi itu pula lahirlah langkah-langkah sederhana namun penting: menyediakan waktu untuk berbicara, mendengarkan dengan sepenuh hati, membuat aturan bersama tentang aktivitas keluarga, memberi ruang bagi pasangan untuk memahami peran masing-masing, serta mengubah gaya bicara agar lebih lembut dan penuh pendekatan.

Para peserta juga sepakat bahwa komunikasi terbuka, jujur, dan penuh kasih sayang adalah kunci untuk memperkuat hubungan dalam keluarga.

Menutup kegiatan, Dina menegaskan kembali komitmen Konsorsium PERMAMPU dalam mendorong pendekatan melalui keluarga. Salah satunya melalui penguatan CU (Credit Union), yang tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga menjadi ruang tumbuh untuk para Perempuan semua umur, termasuk anak-anak, Perempuan muda, lansai, terutama para ibu.

Melalui semangat Keluarga Pembaharu, Permampu berusaha menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak-anak merasa merdeka, senang, dan nyaman di rumah serta bebas mengejar mimpi mereka.

Permampu juga berupaya menjangkau keluarga lintas generasi secara lebih luas dengan lebih aktif melibatkan anak, remaja, nenek, kakek, dan seluruh elemen keluarga untuk bersama-sama membangun keluarga yang progresif, hemat, tidak konsumtif, dan penuh cinta.
Mari bersama bergerak bersama Keluarga Pembaharu.
 

Baca Juga:


Adapun delapan anggota Permampu, sebagai berikut Flower Aceh (Aceh), Pesada (Sumatera Utara), PPSW Riau (Riau), LP2M (Sumatera Barat), APM (Jambi), Cahaya Perempuan (Bengkulu), WCC Palembang (Sumatera Selatan), dan Perkumpulan Damar (Lampung), merayakan Hari Keluarga Nasional ke-32 yang dilaksanakan secara hybrid pada Rabu, 25 Juni 2025.

Hari Keluarga Nasional sendiri pertama kali ditetapkan pada 29 Juni 1993, dan pengakuannya secara hukum diperkuat melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014.(ril)


Related Stories