KabarKito
Kritik Kehadiran RI dalam KTT COP30: Komitmen Iklim Lemah dan Sarat Solusi Palsu
JAKARTA, WongKito.co – KTT COP30 di Belém, Brasil, yang dimulai pada 10 November, dinilai kembali menjadi panggung omon-omon dan kontradiksi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional. Di tengah ancaman cuaca ekstrem dan banjir yang terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia, komitmen iklim yang disampaikan pemerintah masih tergolong lemah dan penuh dengan solusi yang kurang nyata.
Alih-alih menyampaikan rencana aksi konkret, para utusan Presiden Prabowo Subianto justru lebih fokus pada upaya mempercantik citra Indonesia di forum iklim global ini. Hal ini terlihat dari pidato pertama Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo, dalam Leaders Summit, salah satu pertemuan pra-COP30, yang berlangsung pada 6-7 November lalu.
“Pidato yang disampaikan Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo di COP30 penuh kontradiksi jika disandingkan dengan dokumen komitmen iklim Indonesia yang teranyar (Second NDC) dan situasi yang terjadi di Indonesia,” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia.
“Kenyataannya, pemerintah justru memperburuk krisis iklim dengan pelbagai kebijakan yang malah merusak lingkungan, seperti keengganan untuk transisi ke energi terbarukan, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan monokultur hingga rencana mengadopsi nuklir sebagai bagian dari transisi energi.”
Hashim membuka taklimatnya dengan menegaskan Indonesia tetap berkomitmen memperkuat kebijakan iklim nasional dan bersedia bekerja sama dengan seluruh negara untuk melaksanakan aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius
Ia menutup pidatonya dengan menyatakan kesiapan Indonesia untuk memimpin, berkolaborasi, berkontribusi, dan mendukung semua program aksi iklim demi terciptanya dunia yang tangguh terhadap perubahan iklim bagi semua. Dia juga menekankan masa negosiasi panjang telah berlalu, dan kini saatnya untuk tindakan konkret.
Dalam pidato tersebut, Hashim juga mengungkapkan beberapa rencana pemerintah Indonesia yang justru tergolong sebagai solusi tidak nyata atau palsu dan tak inklusif.
Salah satunya adalah kebijakan yang hanya mengurangi, bukan menghentikan, penggunaan batu bara, yang jelas bertentangan dengan target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat sesuai keinginan Presiden Prabowo.
Hashim juga menyebut target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2030, padahal pengembangan energi terbarukan dalam bauran energi nasional stagnan di 14,65%. Kedua angka ini jauh dari omon-omon Presiden Prabowo soal target 100% energi terbarukan pada 2035.
Penyusunan dokumen Second NDC pun berlangsung tertutup, tanpa partisipasi publik yang berarti. Pemerintah merombak target iklim untuk mengejar ambisi pertumbuhan ekonomi 8%, yang pada kenyataannya masih sangat bergantung pada sektor ekstraktif.
Hashim menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan terus mengembangkan dan memperkuat mandat biodiesel dan bioetanol.
Pernyataan ini semakin menunjukkan pengabaian pemerintah terhadap aspirasi masyarakat sipil, yang selama ini telah mengungkap dampak negatif pengembangan bioenergi di Indonesia terhadap lingkungan dan masyarakat adat, seperti yang terjadi di Papua.
“Saat Hashim bicara tentang biodiesel dan bioetanol di COP30, Masyarakat Adat Papua tengah mengalami perampasan tanah dan hutan adat yang disasar proyek energi dan pangan pemerintah,” ujar Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia.
- Mahasiswa UIN Raden Fatah: Maknai Hari Pahlawan Sebagai Momentum Menumbuhkan Jiwa Nasionalisme dan Kepedulian Sosial
- Begini Resep Mini Choco Nut Cookies
- Hoaks: Link Pendaftaran Bansos Digital Sebesar Rp 3 Juta, Cek Faktanya Yuk!
