Lumbung Pangan di Lahan Tambang: Inovasi dan Kolaborasi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan di Wilayah Pertambangan Indonesia

Ilustrasi petani di wilayah tambang batu bara (ist)

Oleh: Najmah* dan  Riska Isnaini**
Editor: Nila Ertina
 

MENURUT Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ketahanan pangan (food security) itu ada ketika semua orang, setiap saat, punya akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan diet dan preferensi makanan mereka demi hidup sehat dan aktif. WHO juga menggarisbawahi tiga komponen utama dalam ketahanan pangan:
 

1. Ketersediaan pangan (food availability): Ini berarti ada cukup makanan dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Ketersediaan ini bisa didapat dari produksi dalam negeri, impor, atau bantuan pangan.
 

2. Akses pangan (food access): Ini berarti semua orang punya kemampuan, baik secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Akses ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pendapatan, harga pangan, infrastruktur, dan sistem distribusi.
 

3. Pemanfaatan pangan (food utilization): Ini berarti makanan yang dikonsumsi harus aman, bergizi, dan dimanfaatkan dengan baik oleh tubuh untuk menunjang kesehatan dan aktivitas. Pemanfaatan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sanitasi, kebersihan, pengetahuan gizi, dan praktik pemberian makan.
Namun, ketahanan pangan di wilayah pertambangan Indonesia menghadapi tantangan multidimensi. 

Baca Juga:

Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa 25%  masyarakat di kawasan pertambangan mengalami kerawanan pangan kronis, jauh di atas rata-rata nasional (8,5%).  Aktivitas pertambangan seringkali mengorbankan lahan subur: Kementerian ESDM mencatat 1,2 juta hektar lahan bekas tambang di Indonesia belum direhabilitasi, dengan tingkat pencemaran logam berat seperti merkuri dan timbal mencapai 15-30% di daerah aliran sungai sekitar tambang (KLHK, 2022). 

Namun, inisiatif terbaru membuktikan bahwa sinergi teknologi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat dapat mengubah paradigma ini. Peraturan Menteri ESDM No. 7/2023 mewajibkan perusahaan tambang mengalokasikan 20% dana CSR untuk pertanian berkelanjutan di lahan pascatambang.
 

1. Diversifikasi Pangan Lokal: Dari Lahan Terdegradasi ke Agroforestri
Untuk meningkatkan ketahanan pangan di wilayah pertambangan, masyarakat perlu didorong untuk mengembangkan berbagai metode pertanian berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah agroforestri, yaitu sistem pertanian yang mengombinasikan tanaman pangan dengan pohon atau vegetasi lainnya untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas jangka panjang.
 

Lahan pascatambang tidak lagi menjadi penghalang. PT Bukit Asam di Sumatra Selatan, misalnya, telah mengonversi 500 hektar lahan bekas tambang batu bara menjadi kawasan agroforestri yang menghasilkan pisang, nanas, dan sayuran. Hasilnya, produksi pangan lokal meningkat 40% dalam dua tahun (2021-2023). Di Kalimantan Timur, masyarakat Desa Makroman memanfaatkan lahan marginal dengan sistem akuaponik, menghasilkan 2 ton ikan lele dan 300 kg kangkung per bulan. Inovasi ini didukung oleh riset LIPI yang mengembangkan tanaman toleran logam berat, seperti padi varietas "Mentik Wangi" yang mampu tumbuh di tanah dengan kadar besi tinggi.
 

2. Teknologi dan Infrastruktur: IoT hingga Cold Storage
Pemerintah dan perusahaan tambang memiliki peran penting dalam membangun rantai distribusi pangan yang efisien dengan meningkatkan akses transportasi dan menyediakan fasilitas penyimpanan makanan guna menjaga stabilitas pasokan. Selain itu, penerapan teknologi pertanian modern, seperti sistem irigasi cerdas dan bibit unggul, dapat membantu masyarakat sekitar dalam meningkatkan produktivitas pangan meskipun kondisi tanah di area tambang kurang subur.
 

Teknologi menjadi tulang punggung efisiensi. PT Kaltim Prima Coal (KPC) menerapkan sistem irigasi cerdas berbasis IoT di 15 hektar lahan percontohan, mengurangi penggunaan air hingga 25% sekaligus meningkatkan produktivitas cabai dari 3 ton/ha menjadi 5 ton/ha (2023). Pemerintah juga membangun 20 unit cold storage di wilayah pertambangan terpencil melalui Program Strategic Food Security and Sovereignty (2022-2024), menekan kehilangan hasil panen dari 20% menjadi 5%. 

 

Di Papua, drone mapping digunakan PT Freeport untuk identifikasi lahan rehabilitasi, memetakan 1.000 hektar area yang potensial untuk pertanian vertikal. Perusahaan tambang juga membangun jalan dan jembatan yang memudahkan distribusi hasil pertanian. PT. Freeport di Papua membangun 120 km jalan akses yang digunakan petani untuk mengangkut sayuran ke pasar Timika.
 