“Bapak Vincen Kwipalo, Masyarakat Adat Yei-Nan dari Merauke, misalnya, sampai harus jauh-jauh ke Jakarta melaporkan dugaan tindak pidana lingkungan hidup oleh perusahaan kebun tebu PT Murni Nusantara Mandiri,” sambungnya.
Analisis Greenpeace menunjukkan, per September 2025, pembukaan lahan di konsesi PT MNM telah mencapai 5.000 hektare. Pemantauan satelit juga mengindikasikan bahwa aktivitas pembukaan lahan masih berlanjut hingga Oktober.
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai COP30 yang sedang berlangsung di Brasil belum memperlihatkan kemajuan berarti dalam menangani akar permasalahan krisis iklim global.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menilai, COP30 justru mencerminkan pengakuan kolektif negara-negara di dunia atas kegagalan bersama dalam menahan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Menurutnya, pengakuan itu seharusnya menjadi titik balik bagi komunitas global untuk merancang langkah-langkah yang lebih progresif. Namun pada kenyataannya, forum tersebut tidak menghasilkan pendekatan baru sama sekali.
Agenda mitigasi dan adaptasi iklim saat ini masih fokus pada intervensi di sektor hilir, seperti skema kompensasi emisi melalui penyerapan karbon di hutan atau penggunaan teknologi co-firing biomassa, yang pada dasarnya tetap menempatkan isu iklim dalam perspektif bisnis.
Dalam forum COP, Indonesia melalui utusan khusus Presiden kembali menegaskan komitmen untuk menegakkan hukum lingkungan dan merencanakan pengakuan 1,4 juta hektar hutan adat dalam empat tahun ke depan. Namun, Walhi menilai komitmen ini belum didukung oleh landasan kebijakan yang kuat di tingkat nasional.
“Sampai saat ini belum ada indikator yang jelas dalam penegakan hukum lingkungan yang benar-benar memastikan pemulihan lingkungan dan pemenuhan hak rakyat. Yang terjadi justru pengalihan tanggung jawab, seperti kasus perkebunan sawit ilegal yang diserahkan pengelolaannya tanpa proses pemulihan,” jelasnya.
Target pengakuan 1,4 juta hektar hutan adat dinilai tidak sebanding jika dibandingkan dengan potensi 24-25 juta hektar hutan adat yang ada di Indonesia.
Selain itu, kerangka hukum kehutanan masih mengharuskan prosedur administratif yang panjang sebelum hak masyarakat adat diakui oleh negara, sehingga berisiko menghambat terealisasinya komitmen tersebut.
Adapun, dalam pernyataannya Hashim, Presiden melalui pernyataan Hashim berjanji patuh terhadap Perjanjian Paris dan akan mencapai target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat, serta mempertahankan narasi pertumbuhan ekonomi 8%.
Namun, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai komitmen iklim tersebut bertentangan dengan kenyataan di lapangan, sarat solusi palsu, dan gagal menangani akar permasalahan ketidakadilan iklim yang dialami rakyat Indonesia.
Pemerintah Indonesia mengklaim komitmen mengurangi penggunaan batu bara (phase-down) sekaligus mengembangkan energi terbarukan dan bio-bahan bakar seperti biodiesel dan bioetanol. Namun, narasi ini memiliki kepalsuan.
ARUKI menyoroti fakta bahwa Indonesia masih mengalokasikan subsidi energi fosil hingga Rp500 triliun per tahun. Komitmen transisi menjadi hampa ketika subsidi untuk industri berpolusi jauh lebih besar dibandingkan pendanaan untuk aksi iklim yang nyata.
“Pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi di KTT COP-30 Belem adalah sebuah pertunjukan sandiwara hijau yang menutupi agenda pro-bisnis,” kata Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Torry Kuswardono.
“Mereka mempromosikan waste-to-energy dan nuclear power sebagai transisi bersih. Bagi kami, ini adalah solusi sesat yang merampas ruang hidup dan melanggar HAM, seperti yang terjadi pada proyek geothermal di Poco Leok dan wilayah geothermal lain,” ungkapnya.
“Kebijakan bahan bakar nabati juga terbukti menjadi dalih perampasan lahan masyarakat adat, komunitas lokal dan petani untuk perkebunan monokultur skala besar, yang hanya memperparah konflik agraria dan mengancam ketahanan lingkungan dan pangan,” tambahnya.
Pada agenda COP30, Pemerintah Indonesia dengan bangga menampilkan program FOLU Net Sink 2030. Padahal, proyek ini merupakan skema offset karbon berskala besar yang tidak akan secara nyata menurunkan emisi. Program ini termasuk contoh solusi iklim palsu di Indonesia.
“FOLU Net Sink adalah mekanisme offset yang ditujukan untuk menyeimbangkan emisi. Cara menyeimbangkan dengan memperdagangkan kredit karbon yang dapat dibeli oleh korporasi pencemar,” tegas Uli Arta Siagian, pengkampanye hutan dari Walhi.
“Ini adalah proposal yang dirancang untuk melayani korporasi pencemar, bukan untuk perlindungan rakyat dari ancaman dan dampak krisis iklim,” katanya.
- AJI Indonesia-Koalisi Masyarakat Sipil Bersatu Dukung Tempo Melawan Gugatan Rp200 Miliar oleh Mentan Amran Sulaiman
- Ivonne Setiawati dari Kebun Buddhi, Ajak Masyarakat Olah Sampah jadi Bernilai Ekonomis dengan Biowas Promic
- Puluhan Pegiat Lingkungan Ikuti Pelatihan Mitigasi Perubahan Iklim
KTT COP tampak seperti rangkaian pidato dan sesi foto tanpa akhir. Memang, kesan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, di balik semua itu, COP merupakan salah satu forum penting bagi dunia untuk bekerja sama menghadapi krisis iklim.
COP merupakan singkatan dari Conference of the Parties, yaitu konferensi iklim tahunan yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Acara ini diselenggarakan di bawah naungan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), sebuah perjanjian internasional yang dibentuk pada tahun 1992.
Saat ini, ada 198 negara yang berpartisipasi UNFCCC, menjadikannya salah satu lembaga multilateral terbesar di bawah sistem PBB.
Dalam pertemuan COP, negara-negara tersebut berkumpul untuk membahas dan merumuskan upaya menekan laju pemanasan global, menurunkan emisi gas rumah kaca, serta membantu komunitas yang telah terdampak oleh krisis iklim.
COP ke-30 tahun ini diselenggarakan di Belém, Brasil, yang terletak di pintu gerbang hutan hujan Amazon. Ini satu faktor yang juga membuat COP kali ini amat penting. Amazon dikenal sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa serta menjadi tempat tinggal bagi jutaan orang, termasuk banyak komunitas adat.
Hutan hujan ini juga berperan penting sebagai penyerap karbon terbesar di dunia, mampu menyerap miliaran ton CO₂ setiap tahunnya. Namun, para ilmuwan memperingatkan bahwa Amazon kini mendekati titik kritis, di mana jumlah karbon yang dilepaskan dapat melebihi yang diserap.
Berlangsung 10 tahun sejak Perjanjian Paris ditandatangani, COP30 menjadi ajang evaluasi yang sangat penting. Negara-negara peserta diharapkan menghadirkan komitmen iklim yang lebih ambisius dan sejalan dengan target pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C, batas kritis yang tidak boleh terlampaui.
Singkatnya, pertemuan ini menjadi kesempatan bagi para pemimpin dunia untuk menunjukkan kesungguhan mereka dalam menegakkan janji yang tertuang dalam Perjanjian Paris.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com, jejaring media WongKito.co, pada 10 November 2025.