3. CSR Perusahaan: Dari Pelatihan hingga Pasar Digital
Sebagai bagian dari tanggung jawab sosial (CSR), perusahaan pertambangan dapat mendukung petani lokal melalui pendampingan, pelatihan budidaya berbasis teknologi, serta akses permodalan. Pengembangan koperasi pangan juga menjadi langkah strategis untuk membantu masyarakat dalam mengelola produksi dan distribusi hasil pertanian secara lebih mandiri, sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung pada pasokan luar.
 

Program CSR berbasis pangan semakin terukur. PT Freeport Indonesia menggandeng Universitas Cendrawasih melatih 1.200 petani Papua dalam hidroponik dan budidaya sayuran organik. Hasilnya, 65% peserta kini memasok kebutuhan dapur perusahaan dan pasar lokal. Di Kalimantan, PT Adaro Energy mendirikan "Koperasi Pangan Martapura" yang menghubungkan 300 petani dengan pasar digital, meningkatkan pendapatan petani sebesar 35% (2022). Sementara itu, program "Tambang untuk Pangan" oleh PT Antam di Halmahera Utara berhasil mengembangkan 50 hektar kebun sagu sebagai alternatif pangan pokok. Program CSR PT. Antam di Halmahera melatih petani menggunakan drone pemetaan lahan dan sensor kelembaban tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk hingga 20%.

4. Edukasi dan Pemberdayaan: Literasi Gizi hingga Kewirausahaan
Masyarakat sekitar tambang perlu mendapatkan edukasi tentang gizi seimbang, pengelolaan pangan lokal, dan pertanian berkelanjutan untuk meningkatkan kemandirian pangan. Selain itu, pelatihan dalam pengolahan dan diversifikasi produk pangan dapat memberikan peluang ekonomi baru bagi masyarakat, sekaligus memperkuat ketahanan pangan di wilayah pertambangan. Dengan sinergi antara teknologi, dukungan perusahaan, dan pemberdayaan masyarakat, ketahanan pangan di wilayah pertambangan dapat diwujudkan secara berkelanjutan.
 

Baca Juga:

Kementerian Pertanian meluncurkan Modul Pertanian Berkelanjutan di 50 Desa Pertambangan (2023), mencakup teknik pengomposan limbah organik tambang dan pengolahan pangan. Di Lombok, perempuan di sekitar tambang emas belajar membuat tepung mocaf (modified cassava flour) dari singkong, mengurangi ketergantungan pada terigu impor. Hasilnya, 30 UMKM berbasis mocaf bermunculan dengan omset rata-rata Rp 5 juta/bulan (Dinas Perdagangan NTB, 2023). FAO juga mendorong sekolah lapang iklim (SLI) di wilayah pertambangan, meningkatkan kapasitas 2.000 petani menghadapi anomali cuaca.
 

Kesimpulan:
Dampak pertambangan terhadap pertanian memiliki sifat yang paradoks. Di satu sisi, kegiatan ini dapat merusak pertanian, tetapi di sisi lain, juga bisa mendorong inovasi. Kunci untuk mencapai keberhasilan terletak pada penerapan prinsip keberlanjutan yang menekankan pentingnya restorasi ekosistem, penggunaan teknologi yang tepat, serta kolaborasi yang inklusif.
 

Ketahanan pangan di wilayah pertambangan bukan utopia. Data Kementerian Desa (2023) membuktikan bahwa 15% desa pertambangan telah mencapai swasembada pangan melalui integrasi teknologi dan kearifan lokal. Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi quad-helix (pemerintah, perusahaan, akademisi, masyarakat) dan pendekatan circular economy, seperti pemanfaatan limbah tambang sebagai pupuk mineral. Dengan komitmen berkelanjutan, lahan tambang tidak hanya menjadi penopang ekonomi, tetapi juga mercusuar ketahanan pangan nasional.

*Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNSRI
**Alumi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Unsri

Referensi :
Rela, I., & Mappasomba, M. (2021). Survei Ketahanan Petani Sekitar Kawasan Industri Pengolahan Nikel di Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Membangun Desa dan Pertanian, 6(3), 83 – 94. doi:http://dx.doi.org/10.37149/jimdp.v6i3.18167 
https://timelines.id/2024/09/26/dukung-ketahanan-pangan-di-lingkar-tambang-pt-timah-fokus-penguatan-sektor-pertanian/2/
https://www.infoindonesia.id/info-daerah/96114381102/kelola-lahan-bekas-tambang-batu-bara-untuk-ketahanan-pangan-pemprov-kaltim-siapkan-insentif-bagi-petani-dan-penyuluh-pertanian?
BPS (2023), Laporan Ketahanan Pangan Nasional.
KLHK (2023), Status Lingkungan Hidup Indonesia.
FAO (2022), Mining-Agriculture Nexus: Global Case Studies.
CSIRO (2023), Sustainable Land Rehabilitation in Post-Mining Areas.


Related Stories